Subulussalam - Aceh adalah sebuah provinsi yang berada di ujung paling barat Indonesia. Berdasarkan literatur yang ada, Provinsi Aceh terbentuk pada tahun 1957 berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957 dan dilantiknya Ali Hasmy sebagai gubernur 27 Januari 1957.
Provinsi Aceh yang memiliki 23 kabupaten/kota terdiri dari 289 kecamatan dan sebanyak 6.498 buah desa tentu pemerintah provinsi mempunyai aspek pembangunan yang merata dalam mensejahterakan rakyatnya.
Seiring berlajunya Aceh menjadi salah satu provinsi terbesar di Indonesia, tumbuh kembangnya pembangunan dan silih berganti para pemangku gubernur di provinsi yang berjulukan Serambi Mekah itu, namun tidak bagi masyarakat Desa Lae Ikan, Kecamatan Penanggalan, Kota Subulussalam, masyarakat disana sudah sangat lama menyimpan sebuah keinginan itu.
Setidaknya Pak Gubernur melihat langsung bagaimana kehidupan rakyat Aceh di daerah perbatasan.
Sebab desa yang berada nun paling barat Aceh itu sejak terbentuknya Aceh menjadi sebuah provinsi hingga kini tak pernah sekalipun mendapat kunjungan dari Gubernur Aceh dari masa ke masa.
Tentu harapan itu membumbung di angan-angan 336 jiwa penduduk Aceh disana. Seperti apa yang diungkapkan oleh Kepala Desa Lae Ikan, Herianto Solin kepada Tagar tentang adanya seunggah keluh kesah yang hendak mereka curahkan secara langsung kepada Gubernur Aceh. Namun, ikhwal itu belum dapat disiratkan sebab Gubernur Aceh belum pernah menapak di desa yang berjuluk Perbatasan Gajah Putih.
"Kepingin sekali lah kami Pak Gubernur mau mengagendakan kunker (kunjungan kerja) ke desa kami ini untuk melihat rakyatnya yang berada di daerah perbatasan," tutur Kepala Kampong, Herianto Solin beberapa waktu kapada Tagar.
Desa Lae Ikan merupakan sebuah perkampungan paling tepi di bagian Barsela Aceh dengan jarak tempuh sekitar 15 kilo meter dari pusat kota Subulussalam. Memiliki tiga dusun dan memiliki luas areal wilayah sekitar 8,72 kilometer persegi.
Selain itu, Desa Lae Ikan juga sebagai pintu gerbang Aceh di bagian barat selatan (Barsela) yang berbatasan dengan wilayah Provinsi Sumatera Utara (Sumut) atau tepatnya dengan Kabupaten Pakpak Bharat memiliki letak yang strategis sebagai akses transportasi perdagangan antara Sumut dan dengan beberapa kabupaten di pesisir Barsela Aceh seperti Kabupaten Aceh Barat, Kabupaten Nagan Raya, Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya), Kabupaten Aceh Selatan, Kabupaten Aceh Singkil dan Kota Subulussalam.
Rindu Kehadiran Pemimpin
Keinginan bertatap muka langsung dengan Gubernur adalah impian yang sejak lama mereka idam-idamkan. Sekelumit perihal infrastruktur, ekonomi dan persoalan tabal batas ingin mereka utarakan kepada sang pemimpin.
Gapura perbatasan Selamat Datang di Kota Subulussalam. (Foto: Tagar/Nukman)
Meski hal itu sudah pernah disampaikan oleh kepala desa kepada pemerintah setempat, namun, menurutnya alangkah puasnya jika keluhan itu dapat tersampaikan secara langsung kepada Gubernur.
"Setidaknya Pak Gubernur kita tau dan melihat langsung bagaimana kehidupan rakyat Aceh yang berada di daerah perbatasan," timpalnya.
Sebagaimana yang diungkapkan, Herianto bahwa terkait tapal batas di desanya dengan Kabupaten Pakpak Bharat perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah provinsi. Sebab jika hal ini tidak ditangani maka persoalan ini lambat laun akan dapat memicu konflik agraria antar dua wilayah yang berbatasan.
"Tidak jelas titik tapal batas saat ini. Menurut kami lahan pertanian yang dibuka masyarakat Pakpak Bharat adalah masuk ke dalam wilayah Aceh, namun disatu sisi mereka juga bersikukuh kalau lahan mereka itu masuk ke dalam wilayah Sumut," pungkas Herianto.
Kejelasan tapal batas ini, kata Herianto perlu dipertegas, karena status letak lahan pertanian yang masih kabur menyebabkan mereka tidak dapat memanfaatkan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dari lahan tersebut.
"Bukan itu saja, masyarakat kita juga membutuhkan lahan pertanian. Kalau batasnya sudah jelas jadi semuanya kan bisa nyaman, dan tidak ada lagi dakwa-dakwi dikemudian hari," imbuh Herianto.
