Ke Mana Uni Eropa Melangkah Terkait dengan Konflik Timur Tengah:?

Apakah pengakuan terhadap kedaulatan Palestina oleh negara-negara Uni Eropa akan mampu mendorong perdamaian?
Utusan Luar Negeri Uni Eropa, Josep Borell (Foto: dw.com/id - Virginia Mayo/AP Photo/picture alliance)

TAGAR.id - Uni Eropa (UE) terbelah soal Palestina dan Israel. Namun, Perang Gaza menggagas upaya baru mengakhiri kebuntuan. Apakah pengakuan terhadap kedaulatan Palestina oleh negara-negara Uni Eropa akan mampu mendorong perdamaian? Bernd Riegert melaporkannya untuk DW.

Perang di Jalur Gaza dan pendudukan di Tepi Barat tidak mengubah kebijakan Uni Eropa untuk tetap berpegang pada "Solusi Dua Negara" sebagai solusi perdamaian di Timur Tengah. Solusi itu menggariskan pendirian sebuah negara Palestina di samping negara Israel. Batas wilayah kedua entitas sudah disepakati secara umum antara pemerintah Israel dan Organisasi Pembebasan Palestina, PLO, dalam Perjanjian Damai Oslo lebih dari 30 tahun yang lalu.

Meski tetap berkomitmen pada "Solusi Dua Negara", Josep Borrell, utusan luar negeri Uni Eropa (UE), mewanti-wanti betapa "solusi ini dari hari ke hari semakin sulit diwujudkan.

"Kita harus membahas hal ini," kata dia. Menurutnya, penanggulangan krisis kemanusiaan di Jalur Gaza saat ini mendapat prioritas tertinggi. "Tapi jika kita menginginkan solusi politik jangka panjang, maka kita harus lebih aktif."

Warga Palestina mengungsiFILE - Warga Palestina, yang mengungsi akibat serangan militer Israel di Gaza selatan, berusaha untuk kembali ke rumah mereka di Gaza utara melalui pos pemeriksaan Israel, seperti yang terlihat dari Jalur Gaza tengah, 15/4/2024. (Foto: voaindonesia.com/Reuters)

Pengakuan negara UE bagi Palestina

Ketika semua negara anggota Uni Eropa mengakui Israel, hanya sembilan dari 27 anggota yang mendukung kedaulatan Palestina. Baru-baru ini, Spanyol dan Irlandia ikut memberikan pengakuan bagi negara Palestina di wilayah yang terdiri atas Tepi Barat Yordan, Yerusalem Timur dan Jalur Gaza.

Hambatan terbesar, antara lain, adalah perpecahan internal Palestina antara Hamas di Gaza dan Otoritas Palestina/Fatah di Tepi Barat. Hamas selama ini dianggap sebagai organisasi teror oleh Uni Eropa dan Amerika Serikat, yang menutup kemungkinan terjalinnya relasi diplomatik.

Malta dan Slovenia sudah mengumumkan niat mengakui kedaulatan Palestina, pada waktu yang tepat. Adapun Belgia mengaku enggan memberikan pengakuan simbolik, dan hanya mendorong pembentukan negara Palestina sebagai solusi konflik, menurut Kementerian Luar Negeri di Brussels.

Negara-negara UE di timur, seperti Polandia, sudah mengakui kedaulatan Palestina sejak 1980an, sebagai bagian dari kebijakan Uni Soviet.

Keberpihakan Jerman, Prancis dan Italia

Serupa Belgia, sebagian besar negara anggota Uni Eropa, termasuk Jerman, hanya akan mengakui pembentukan negara Palestina sebagai hasil perundingan damai dan atas restu Israel. Namun, skenario tersebut nyaris mustahil, lantaran penolakan pemerintahan Benjamin Netanyahu terhadap Solusi Dua Negara. Pun Hamas menolak pengakuan terhadap negara Israel, yang sebaliknya bersumpah menghapus negara Yahudi dari peta Bumi.

"Kami mendukung pembentukan negara Palestina, tapi negara Palestina yang mengakui dan diakui oleh Israel. Tidak mungkin kami mendukung negara Palestina yang dipimpin oleh kelompok teror Hamas," kata Menteri Luar Negeri Italia, Antonio Tajani, yang kini mengepalai kelompok tujuh negara industri terbesar di dunia.

Dalam konferensi menteri luar negeri UE di Brussels, Senin (27/5), disepakati bahwa sebelum solusi dua negara dapat dipertimbangkan secara serius, konflik berdarah antara Hamas dan Israel harus diakhiri terlebih dahulu.

