Jakarta - Kebutuhan konsumsi besi dan baja di Indonesia terbilang rendah, masih di bawah 100 kilogram per kapita per tahun. Konsumsi tersebut menurut Direktur Utama PT Krakatau Steel (Persero) Tbk, Silmy Karim masih bisa ditingkatkan sesuai ukuran ideal 300 hingga 400 kilogram per kapita per tahun.
"Artinya potensi pasar masih bagus. Jangan sampai konsumsi besi baja itu yang menikmati produk impor, kan sayang. Ini akan membuat gap semakin besar memberikan tekanan terhadap neraca perdagangan," kata Silmy Karim dalam wawancara dengan Tagar TV.
Terjadi rugi selisih kurs, karena produk impor itu mesti membelinya dengan mata uang asing.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), besi dan baja tercatat sebagai komoditas impor terbesar ketiga di Indonesia dengan 7 persen dari total impor 2018 dan 2019. Dari data Januari - April 2020 terungkap, importasi produk besi dan baja itu mencapai 2,04 juta ton
Silmy yang juga Ketua Asosiasi Industri Besi dan Baja Indonesia (AIBBI) mengatakan rata-rata konsumsi besi dan baja mencapai 20 juta per tahun, dengan angka impor dikisaran 7 juta- 8 juta per tahun. "Potensi konsumsi itu sebenarnya bisa dipenuhi oleh produksi dalam negeri," tuturnya.

Namun sayangnya, impor besi dan baja membanjiri Indonesia terutama dari China dan Vietnam. Belum lagi dari impor negara-negara bekas pecahan Uni Soviet, ini cukup signifikan mempengaruhi pasar baja di Indonesia.
"Ini perlu menjadi perhatian karena bisa menekan neraca perdagangan dan juga menekan kurs. Terjadi rugi selisih kurs, karena produk impor itu mesti membelinya dengan mata uang asing sehingga kebutuhan mata uang asing meningkat," ucap Silmy yang pernah menjadi Dirut Pindad.
Menurutnya, perlu ada kepedulian dari pengambil kebijakan untuk membuat kebijakan-kebijakan yang dapat meningkatkan industri baja dalam negeri. Utilisasi dikisaran 50 persen dan menurun terkena imbas Covid-19.
Namun Silmy optimistis 80 persen dari kapasitas produksi bisa dipenuhi dari dalam negeri. "Menurut saya, ini perlu menjadi perhatian semua pihak karena besi dan baja akan sangat mempengaruhi efisiensi atau kinerja dari industri-industri turunannya," tutur mantan Direktur Utama PT Barata Indonesia (Persero).
Silmy menaruh perhatian pada baja khusus (special steel) yang menurutnya masih perlu impor. Indonesia sebenarnya bisa memenuhi kebutuhan tersebut, namun kualitasnya tidak ketemu skala ekonominya.
"Waktu saya di Pindan, kebutuhan untuk besi baja tahan peluru kita beli dari Krakatau Steel, tapi juga impor," ucap Silmy. []
- Baca Juga: Kurangi Beban, Krakatau Steel Pangkas Ribuan Karyawan
- Krakatau Steel Kebagian Dana PEN Rp 3 Triliun Melalui OWK