Oleh: Syaiful W. Harahap*
Dalam laporan Ditjen P2P, Kemenkes RI, tanggal 29 Mei 2020, tentang Perkembangan HIV/AIDS dan Penyakit Infeksi Menular Seksual (PIMS) Triwulan I Tahun 2020, jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS dari tahun 1987 sd. Maret 2020 di wilayah Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) adalah 12.106 yang terdiri atas 10.011 HIV dan 2.095 AIDS. Jumlah ini menempatkan Banten di peringkat ke-10 dalam jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS secara nasional.
Posisi Kepulauan Riau pada 10 provinsi terbanyak kasus HIV/AIDS secara nasional. (Tagar/Syaiful W Harahap).
Sedangkan kasus kumulatif HIV/AIDS nasional dari tahun 1987 sd. Maret 2020 berjumlah 511.955 yang terdiri atas 388.724 HIV dan 123.231 AIDS dengan 17.210 kematian.
Baca juga: Kasus Kumulatif HIV/AIDS di Indonesia Tembus 500.000
Di awal tahun 1990-an otoritas Singapura mewajibkan semua laki-laki yang melancong dan menginap ke Riau, sekarang yang masuk wilayah Kepri, ketika kembali ke Singapura jalani tes HIV. Pemerintah Singapura tentu saja punya alasan yang kuat mengapa mewajibkan laki-laki yang melancong ke Kepri harus jalani tes HIV.
Ketika itu Pemda Riau, termasuk wilayah Kepri yang sekarang, mempunyai program memulangkan pekerja seks komersial (PSK) yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS ke daerah asalnya.
Cara-cara pemulangan PSK itu juga menimbulkan masalah di daerah asal PSK karena informasi pemulangan ‘bocor’ ke wartawan. Akibatnya, PSK belum sampai di rumahnya tapi berita di media massa sudah tersebar luas tentang kepulangan PSK. Keluarga PSK yang dipulangkan pun diserbu warga dan wartawan. Bahkan, ada yang dikucilkan warga sedangkan anaknya belum sampai di rumah.
Pemulangan PSK yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS tidak menyelesaikan masalah karena ada dua kemungkinan, yaitu:
(1). PSK itu justru tertular HIV/AIDS dari laki-laki penduduk setempat. Laki-laki ini ada yang beristri sehingga istrinya berisiko pula tertular HIV/AIDS, dan
(2). PSK tsb. ketika tiba di Kepri mengidap HIV/AIDS. Laki-laki warga lokal yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK tsb. berisiko tertular HIV/AIDS.
Laki-laki warga setempat yang menularkan HIV/AIDS ke PSK dan yang tertular HIV/AIDS dari PSK jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat.
Selain itu ketika surveilans tes HIV dilakukan terhadap PSK bisa saja ada PSK yang dalam masa jendela yaitu tertular HIV/AIDS di bawah tiga bulan sehingga hasil tes HIV-nya non reaktif. Ini yang disebut non reaktif palsu. Di tubuhnya sudah ada HIV tapi tidak terdeteksi reagen karena yang dicari reagen adalah antibodi HIV bukan virus (HIV). Antibodi HIV baru bisa dideteksi setelah tertular HIV lebih dari tiga bulan. PSK yang non reaktif palsu jadi penyebar HIV/AIDS di Kepri.
Baca juga: Menelusuri Akar Kasus HIV/AIDS Pertama di Indonesia
Biar pun Kepri ada di peringkat ke-10 dengan 12.106 kasus kumulatif HIV/AIDS yang perlu diingat adalah jumlah itu (12.106) tidak menggambarkan kasus yang sebenarnya di masyarakat karena ada warga yang tidak terdeteksi. Ini terjadi karena tidak ada gejala-gejala yang khas AIDS pada warga yang tertular HIV/AIDS.
Itu artinya penyebaran HIV/AIDS di Kepri terus terjadi bagaikan ‘bom waktu’ yang kelak bermuara pada ‘ledakan AIDS’. []
* Syaiful W. Harahap, Redaktur di Tagar.id