Menteri Luar Negeri Jerman Annalena Baerbock kembali menuntut Israel menyepakati gencatan senjata kemanusiaan di Gaza,"untuk mengakhiri penderitaan para sandera dan pada akhirnya mengakhiri penderitaan rakyat di Gaza."

Perang di Gaza dipicu serangan Hamas yang menewaskan 1.200 orang di Israel dan menculik 250 orang ke Jalur Gaza, pada 7 Oktober 2023.

Pasukan Israel beroperasi di Jalur GazaPasukan Israel beroperasi di Jalur Gaza di tengah berlanjutnya pertempuran antara Israel dan kelompok militan Palestina Hamas. (Foto: voaindonesia.com/AFP)

Eskalasi di tengah tuntutan damai

Damai terasa semakin jauh, ketika Hamas kembali menembakkan roket ke arah Israel yang dibalas dengan serangan udara di Jalur Gaza. Hujan roket Israel ikut menyasar sebuah kamp pengungsi di Rafah yang menurut Palestina menewaskan setidaknya 35 orang, sebagian merupakan perempuan dan anak-anak. Insiden itu dipahami pemerintah Israel sebagai sebuah "kesalahan tragis" kata PM Benjamin Netanyahu yang menjanjikan penyelidikan oleh kejaksaan.

"Kedua pihak mengabaikan perintah Mahkamah Internasional," kata Utusan Luar Negeri UE, Josep Borrell di Brussels. "Kita menghadapi dilema. Bagaimana dunia internasional bisa menegakkan perintah Mahkamah Internasional?" tanyanya kepada para menteri luar negeri UE.

Atas permintaan Afrika Selatan, Mahkamah di Den Haag itu, Jumat (24/5) lalu, memerintahkan Israel untuk segera menghentikan operasi militer di Rafah di selatan Gaza, demi menjamin masuknya bantuan kemanusiaan.

Menlu Jerman Baerbock mewakili konsensus umum di antara negara anggota, ketika mengatakan "perintah Mahkamah Internasional adalah bersifat mengikat dan sebabnya harus ditaati," kata dia. "Apa yang kita saksikan justru sebaliknya. Roket-roket kembali ditembakkan Hamas ke arah Tel Aviv. Kita juga bisa melihat, bahwa tidak ada manfaat apapun bagi keamanan Israel, bahwa tidak ada lagi sandera yang dibebaskan, jika warga sipil hangus terbakar di tenda-tenda," kata dia merujuk pada serangan Israel di Rafah.

"Hukum internasional berlaku untuk semua, juga untuk kabinet perang Israel," lanjut Baerbock di Brussels.

Bagi Menlu Italia Antonio Tajani, strategi Hamas membaur dengan warga sipil di Jalur Gaza juga harus dipandang sebagai kejahatan perang. Menurutnya, Hamas menggunakan penduduk Gaza sebagai "instrumen untuk menjebak Israel dalam perang media," ujarnya. Tingginya angka korban jiwa dan gambar-gambar kematian di Jalur Gaza dipercaya mendeskreditkan misi utama Israel, yakni menjamin keselamatan kaum Yahudi.

Tuduhan antisemitisme

Meski demikian, kebijakan pemerintahan ultranasionalis di Yerusalem Barat turut memupuk perselisihan dengan sekutu dekat di Eropa dan Amerika Serikat. Borrell, misalnya, melayangkan kritik tajam ketika Israel menyatakan menolak perintah Mahkamah Internasional. Dia menuntut Netanyahu menghormati mahkamah keadilan PBB di Den Haag, dan Mahkamah Pidana Internasional, ICC, yang mengurusi hak individu.

Baru-baru ini, jaksa penuntut utama di Mahkamah Pidana di Den Haag mengajukan permohonan perintah penangkapan terhadap PM Benjamin Netanyahu dengan dakwaan kejahatan perang.

"Kita harus membiarkan pengadilan yang memutuskan, tanpa perlu menghina keputusan jaksa penuntut di ICC," kata Borrell. "Sayangnya hal ini tidak terjadi. Jaksa penuntut malah dituduh antisemitisme, yang selalu dilayangkan ketika pemerintahan Netanyahu ingin menolak sesuatu. Tuduhan antisemitisme terhadap jaksa ICC tentu tidak bisa diterima," tukasnya. (rzn/as)/dw.com/id. []

Berita terkait
Menlu Antony Blinken Tegaskan AS Tak Terlibat dalam Serangan Israel ke Iran
AS telah memberi tahu para mitra G7 bahwa Washington menerima informasi “menit terakhir” dari Israel mengenai serangan itu