Untuk Indonesia

Kejaksaan Agung Tolak Kelainan Orientasi Seksual Ikut CPNS

Temuan Amnesty Internasional Indonesia persyaratan penerimaan CPNS di Kejaksaan Agung (Kejagung) diskriminasi soal kelainan orientasi seksual
Ilustrasi (Foto: vgeorgelaw.com)

Oleh: Syaiful W. Harahap

Catatan: Artikel ini pertama kali ditayangkan di Tagar.id pada tanggal 25 November 2019. Redaksi.

TAGAR.id - Rekrutmen CPNS (Calon Pegawai Negeri Sipil) di Kejaksaan Agung (Kejagung) dilaporkan oleh Amnesty Internasional Indonesia sebagai bentuk diskriminasi. Dalam KBBI diskriminasi adalah pembedaan perlakuan terhadap sesama warga negara (berdasarkan warna kulit, golongan, suku, ekonomi, agama, dan sebagainya). Diskriminasi yang disebut Amnesty Internasional Indonesia pada rekrutmen CPNS Kejagung adalah persyaratan kandidat tidak boleh memiliki “kelainan orientasi seksual” dan “kelainan perilaku (transgender)”, seperti dilaporkan Antara, 23 November 2019.

Pernyataaan “kelainan orientasi seksual” jelas ngawur karena orientasi seksual bukan kelainan. Orientasi seksual adalah ketertarikan secara emosional dan seksual kepada jenis kelamin tertentu. Orientasi seksual ada di alam pikiran.

Orientasi seksual yang dikenal adalah: (a) heteroseksual (ketertarikan dengan lawan jenis), (b) homoseksual (ketertarikan sesama jenis), dan biseksual (ketertarikan dengan lawan jenis dan sejenis).

Di antara tiga orientasi seksual ini juga dikenal parafila yaitu berupa deviasi penyaluran dorongan seksual dengan cara yang lain. Seperti infantofilia (orang-orang yang menyalurkan dorongan seksual kepada bayi dan anak-anak umur 0-7 tahun). Ada lagi pedofilia yaitu orang-orang yang menyalurkan dorongan seksual kepada anak-anak umur 7-12 tahun. Bestialis yang menyalurkan dorongan seksual dengan hewan, dan lain-lain.

Yang jelas orientasi seksual ini tidak kasat mata. Jika dikaitkan dengan LGBT (lesbian, gay, biseksual dan transgender - ini lebih dikenal sebagai Waria), maka yang kasat mata hanyalah transgender. Transgender bukan orientasi seksual dan bukan pula kelainan perilaku, tapi merupakan identitas gender. Maka, penyebutan “kelainan perilaku (transgender)” juga ngawur bin ngaco.

Suami-istri (heteroseksual) juga ada yang melakukan perilaku homoseksual yaitu ada yang memaksa istri melakukan seks oral, seks anal dan posisi “69” (suami mengoral istri/cunnilingus dan istri mengoral suami/fellatio).

Ada juga suami atau istri yang mempunyai orientasi seksual sebagai biseksual. Lalu, laki-laki beristri yang melakukan zina, melacur, kawin-kontrak atau punya bini simpanan yang juga termasuk kelainan perilaku seksual dan menodai kesucian pernikahan yang direstui Tuhan.

Apakah suami istri yang melakukan perilaku LGBT dan yang berzina bukan orang dengan “kelainan orientasi seksual”?

Sebuah studi di Surabaya di tahun 1990-an menunjukkan laki-laki yang kencan dengan waria sebagian besar adalah laki-laki beristri. Bahkan, dalam transaksi seksual suami-suami itu justru jadi ‘perempuan’ (dalam bahasa waria ditempong) dan waria yang jadi ‘laki-laki’ (menempong). Alasan suami-suami itu jadi ‘perempuan’ adalah mereka tidak mengingkari cinta karena tidak memakai penis.

Nah, apakah suami-suami ini tidak termasuk sebagai orang dengan “kelainan orientasi seksual”?

Disebutkan oleh juru bicara Kejaksaan Agung bahwa mereka ingin pelamar yang “normal” dan “wajar”. Kalau lesbian, gay, biseksual dan waria disebut Kejagung tidak normal, maka bagaimana dengan suami-suami pezina dan pelanggan waria?

Disebutkan bahwa Kejagung juga mensyaratkan postur badan ideal dengan standar BMI 18—25 dan tidak mengidap “cacat fisik” dan “cacat mental”.

Terkait dengan ‘cacat fisik’ yang dikenal sebagai disabilitas (keterbatasan melakukan sesuatu karena kondisi fisik) pemerintah sendiri mewajibkan jatah disabilitas pada penerimaan CPNS di kementerian, instansi dan lembaga negara. Jika ‘cacat fisik’ bawaan lahir tentu pembatasan rekrutmen Kejagung berdasarkan cacat bawaan lahir sudah melawan takdir Yang Maha Kuasa.

Lagi pula yang kakinya lumpuh bisa di kursi roda sebagai juru ketik atau operator telepon. Kalangan disabilitas tidak ingin dikasihani, tapi berikan mereka kesempatan sesuai dengan kemampuan mereka. Satu dari tujuh staf khusus milenial yang dipilih Presiden Joko Widodo (Jokowi) yaitu Angkie Yudistia adalah seorang tuna rungu.

Sudah saatnya kementerian, instansi dan lembaga negara menjadi panutan untuk menghapus segala macam bentuk diskriminasi karena diskriminasi adalah perbuatan yang melawan hukum dan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia (HAM). []

*Syaiful W. Harahap adalah Redaktur di Tagar.id

Berita terkait
Persyaratan yang Diskriminatif dalam Penerimaan CPNS
Amnesty Internasional Indonesia menemukan persyaratan penerimaan CPNS diskriminatif, di Kejaksaan Agung dilarang dngan kelainan orientasi seksual
Menpan-RB Tanggapi Diskriminasi Gender Tes CPNS
Menpan-RBT angkat suara terkait temuan Ombudsman soal adanya diskriminasi gender pada penerimaan CPNS 2019.
Menpan-RB Turunkan Penilaian Masuk CPNS 2019
Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB) menurunkan nilai kelulusan dalam penerimaan CPNS 2019.
0
Bruce Springsteen Resmi Jadi Seorang Miliarder
Sebagian besar karena penjualan blockbuster pada 2021 dari katalog musiknya ke Sony dengan harga sekitar Rp 8,1 triliun