Tampak Kepala Kampong Lae Ikan, Herianto Solin (kiri) sedang berbincang dengan salah seorang warga di areal lokasi rencana pembangunan Terminal Mini yang bersumber dari anggaran provinsi Aceh yang hingga saat ini belum terealisasi sejak lima tahun lalu. (Foto: Tagar/Nukman)
Perihal lain yang perlu menjadi perhatian pemerintah provinsi ialah menyangkut pemberdayaan ekonomi masyarakat di perbatasan. Sekitar 88 kepala keluarga (KK) disana, tujuh puluh persennya menggantungkan hidup dari tanaman Gambir (Uncaria Gambir Hunter R), dan sebagiannya berprofesi kuli bangunan.
Adapun warga disana yang bergerak di sektor sawit hanya sedikit saja, sebab kontur tanah di desa tersebut lereng dengan kemiringan yang cukup tajam. Jadi tidak ideal untuk ditanami sawit.
Tidak jelas titik tapal batas saat ini.
"Gambir adalah sumber pencaharian utama kami disini. Kalau pun ada yang tanam sawit itu pun hanya beberapa orang saja, karena kondisi tanah kami pun disini curam, kurang cocok nanam (tanam) sawit," kata Jahimran (39) salah seorang warga.
Anjloknya harga Gambir membuat laju ekonomi masyarakat di desa ini lesu. Dimana dalam dua tahun terakhir harga Gambir yang dijual kepada pengepul dikisaran harga Rp 18 ribu per kilogram. Padahal sebelumnya tembus di papan yang fantastis yakni mencapai Rp 100 ribu per kilogram.
"Waktu itu setiap rumah tangga dapat berpenghasilan Rp 4 juta per bulannya. Tapi sekarang dengan harga Rp 18 ribu paling yang kami dapat lebih kurang sekitar sejuta lagi lah," pungkas Jahimran.
Lebih lanjut dalam wawancara Tagar dengan Herianto Solin selaku Kepala Desa Lae Ikan, berharap adanya perhatian khusus dari pemerintah provinsi bagi desa yang berada di perbatasan.
Sektor yang perlu menjadi perhatian pemerintah menurut Herianto adalah di antaranya pembangunan jalan pertanian guna memudahkan petani untuk mengangkut hasil pertanian. Jaminan prospek pasar Gambir, sehingga produksi Gambir satu-satunya di Aceh bisa meningkat. Permintaan lain yang juga sebutkan adalah pembangunan talut antisipasi longsor mengingat kondisi kontur geografi areal pemukiman penduduk sangat rawan longsor.
Sebuah Mesjid yang merupakan aset Pemerintah Provinsi Aceh yang terletak tepat di pingir jalan lintas nasional Aceh-Sumut, Desa Lae Ikan, Kecamatan Penanggalan, Kota Subulussalam yang diharapkan dapat ditata lagi pembangunannya sekaligus menjadi model destinasi persinggahan. (Foto: Tagar/Nukman)
Sementara itu, Pendamping Lokal Desa (PLD) Desa Lae Ikan, Riza Fachriza yang juga turut ditemui Tagar mengatakan bahwa di desa yang menjadi dampingannya itu juga memiliki potensi hutan yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat melalui program pemanfaatan hasil hutan non kayu.
"Barangkali bisa dibuat semacam regulasi hutan desa. Selama saya bertugas disini saya melihat potensi hutannya juga bisa dikelola oleh masyarakat daripada memaksakan sawit yang bisa berpotensi terjadinya ancaman bencana longsor ke pemukiman penduduk," ulas Riza.
Menurut Riza, desa Lae Ikan sebagai pintu masuk Aceh yang terbelah oleh jalan lintas nasional Aceh-Sumut patut menjadikan kawasan Lae Ikan sebagai destinasi persinggahan (transit) bagi warga, karena jalan lintas nasional Aceh-Sumut di wilayah ini merupakan jalur padat distribusi perdagangan dan transportasi jasa di jalur darat.
Menurut Riza Fachriza, dengan memanfaatkan kearifan lokal yang ada, desa Lae Ikan ini bisa dijadikan sebuah destinasi persinggahan perjalanan. Sebab letaknya yang cukup sibuk sebagai lintasan perhubungan darat antara kedua wilayah provinsi sangat tepat jika Pemerintah Aceh menjadikan desa-desa di daerah perbatasannya menjadi sebuah ikonik yang memiliki daya tarik tersendiri guna menjaga segala aspek-aspek sosial di daerah perbatasan.
"Saya sudah setahun lebih bertugas disini. Lae Ikan punya banyak potensi yang bisa dikelola dengan baik, sehingga Pemerintah Provinsi Aceh bisa memiliki sebuah ikonik desa perbatasan," papar Riza. []
Baca cerita lainnya:
- Pesan Ayah Sebelum Ditelan Tsunami Aceh
- Melawan Lupa, Kekerasan Aceh di Luar Akal Sehat
- Nasib Nuri Setelah Sakit Jiwa dan Dipecat dari PNS