Jakarta - Ketua SETARA Institute, Hendardi berpendapat, pembiaran negara saat ada kerumunan massa yang mengiringi rangkaian kedatangan Habib Rizieq Shihab di Bandar Udara Soekarno-Hatta (Bandara Soetta), kegiatan-kegiatan safari dakwah, dan perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW, ditambah agenda pernikahan Najwa Shihab, putri Rizieq, menjadi paradoks kepemimpinan politik Presiden Jokowi dan jajarannya dalam penanganan Covid-19.
"Jangankan kewajiban menjalankan protokol kesehatan, prinsip hukum salus populi suprema lex esto yang selama ini digaungkan oleh para pejabat negara dan aparat keamanan sama sekali tidak berlaku bagi kerumunan yang diciptakan oleh kedatangan HRS," kata Hendardi dalam keterangan tertulis yang diterima Tagar, Senin, 16 November 2020.
Pembiaran atas kerumunan yang diciptakan oleh massa pengagum HRS adalah bukti kegagapan Jokowi dalam kalkulasi politik yang menjebaknya.
Dia melanjutkan, asas salus populi suprema lex esto berarti keselamatan rakyat adalah hukum yang tertinggi, selama ini telah digunakan oleh pemerintah untuk melakukan pembatasan-pembatasan sosial di tengah pandemi, termasuk digunakan juga untuk melakukan pembubaran kegiatan-kegiatan yang mengkritisi kinerja pemerintah seperti rentetan demo menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja.
Di matanya, para pihak berwenang sejauh ini hanya menyampaikan imbauan agar adanya kerumunan massa seyogianya tetap mengindahkan penerapan protokol kesehatan di tengah pandemi. Maka tak heran, Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan Nikita Mirzani secara satir mengkritik keras kerumunan yang dibiarkan dalam beberapa hari belakangan ini.

Baca juga: Anggap Rizieq Tukang Obat, Nikita Mirzani Langsung Panggil RT
"Padahal, tugas pemerintah adalah mengambil tindakan hukum," ucapnya.
Dia menilai, peragaan tata kelola pemerintahan telah melukai para dokter dan perawat yang tengah berjuang merawat pasien yang terinfeksi Covid-19, lalu para siswa-siswi sekolah yang sudah jenuh dengan metode belajar daring, serta para korban pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat ganasnya pandemi berkepanjangan ini.
Lantas Hendardi meyinggung pilihan politik akomodasi Presiden Jokowi, terutama sejak merangkul Prabowo Subianto menjadi Menteri Pertahanan RI, justru belakangan membiarkan eks Tim Mawar yang 'cacat HAM' menduduki jabatan di pos kementerian yang ditempati Ketua Umum Partai Gerindra itu. Belum lagi jika ditambah penganugerahan Bintang Mahaputera diobral cuma-cuma ke sejumlah elit oposisi.
"Orientasi politik akomodasi adalah terciptanya stabilitas politik dan keamanan. Tetapi akomodasi pragmatis tanpa basis ideologi dan gagasan justru telah menyandera Jokowi dalam kalkulasi-kalkulasi politik pragmatis," ucap Hendardi.
Baca juga: Rizieq Shihab Tidak Peduli Covid-19, Doni Monardo Kirim Masker
"Pembiaran atas kerumunan yang diciptakan oleh massa pengagum HRS adalah bukti kegagapan Jokowi dalam kalkulasi politik yang menjebaknya," ujar dia lagi.
Dia pun menyarankan, seharusnya Presiden Jokowi segera memerintahkan Kapolri Idham Azis untuk menindak kerumunan, mempertegas, dan menindaklanjuti kasus-kasus hukum yang melilit Rizieq. Bisa juga memerintahkan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian untuk mendisiplinkan kepala daerah yang pasif membiarkan kerumunan.
Hendardi pun memprediksi, sandera politik akomodasi dan kalkulasi politik pragmatis akan terus melilit Jokowi dan menjadi warna kebijakan-kebijakan politik pemerintahan hingga 2024 mendatang, apabila presiden tidak mengambil terobosan politik yang berpusat pada gagasan pengutamaan keselamatan, keadilan dan kesejahteraan rakyat.
"Bisa jadi stabilitas politik dan keamanan akan terjaga. Akan tetapi kepemimpinannya telah melahirkan preseden buruk sekaligus merusak demokrasi dan supremasi hukum, alih-alih mewariskan legacy," kata Hendardi. []