Jakarta – Menurut sebuah laporan terbaru, kekerasan pasca kudeta militer di Myanmar telah meningkat, sementara pasukan "bela diri" antijunta meningkatkan upaya melawan militer, menurut sebuah laporan terbaru. Laporan itu bertujuan untuk memperingatkan mengenai "banyaknya" korban apabila rezim menggunakan kekuatan penuh dalam penindakan keras.
Myanmar telah mengalami pergolakan sejak kudeta 1 Februari 2021 yang menggulingkan pemerintahan sipil de facto, Aung San Suu Kyi. Lebih dari 880 warga Myanmar tewas akibat kebrutalan junta militer yang berkuasa, ini menurut sebuah kelompok pengawas setempat.
Di sebagian wilayah, warga setempat seringkali menggunakan senapan berburu atau senjata yang dirakit di pabrik-pabrik darurat di hutan. Mereka telah membentuk "pasukan pertahanan" untuk melawan.

Sebagai balasannya, militer menggunakan helikopter dan artileri, termasuk melawan kelompok-kelompok di negara bagian Chin dan di sepanjang perbatasan timur dengan Thailand.
"Dalam menghadapi pemberontakan bersenjata, Tatmadaw (militer Myanmar) bisa melancarkan kekuatan militer besar-besaran terhadap warga sipil," kata Kelompok Krisis Internasional, lembaga kajian non-pemerintah yang berusaha mencegah konflik, dalam pernyataan mereka.
Para pendemo anti-kudeta berunjuk rasa di Yangon, Myanmar, 3 Juni 2021 (Foto: voaindonesia.com/AP)
"Korban manusia akan sangat banyak -terutama perempuan, anak-anak dan lansia- yang mengalami kesulitan paling besar akibat kekerasan dan kehilangan tempat tinggal," tambah LSM itu.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengatakan pekan lalu bahwa sejauh ini sekitar 230 ribu orang telah kehilangan tempat tinggal akibat pertempuran dan ketidakamanan (vm/pp)/AFP/voaindonesia.com. []