Jejak Rasisme Eropa, Tontonan Kebun Binatang Manusia

Eropa punya jejak kelam rasisme dengan tontonan Human Zoo di era kolonialisme.
Display dari pertunjukan Human Zoo di Belgia 1958 (Foto: Getty Images)

Semarang - Peradaban manusia tidak langsung menjadi sempurna seperti sekarang ini. Seabad lalu, banyak terjadi penistaan terhadap umat manusia dari ras beda. Salah satunya di Eropa. Nuansa rasisme kental di tontonan kehidupan manusia layaknya di kebun binatang. 

Penistaan terhadap manusia tersebut terjadi pada manusia lain yang kebetulan berbeda secara warna kulit dan kebiasaan hidup. Dan manusia dari peradaban modern cenderung ingin mengetahui cara hidup manusia di belahan bumi yang lain.

Jadi, manusia yang ditampilkan di kebun binatang itu memenuhi rasa keingintahuan orang Eropa terhadap kebiasaan hidup manusia di Afrika atau benua lain. Dan mereka tidak harus bepergian ribuan kilometer ke benua tersebut. Selain juga untuk penelitian.

Semuanya berawal di kisaran abad 16-an. Setelah orang Eropa memulai eksplorasi ke belahan timur dunia atau masa dimulainya era kolonialisme. Mereka membawa pulang manusia-manusia dari tanah jajahan ke Paris, London, dan Berlin. Mereka menyebutnya manusia eksotis.

Manusia eksotis tersebut dipamerkan di sebuah tempat yang mereka sebut Pertunjukan Manusia atau Human Zoo. Konsepnya memang baru skala menampilkan ketidaklaziman bentuk tubuh manusia. Namun mirip mempertontonkan hewan di kebun binatang. Tidak disangka, ternyata ratusan ribu orang Eropa tertarik melihat pertunjukan itu.

Di akhir abad 19, Human Zoo benar-benar mendapat tempat. Orang-orang Eropa bisa melihat orang Afrika, kebanyakan dari Senegal, melakukan tarian perang atau ritual keagamaan. Tentu saja dengan dibayar dalam jumlah tertentu.

Mantan Pesepak Bola Terkenal

Pada 27 Desember 2011, Museum Quai Branly di Paris menampilkan lukisan, foto-foto lama, arsip film, poster dan kartu pos tentang pertunjukan yang telah punah pada tahun 1950-an karena dianggap penghinaan terhadap ras manusia lain.

Mereka dipertontonkan untuk membuat penonton merasa kasihan untuk kemudian memberikan sumbangan.

Mantan pemain sepak bola internasional kelahiran Karibia, Liliane Thuram yang pernah mengepalai yayasan antirasisme adalah sosok di balik ide pameran di Paris itu.

"Saya sudah lama tertarik pada perbudakan karena cara keluarga saya terpengaruh oleh perbudakan itu," kata dia dilansir dari BBC di tempat dan waktu yang sama.

Thuram menyatakan pameran itu untuk mencegah bangkitnya rasisme yang bisa terjadi kapan saja. "Itulah yang kami coba lakukan dengan pameran, memajang informasi yang memungkinkan orang untuk memahami mengapa masih ada gangguan di masyarakat berdasarkan warna kulit kita."

Kebanyakan yang dipamerkan di sana adalah kisah pilu manusia eksotis tersebut. Salah satu lukisan tentang empat pribumi yang diculik pelaut Belanda. Ada juga tentang lelaki Tahiti tampan bernama Omai, yang dibawa ke istana Raja George III di London, serta masih banyak lagi keanehan manusia dari belahan timur.

Dari pameran tersebut sebenarnya masyarakat Eropa yang di masa kolonial kental dengan misi agama Kristen dan superioritas budaya, ternyata ditipu. Mereka kena tipu para pedagang manusia yang serakah.

Para pedagang tersebut menyelenggarakan pertunjukan keliling yang menampilkan penari tali India, gembala unta Arab, pejuang Zulu atau pemburu dari Kaledonia Baru. Seluruh desa Afrika diciptakan kembali untuk memungkinkan orang Eropa melihat kehidupan mereka yang terbelakang. Sekitar 35.000 manusia eksotis ikut serta dalam pertunjukan itu.

Pertunjukan Human Zoo ini berangsur-angsur redup setelah Perang Dunia II. Terakhir pertunjukan ini dipertontonkan di Belgia pada tahun 1958.

Siapa yang getol melarang pertunjukan manusia eksotis tersebut? Ternyata justru penjahat Perang Dunia II, Hitler yang melarang Human Zoo ini. Orator ulung dari Jerman itu menyuarakan rasa tidak simpatinya terhadap pertunjukan yang menghina umat manusia dari golongan lain. Hal itu terjadi sebelum perang dimulai atau sebelum era 1940-an.

Human Zoo di Tanah Air

Pertunjukan manusia mirip Human Zoo juga pernah ada di negara kita. Namun mereka bukan dari ras yang berbeda, melainkan dari keadaan yang kurang beruntung.

Menurut Afifah 60 tahun, warga Semarang, sebelum tahun 1970-an, pertunjukan pasar malam di pelosok-pelosok Jawa Tengah biasanya terdapat pertunjukan manusia penyandang difabel. 

“Mereka dipertontonkan untuk membuat penonton merasa kasihan untuk kemudian memberikan sumbangan,” katanya kepada Tagar, Minggu, 13 Januari 2019.

Afifah tidak tertarik untuk merinci kondisi tubuh dari manusia yang menjadi tontonan itu. “Penonton biasanya banyak yang sedih atau bahkan, menangis melihat keadaan manusia yang dipertontonkan itu,” ucapnya. []

Baca juga: 

Berita terkait
Demi Merah Putih, Samsul Arifin Jadi Tersangka Rasisme
Istri Samsul Arifin, tersangka kasus ujaran rasial di depan Asrama Mahasiswa Papua, kecewa putusan hakim PN Surabaya.
Perilaku Rasis adalah Penyakit Mental
Rasisme merupakan suatu tindakan yang dapat merusak hubungan baik antarmanusia. Psikolog memasukkan rasis ke dalam penyakit mental.
Tersangka Rasis di Asrama Mahasiswa Papua Resmi Ditahan
Polda Jawa Timur resmi menahan dua tersangka dalam kasus ujaran kebencian dan rasisme terhadap mahasiswa asal Papua di SUrabaya.
0
Ini Alasan Mengapa Pemekaran Provinsi Papua Harus Dilakukan
Mantan Kapolri ini menyebut pemekaran wilayah sebenarnya bukan hal baru di Indonesia.