Kisah Silariang di Kabupaten Jeneponto

Sepasang kekasih di Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan, ingin menikah, tapi tak direstui orang tua. Mereka melakukan silariang atau kawin lari.
Foto ilustrasi Marsina di hutan, kisah silariang di Jeneponto. (Foto: Tagar/Ardiansyah)

Jeneponto - Sepasang kekasih di Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan, ingin menikah, tapi tak direstui orang tua. Mereka terpaksa mengambil jalan pintas, yaitu silariang atau kawin lari. Sepasang kekasih itu sebut saja namanya Patta dan Marsina. Keduanya tinggal satu kampung di Desa Kareng Loe, Kecamatan Bontoramba, Jeneponto, atau sebutan orang zaman dulu, Gallarang Tina'ro, Jeneponto.

Keduanya mulai saling menyukai saat bertemu di acara pertunjukan musik pasuling di pesta pernikahan warga. Mereka datang dengan rekan masing-masing, Patta bersama dua teman, Marsina bersama empat teman.

Pada zaman itu sekitar tahun 1969 belum ada kendaraan dan lampu listrik. Mereka dengan rombongan masing-masing, berjalan ratusan meter dengan membawa obor. Di perjalanan, dua rombongan itu bertemu, bersama-sama menuju lokasi pesta pernikahan warga. Pada saat itulah Patta dan Marsina jatuh cinta pada pandangan pertama.

Meskipun dalam pertemuan itu mereka saling suka, mereka tidak bisa berdekatan karena masa itu adat Jeneponto masih kental dan keras. Orang yang dilihat berduaan laki-laki dan perempuan yang bukan saudara kandung, akan dipukul atau dibunuh.

Untuk menghindari hal yang tidak diinginkan, mereka berjalan berjauhan sekitar 30 meter. Rombongan Marsina berada di depan dan rombongan Patta di belakang.

Setelah melakukan perjalanan beberapa menit keduanya sampai di lokasi, dan menyaksikan pertunjukan pasuling. Karena di perjalanan keduanya mulai saling suka, di lokasi pertunjukan musik pasuling, mereka tidak menikmati suara merdu pasuling (seruling) melainkan mereka asyik bertatapan sambil tersenyum malu.

Setelah pertunjukan selesai, Marsina dan Patta pulang ke rumah masing-masing, sama-sama tidak bisa tidur, sama-sama saling memikirkan.

Nai-Nai ko anggappai Marsina siagang Patta alle buno (Siapa-siapa yang temukan Marsina dan Patta, bunuh saja).

SilariangFoto ilustrasi Patta di hutan, kisah silariang di Jeneponto. (Foto: Tagar/Ardiansyah)

Keesokan harinya, pada pagi hari, Patta meminta keluarga perempuannya bernama Rohani menemui Marsina untuk menyampaikan perasaan cintanya. Di hari itu juga Rohani mendatangi rumah Marsina dan menyampaikan pesan Patta. Dan hasilnya Marsina juga menyukai Patta.

Saat itu mereka mulai menjalin hubungan kekasih meski hubungan itu dijalani jarak jauh karena masa itu hukum di Jeneponto keras dan kejam. Orang yang ditemukan atau terlihat duduk berdua yang bukan saudara kandung akan dipukul.

Untuk menghindari itu mereka menggunakan penghubung untuk menyampaikan sesuatu. Seiring berjalanya waktu tak terasa hubungan mereka berlangsung dua tahun. Di usia itu, Marsina meminta kepada Patta kekasihnya untuk segera melamar, dan saat itu Patta bersedia dan meminta waktu dua hari untuk menyampaikan kepada orang tuanya bahwa dirinya ingin menikahi kekasihnya.

Saat ada kesempatan, Patta menyampaikan kepada kedua orang tuanya, dirinya ingin menikahi pacarnya. Beruntung keinginannya dikabulkan kedua orang tuanya. 

Seminggu usai Patta menyampaikan keinginannya kepada orang tuanya, orang tua Patta menemui orang tua Marsina untuk membahas hubungan mereka ke jenjang selanjutnya, yaitu pernikahan. Namun apa hasilnya? Orang tua Marsina tidak merestui karena status derajat mereka berbeda. Keluarga Marsina keturunan darah biru, sementara keluarga Patta keturunan orang biasa.

Dengan rasa kecewa, kedua orang tua Patta pulang ke rumah, menyampaikan kepada Patta bahwa orang tua Marsina tidak merestui hubungannya. 

Patta terpukul dan berpikir akan kehilangan orang yang dicintainya. Namun apa yang terjadi? Keesokan harinya Patta kembali menyuruh Rohani menemui Marsina, menyampaikan kabar orang tuanya tidak merestui hubungannya.

Mendengar itu, Marsina kecewa kepada orang tuanya. Dan saat itu keduanya merasa gelisih ingin berbuat apa. Meski hubungan mereka tidak direstui, mereka tetap menjalaninya sambil mencari cara agar hubungan tetap berlanjut.

SilariangFoto ilustrasi rumah Patta dan Marsina di hutan, kisah silariang di Jeneponto. (Foto: Tagar/Ardiansyah)

Sambil mencari cara, Patta kembali melakukan aktivitas sebagai petani, dan Marsina juga melakukan aktivitas keseharian di rumah. Sehingga tak terasa waktu menjelang sore, dan Patta masih berpikir langkah yang harus dilakukan agar mereka tidak berpisah.

