Kasih Waktu Anak Bermain, Jangan Tekan Selalu Belajar

Anak terlalu dituntut untuk belajar penuh, bahkan ada yang masuk asrama atau boarding school.
Diskusi publik tentang Kampanye Belajar di La GOOD Cafe, Blang Oi, Banda Aceh, Kamis (1/11/2018) (Foto: Tagar/Fahzian Aldevan)

Banda Aceh, (Tagar 2/11/2018) - Di era milenial, waktu bermain anak relatif tidak banyak, berbanding dengan kebutuhan anak untuk bermain lebih lama.

Hal tersebut disampaikan Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Aceh (DP3A), Nevi Ariani di acara diskusi publik tentang Kampanye Belajar di Banda Aceh, Kamis (1/11).

"Perbandingan dengan pada masa dahulu, waktu bermain anak sangat banyak. Apalagi bisa memainkan permainan tradisional anak. Saat ini kita lihat banyak anak yang ditekan untuk belajar," ungkap Nevi.

Nevi mencontohkan, anak-anak sekarang dituntut untuk belajar penuh. Bahkan, ada yang masuk asrama atau boarding school. Membuat waktu bermain terbatas, orangtua memaksakan kehendak anak untuk selalu belajar.

"Belum lagi masalah mata pelajaran yang begitu banyak yang membuat anak-anak semakin tertekan dan tidak fokus, kemampuan anak tidak sama," katanya.

Ia menambahkan, pentingnya belajar di luar kelas dan terus mengkampanyekan belajar di luar kelas.

"Ini penting karena itu perlu dalam satu hari ada 90 menit untuk belajar di luar kelas. Tidak melanggar hak anak kalau anaknya juga senang," tambahnya.

Sementara itu, Praktisi Talent Mapping Safriadi Ibrahim mengatakan belajar yang baik saharusnya seorang pendidik, tidak perlu memberikan pekerjaan rumah (PR) untuk para siswa. Sebab, memberikan beban kepada siswa itu sendiri.

"Seharusnya tugas itu hanya ada di sekolah bukan di rumah, dan PR itu pekerjaan di rumah," kata Safriadi.

Menurut Safriadi, pendidikan utama yang diterima bukan di sekolah. Melainkan di rumahnya sendiri. Pendidik utama bukan juga guru ataupun ustaz. Melainkan orangtuanya itu sendiri.

"Sekolah itu hanya mitra kita, maka pilihlah sekolah yang sesuai dengan kemampuan anak kita," katanya.

Banyak terjadi sekarang, banyak orangtua yang hanya menerima beres. Bahkan, ada orangtua yang tidak mau tahu bagaimana anaknya saat bersekolah. Sungguh sangat disesalkan.

"Yang penting anak saya sekolah dan saya bayar uang sekolah, anak saya harus pintar," ucapnya.

Safriadi menambahkan, banyak lulusan sarjana mendapatkan pekerjaan tidak sesuai dengan gelar yang diperoleh di bangku kuliah. Kondisinya sekarang, korban salah jurusan di Indonesia mencapai 87 persen.

"Ini sekarang dia ambil jurusan apa, jadinya apa dan bekerjanya di mana, banyak kita lihat tidak nyambung sebenarnya," pungkasnya. []

Berita terkait
0
PKS Akan Ajukan Uji Materi PT 20%, Ridwan Darmawan: Pasti Ditolak MK
Praktisi Hukum Ridwan Darmawan mengatakan bahwa haqqul yaqiin gugatan tersebut akan di tolak oleh Mahkamah Konstitusi.