Atambua, (Tagar 31/7/2017) – Penyelundupan bahan bakar minyak (BBM) jenis minyak tanah sebanyak 420 liter dari Atambuana ke Timor Leste digagalkan Satuan Narkoba Polres Belu. Penyelundupan dilakukan melalui jalan tikus di kawasan Sesekoe, Kelurahan Umanen, Kecamatan Atambua Barat, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur (NTT) pada Sabtu (29/7).
Aksi penggagalan penyelundupan tersebut dipimpin langsung oleh Kaur Bin Ops Narkoba Ipda Oscar Pinto Ribeiro. Oleh penyelundup, yakni Yustus Leki, BBM sebanyak 420 liter dimasukkan ke dalam jerigen, lalu dibawa menggunakan mobil Inova silver dengan Nomor Polisi DK 1272 EJ.
Disebutkan, Yutus Leki selama ini sulit ditangkap lantaran tersangka kerap bermain mata dengan aparat keamanan. Namun, karena aksinya dinilai meresahkan masyarakat, sebuah operasi dilakukan untuk membekuknya.
“Kita dapat laporan dari masyarakat bahwa Yustus itu sulit ditangkap karena keseringan bermain mata dengan oknum-oknum tertentu dalam melakukan penyelundupan BBM ke Timor Leste. Apalagi informasi itu sampai terdengar ke atasan, maka kami diperintahkan untuk menertibkan,” kata Oscar Pinto Ribeiro kepada tagar.id, Senin (31/7).
“Yustus membeli BBM tersebut dari Aldi yang merupakan agen minyak tanah. Aldi tinggal di Gang Patlot, rumahnya di samping kantor Keuangan Tulamalae. Yustus mengakui bahwa BBM itu akan diselundupkan ke Timor Leste melalui salah satu jalur tikus di perbatasan Motaain, Desa Silawan, Kecamatan Tasifeto Timur, Kabupaten Belu,” tambah Oscar.
Dijelaskan Oscar, pelaku masih dalam pemeriksaan oleh anggota Unit Tindak Pidana Tertentu (Tipiter) Satuan Reskrim Polres Belu. Barang bukti berupa minyak tanah sebanyak 420 liter yang diisi ke dalam 5 buah jerigen kemasan 35 liter beserta mobilnya sudah diamankan petugas.
Sementara itu, Leonardus Mali Mau, salah satu tokoh Pemuda di Atambua mengatakan, sebenarnya penyelundupan BBM dan sejenisnya tidak akan pernah terjadi di Kabupaten Belu yang merupakan daerah perbatasan Indonesia - Timor Leste. Tetapi karena adanya dukungan secara diam-diam dari oknum tertentu yang berprofesi sebagai aparat keamanan, maka masyarakat pun berani melakukannya.
“Dari dulu sampai sekarang mata pencaharian masyarakat di sini kan hanya petani, tukang, dan nelayan. Kok, tiba-tiba berubah profesi itu kan aneh sekali. Siapa yang mendukung mereka kalau bukan aparat?” tukas Leo.
Diakuinya, sejak Timor Leste memperoleh kemerdekaan lewat Referendum 1999, di saat itulah garis perbatasan Indonesia - Timor Leste sarat dengan berbagai kasus, salah satunya penyelundupan.
“Selain mendapat dukungan secara diam-diam dari oknum tertentu, maka satu-satunya cara yang ditempuh adalah penyelundupan. Karena Desa Silawan, Mota’ain dan sekitarnya, merupakan desa yang tidak mempunyai hasil panen. Mau panen apa kalau lahan garapan saja tidak ada. Kalau pun ada, toh tidak ada air dan bantuan,” ujarnya.
“Masyarakat di sini memang hidup susah. Apalagi saat ini sudah masuk musim kemarau, air susah di dapat. Carikan solusinya yang tepat, agar budaya penyelundupan itu bisa dikurangi. Bukannya menangkap, lalu memprosesnya masuk penjara. Pemerintah harus mampu menyiapkan dan membuka lapangan pekerjaan di sini supaya warga di desa-desa perbatasan bisa memperoleh penghasilan yang layak,” ujar Leo.
Sementara itu, Bupati Kabupaten Belu Willybrodus Lay belum dapat dikonfirmasi terkait makin maraknya penyelundupan di Atambua. (flx)