Patta yang mondar-mandir memikirkan itu, akhirnya berniat kawin lari atau silariang bersama Marsina. Patta pun pulang ke rumah, mencari penghubungnya, Rohani, untuk menyampaikan kepada Marsina bahwa langkah yang harus dilakukan agar tetap bersama adalah kawin lari, dan hasilnya Marsina pada saat itu setuju. Rohani kembali menyampaikan ke Patta bahwa Marsina juga ingin kawin lari atau silariang.

Keesokan harinya, Patta kembali menyuruh Rohani menemui Marsina untuk menyampaikan, jika ingin kawin Lari, Patta menunggu kamu di perbatasan desa.

Sekitar pukul 23.00 Wita malam minggu dalam kondisi sunyi gelap, Patta menunggu Marsina. 

Saat itu Marsina masih berusaha keluar rumah tanpa diketahui kedua orang tuanya. Ia berjalan pelan-pelan di atas rumah panggung milik orang tuanya. Marsina berhasil keluar rumah dengan membawa pakaian dibungkus sarung. Pada masa itu belum ada tas, sarung diikat dijadikan tas.

Patta dan Marsina dibutakan cinta, nekat melanjutkan perjalanan kawin lari meski perbuatan itu melanggar hukum adat Jeneponto. Di perjalanan keduanya kebingungan harus tinggal di mana, akhirnya masuk hutan untuk bersembunyi.

Esok harinya, orang tua Marsina bangun, melihat kamar Marsina terbuka dan kosong, ia kaget dan segera mencari Marsina di segala sudut rumah, namun tidak membuahkan hasil. Orang tua Marsina berlari keluar, bertanya kepada warga di mana gerangan Marsina, tak satupun yang mengetahuinya.

Setelah dua hari mencari Marsina belum juga ditemukan, orang tua Marsina saat itu curiga Marsina ada di rumah Patta. Sehingga pada saat itu mereka menuju rumah Patta. Orang tua Patta mengatakan dalam bahasa Jeneponto atau Makassar "Tenai Patta ri Balla, Rua Gallomi Tena (Tidak ada Patta di rumah, sudah dua hari tidak tinggal di rumah)."

Saat itu, orang tua Marsina meyakini Marsina pergi bersama Patta atau mereka silariang. Usai itu Orang tua Marsina pun kembali ke rumah, menyampaikan kepada semua keluarganya dalam bahasa Jeneponto. "Nai-Nai ko anggappai Marsina siagang Patta alle buno (Siapa-siapa yang temukan Marsina dan Patta, bunuh saja)."

Seiring permasalahan itu, tak terasa sudah sebulan Patta dan Marsina melakukan kawin lari dan tinggal di hutan. Mereka membangun rumah kebun di hutan, dan hidup bahagia.

Saat keberadaanya di dalam hutan, secara tak sengaja dilihat seorang warga yang kebetulan melintas, dan saat itu juga warga tersebut menemui orang tua Marsina, menyampaikan dirinya melihat Patta dan Marsina di hutan.

Dengan membawa senjata tajam yang berkilau, orang tua dan keluarga Marsina bergegas menuju hutan. Marsina dan Patta yang tidak mengetahui tempat persembunyiaanya sudah diketahui orang tuanya, tetap melakukan aktifitasnya keseharianya di hutan meski nyawanya terancam. Marsina saat itu mencari makanan yang bisa dimakan dan Patta ke sungai mengambil air.

Dalam kondisi yang sunyi dan hening, orang tua dan keluarga Marsina tiba di hutan tempat keduanya tinggal selama kawin lari atau silariang.

Patta pada saat itu berada di samping rumahnya di hutan dan sudah terkepung oleh keluarga Marsina, dan tidak bisa ke mana-mana.

Tanpa belas kasihan, keluarga Marsina menebas Patta berkali-Kali menggunakan parang. Marsina yang berada di atas rumah yang melihat Patta ditebas berupaya menghalangi.

Namun apa yang terjadi? Marsina juga ikut ditebas oleh keluarganya sendiri karena sudah mencoreng nama baik keluarga besarnya.

Dengan kondisi berlumuran darah keduanya meninggal, jenazah dibawa ke rumah orang tua masing-masing untuk dikebumikan di tempat pemakaman umum terdekat di desa. []

Cerita ini beredar dari mulut ke mulut secara turun-temurun di Jeneponto, hingga diceritakan seorang warga setempat bernama Palasa, 50 tahun, kepada Tagar, di pengujung Januari 2020

Baca cerita lain:

Berita terkait
Qudratullah, Dosen Muda Berprestasi, Lajang Ganteng dari Bantaeng
Di bawah pucuk-pucuk pinus dan kabut tipis bumi perkemahan Trans Muntea, Desa Bonto Lojong, Kecamatan Ulu Ere, Kabupaten Bantaeng.
Suman, Anak Makassar Berpenyakit Aneh
Suman, seorang anak laki-laki berusia 10 tahun di Makassar, tidak diketahui kenapa ada benjolan sebesar kepalan tangan orang dewasa di dadanya.
Sejarah Makam Raja Pehobi Sabung Ayam di Jeneponto
Ratusan batu nisan yang disebut pajjerakkang berjejer di area kompleks pemakaman Raja Binamu, di Kecamatan Bontoramba, Kabupaten Jeneponto.
0
Harga Emas Antam di Pegadaian, Rabu 22 Juni 2022
Harga emas Antam hari ini di Pegadaian, Rabu, 22 Juni 2022 untuk ukuran 1 gram mencapai Rp 1.034.000. Simak rincian harganya sebagai berikut.