Ketika wabah virus corona merebak di Wuhan, masker dan hand sanitizer menjadi barang yang harganya naik. Semakin melambung ketika virus corona sudah memasuki Indonesia. Harga naik berkali-kali lipat dan susah ditemukan di pasaran.
Kami adalah kelompok masyarakat yang rentan tertular. Dan angka kematiannya tinggi bila terinfeksi.
Dampak dari kenaikan harga dan hilangnya kedua barang tersebut dari pasaran membuat kalang kabut pasien gagal ginjal kronik. Sudah berbulan-bulan, pasien gagal ginjal yang menjalani terapi cuci perut atau CAPD dan post transplan tercekik lehernya dengan naiknya harga kedua barang tersebut.
Padahal, kedua barang itu merupakan kebutuhan utama. Ada tidak ada virus corona, kedua barang itu harus dibeli, dan tidak ditanggung BPJS. SOP-nya, ketika mengganti cairan dialisis, masuk dan keluar lewat kateter menuju membran perut, sang pasien harus memakai masker. Tempat meja peralatan juga harus dibersihkan dengan alkohol. Tangan harus bersih dengan cuci tangan yang benar atau menggunakan hand sanitizer.
Ginjal Sehat vs Ginjal Sakit
Jika SOP dilanggar, proses yang disebut di atas akan menimbulkan infeksi. Infeksi yang terjadi menjadi faktor utama kematian pasien dengan jenis terapi cuci perut atau mandiri, tanpa menggunakan mesin.
Pasien transplantasi ginjal juga memerlukan kedua barang tersebut untuk kesehariannya. Imun tubuhnya turun karena setiap hari meminum obat penurun daya tubuh. Kenapa? Agar ginjal baru yang merupakan benda asing dalam tubuh tidak dilawan oleh imun tubuh.
Pasien cuci darah lewat perut minimal mengganti cairan empat kali, berarti empat kali juga masker diganti. Belum kalau pergi keluar rumah dalam kondisi sekarang harus memakai masker. Katakanlah lima buah dikalikan 5 ribu rupiah. Setiap hari akan ada uang ekstra sebanyak Rp 25 ribu, sementara pengeluaran lainnya masih banyak. Celakanya, kedua barang tersebut langka di pasaran.
Anggota Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PernefriI) dr. Pringgodigdo Nugroho, Sp.PD-KGH, mengatakan masalah gangguan ginjal bisa membuat seseorang semakin berisiko terpapar Covid-19.
Katanya, daya tahan tubuh seseorang yang mengalami gangguan ginjal cenderung lebih rendah dibanding orang tanpa masalah kesehatan ginjal.
“Selain berisiko terinfeksi, pasien gagal ginjal yang terpapar Covid-19 juga memiliki risiko kematian yang lebih tinggi,” katanya.
Dari penjelasan di atas, kami adalah kelompok masyarakat yang rentan tertular. Dan angka kematiannya tinggi bila terinfeksi. Kedua alat tersebut juga dibutuhkan bagi kami yang cuci darahnya lewat mesin. Seminggu dua kali kami harus ke rumah sakit, yang notabene tempat paling rawan terjadinya proses penularan virus corona Covid-19.
Kebanyakan anggota KPCDI (Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia) adalah orang tak mampu. Belum lagi ditambah yang berdomisili di pelosok. Mereka lebih sengsara lagi. Andaikata punya uang, barang sama sekali tidak ada.

Di negara lain, kelompok masyarakat rentan tertular, yakni usia senja dan pengidap penyakit kronis, salah satunya gagal ginjal, menjadi fokus perhatian. Masalahnya bukan saja angka kematiannya tinggi, tetapi kerentanan tertular menjadi faktor mata rantai meluasnya wabah.
Rasanya, pemerintah belum memikirkan hal ini. Padahal, jumlah pasien gagal ginjal di Indonesia mencapai angka di atas seratus ribu. Hampir semua rumah sakit menjalankan jasa terapi hemodialisa.
Bagaimana bila si pasien ODP (orang dalam pengawasan), PDP (pasien dalam pengawasan) atau positif terinfeksi virus corona? Apa ada SOP-nya? Apakah ada mesin dan ruang khusus yang akan menanganinya?
Yang terjadi sekarang, justru ada pasien cuci darah status ODP diusir dari rumah sakit tersebut. Tidak dirujuk dan tidak diberi jalan keluar. Seperti penderita kusta yang harus diusir.
Ada juga pasien cuci darah ODP yang pergi ke Jakarta, lalu pulang ke kampung halamannya. Sampai di kampung halamannya ditolak tempat hemodialisa semula. Sekarang tidak ada rumah sakit yang mau menerimanya. Pasien hanya tinggal di rumah dan pasrah bila maut menjemputnya. Kejam sekali pelayanan kesehatan kita.
Yang ada justru regulasi yang membuat sengsara pasien. Sudah tidak ada kebijakan rumah sakit menerima pasien traveling (daerah lain sedang berpergian). Termasuk juga tidak menerima pasien dari rumah sakit lain. Stop penerimaan.
seminar awam bertajuk “Perawatan Akses Vaskuler pada Pasien Ginjal Kronis” yang digelar oleh Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) bekerja sama dengan Fresenius Medical Care, di Jakarta, Minggu, 15 September 2019. (Foto: Dok. KPCDI)
Celakanya, hari ini ada rumah sakit yang memutuskan hubungan kerjasama dengan BPJS. Artinya, bubar pelayanan hemodialisanya. Pemberitahuannya mendadak dan tanpa solusi. Pasien cuci darah di sana dibiarkan mencari jalan keluarnya sendiri-sendiri. Mereka menangis karena rumah sakit sekarang menolak pasien dari rumah sakit lain. Apa mereka hanya akan menanti ajal? Mengerikan situasi sekarang ini.
Ada beberapa pasien gagal ginjal positif terkena virus corona. Kebetulan mereka melakukan cuci darah di rumah sakit rujukan. Jadi ada fasilitas hemodialisa di ruang isolasi. Kalau rumah sakit itu bukan rujukan? Apa yang harus dilakukan? Mereka punya ruang isolasi hemodialisa? Apakah rumah sakit rujukan cukup menampung? Apakah Rumah Sakit Wisma Atlit ada fasilitas itu? Kami bertanya karena sampai hari ini kami belum mendengarnya.
Lantas kami berpikir, apakah kami sekelompok masyarakat yang sudah tidak diperlukan lagi untuk ditangani dalam situasi krisis ini, karena toh kami dianggap sebagai manusia yang sudah tidak produktif lagi dan tak lama ajal tiba?
Melalui tulisan ini, yang juga jeritan hati pasien gagal ginjal, tolong kami. Semoga pemerintah yang sedang pontang-panting tetap mau mendengar kami. []
*Petrus Hariyanto, Sekjen KPCDI (Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia)