"Lu gak takut, Bang?" Tanya seorang teman yang heran kenapa sejak 2011 aku konsisten bersuara keras, menghantam pemikiran kelompok radikal yang menguasai media sosial. "Gak takut?" Tanyaku. "Justru gua sebenarnya penakut."
Tapi ketakutanku bukan karena takut nanti dipersekusi atau diintimidasi mereka. Ketakutan terbesarku adalah ketika aku tidak bersuara, maka negeri ini kelak bisa menjadi Suriah ketika kelompok radikal ini menguasai negara. Dan jika itu terjadi, anak-anakku kelak akan menuntutku, "Kenapa Papa tidak berjuang pada saat Papa mampu?"
Ketakutanku terbesar adalah ketika aku tidak mampu berdiri dengan kepala tegak di depan anak-anakku. Itulah arti menjadi seorang ayah bagiku, menjadi teladan di depan anak-anakku.
Baca juga: Denny Siregar Memburu Orang Dalam Telkomsel
Dan semakin ke sini, musuh-musuhku semakin kuat dan semakin besar. Mereka yang sejak belasan tahun sudah menguasai banyak posisi penting di pemerintahan dan perusahaan negara, mereka yang punya akses dan dana, mereka yang sudah mempunyai massa.
Pernah, beberapa bulan lalu, aku dihubungi seseorang yang memberikan foto-foto penangkapan seorang teroris lengkap dengan senjata rakitannya. Dia heran, karena si teroris itu mengaku sedang berlatih keras untuk menghilangkan nyawaku. "Apa pentingnya seorang Denny?" Tanyanya.
Ternyata jawaban si teroris, karena aku dan pemikiran-pemikiranku menghalangi strategi besar mereka untuk mendirikan negara khilafah.
Mungkin inilah waktu-waktu terpenting dalam perjalanan hidupku. Aku tidak suka diremehkan.
Baca juga: Denny Siregar Menggugat Telkomsel
Ilustrasi - Gedung Telkomsel. (Foto: Istimewa)
Dari situlah aku sadar, bahwa pemikiran itu seperti pedang. Ia mampu menjadi senjata tajam dalam bentuk pertarungan propaganda dan pembentukan opini. Dan media sosial adalah medan tempurnya.
Lalu, ketika mereka tidak mampu membunuh narasi-narasi dan pemikiranku, juga tidak mampu mengintimidasiku dengan kata "penggal" "halal darahnya" dan segala macam tekanan lainnya, mereka memainkan hukum untuk memasukkanku ke penjara.
Gagal. Karena mereka terlalu bodoh untuk itu. Laporan mereka hanya berdasarkan nafsu, bukan alat bukti yang cukup. Tapi mereka berkoar kalau aku dilindungi rezim yang mereka lawan. Dan karena tidak mampu "membunuhku", mereka menyerang keluargaku. Mereka mencari titik lemahku.
Baca juga: Perhatian Telkomsel Terhadap Persoalan Denny Siregar
Penyebaran data pribadi itu sangat jahat dan hanya dilakukan para pecundang, yang kalah bertarung di pemikiran. Dan si provider besar itu harus bertanggung jawab penuh, karena dari sanalah sumber data berasal. Itulah kenapa aku merasa, lawanku semakin ke sini bukan semakin kecil, justru seperti main game bertemu raja-rajanya.
Tegang, sekaligus mengasyikkan.
Mungkin inilah waktu-waktu terpenting dalam perjalanan hidupku. Aku tidak suka diremehkan, justru semakin ditekan, diriku semakin berdansa di tengah masalah. Seperti bermain catur, langkah mana yang harus dilakukan untuk menyerang dan bertahan.
Bahkan membunuh fisikku tidak akan menghentikan apa yang sudah dilakukan. Karena pemikiran itu abadi, jejaknya membekas di hati, dalam dan membangunkan api untuk semakin berkobar.
Mereka tidak tahu, dengan siapa mereka berperang. Biar kutunjukkan. Kalah menang itu bukan tujuan. Karena jejak perjuangan itu tidak akan pernah menghilang.
Seruput kopinya untuk jiwa-jiwa yang merdeka dan para pencari arti dalam perjalanan.
*Penulis buku Tuhan dalam Secangkir Kopi
Baca juga: