Khawatir Jadi Virus, Pemerintah Tak Akan Pulangkan WNI Eks ISIS

Pemerintah secara resmi memutuskan tidak akan memulangkan sekitar 600 warga negara Indonesia (WNI) yang terlibat jaringan ISIS.
Peserta aksi Barisan Relawan Bhinneka Jaya (Barabaja) berunjuk rasa dengan membawa poster di depan Istana Merdeka Jakarta, Senin, 10 Februari 2020. Mereka menolak rencana pemulangan sekitar 600 warga negara Indonesia (WNI) eks ISIS kembali ke Indonesia. (Foto: Antara/Wahyu Putro A)

Jakarta - Pemerintah secara resmi memutuskan tidak akan memulangkan sekitar 600 warga negara Indonesia (WNI) yang terlibat jaringan ISIS. Keputusan ini diambil dalam rapat terbatas di Istana Kepresidenan, Bogor, yang dipimpin langsung oleh Presiden Joko Widodo.

Menurut Menko Polhukam Mahfud MD, keputusan tersebut diambil karena negara tak ingin kepulangan FTF (foreign terrorist fighter) tersebut menjadi virus bagi sekitar 267 juta rakyat Indonesia. 

"Keputusan rapat tadi pemerintah dan negara harus memberi rasa aman dari teroris dan virus-virus baru, terhadap 267 juta rakyat Indonesia," kata Mahfud di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Selasa, 11 Februari 2020.

Tolak ISISPeserta aksi yang tergabung dalam Barisan Relawan Bhinneka Jaya (Barabaja) berunjuk rasa dengan membawa poster di depan Istana Merdeka Jakarta, Senin, 10 Februari 2020. (Foto: Antara/Wahyu Putro A)

"Pemerintah, tidak ada rencana memulangkan teroris. Tidak akan memulangkan FTF ke Indonesia," kata Mahfud menambahkan.

Seperti diketahui, wacana pemulangan WNI eks ISIS muncul terutama dari pernyataan Menteri Agama Fachrul Razi yang menyebut akan memulangkan mereka. 

Di sisi lain, Imparsial menyarankan pemerintah untuk memulangkan WNI yang menjadi FTF atau terduga teroris lintas-batas dari Indonesia.

"Pemerintah sebaiknya mengambil pilihan untuk memulangkan WNI simpatisan ISIS dan tidak mencabut kewarganegaraan mereka," kata peneliti Imparsial Hussein Ahmad dalam konferensi pers, di Kantor Imparsial, Jakarta, Selasa, 11 Februari 2020, mengutip Antara.

Menurut dia, dengan mempertimbangkan status kewarganegaraan merupakan sebuah hak yang sangat berharga. Oleh karena itu, sanksi pencabutan kewarganegaraan sebaiknya dihindari.

Apalagi, kata Hussein, Indonesia menganut asas kewarganegaraan tunggal dan tak menganut asas kewarganegaraan ganda.

Selain itu, jika opsi pencabutan kewarganegaraan ditempuh, berpotensi merendahkan derajat kehormatan manusia.

Sementara itu, Direktur Imparsial Al Araf menyebutkan, pemerintah tak bisa melepaskan tanggung jawab dari kewajiban konstitusionalnya dalam menangani WNI yang menjadi simpatisan organisasi terorisme.

Tolak ISISPeserta aksi yang tergabung dalam Barisan Relawan Bhinneka Jaya (Barabaja) berunjuk rasa dengan membawa poster di depan Istana Merdeka Jakarta, Senin, 10 Februari 2020. (Foto: Antara/Wahyu Putro A)

Status sebagai warga negara pada dasarnya menjadi sebuah hak yang dijamin dalam konstitusi.

"Terjaminnya kewarganegaraan dalam konstitusi Republik Indonesia sebagai sebuah hak adalah perwujudan dari pengakuan negara akan keterikatan individu dalam komunitas politik bangsa Indonesia," katanya.

Upaya menangani terorisme merupakan upaya menjaga perdamaian dunia yang merupakan kewajiban konstitusional pemerintah sebagaimana ditegaskan dalam Pembukaan UUD 1945.

Dengan mencabut kewarganegaraan, kata Al Araf, akan berdampak pada statelessness dan berpotensi menimbulkan masalah baru bagi keamanan global.

Oleh karena itu, Imparsial mengusulkan agar pemerintah memilah-milah peran mereka jika seandainya dipulangkan ke Tanah Air.

"Pemerintah sebaiknya melakukan proses hukum terhadap WNI yang memang terlibat kejahatan terorisme ketimbang mencabut kewarganegaraannya," katanya.

Jika terdapat WNI yang terlibat aktif sebagai teroris pelintas batas di Suriah dan Irak serta sedang dalam proses hukum di negara tersebut, pemerintah perlu menghormati mekanisme hukum yang berlaku di negara tersebut.

"Sedangkan terhadap mereka yang tidak dalam proses hukum di negara tersebut, maka pemerintah dapat memulangkan WNI tersebut dan memproses secara hukum sesuai aturan hukum yang berlaku di Indonesia," ujar Al Araf. []


Berita terkait
Mengapa Aceh Dijadikan Tempat Karantina WNI Eks ISIS
Pengamat politik dan kemanan Aceh, Aryos Nivada, mempertanyakan mengapa harus Aceh yang menjadi tempat untuk melakukan karantina WNI Eks ISIS.
PBNU: WNI Eks ISIS Bakar Paspor Negara Thogut
Ketua Umum PBNU Said Aqil Siroj menentang keras wacana pemerintah memulangkan WNI eks ISIS dari Timur Tengah, yang saat ini terlunta-lunta.
Apa Pun Risikonya Jokowi Harus Menerima 600 Eks ISIS
Jokowi harus menyelamatkan anak-anak dan wanita yang tidak berdosa, yang dibawa orang tua atau suami ke Suriah untuk bergabung dengan ISIS.