Jakarta - Lebanon berduka, setelah ledakan di daerah pelabuhan di kota Beirut menewaskan sedikitnya 135 orang dan menyebabkan ribuan lainnya luka-luka. Insiden berdarah ini semakin membuat negara yang mendapat julukan Paris dari Timur Tengah semakin masuk ke dalam jurang krisis.
Ledakan itu datang pada situasi yang sulit bagi Lebanon, tidak hanya berusaha mengekang penyebaran virus corona Covid-19, tetapi juga terperosok dalam krisis ekonomi yang belum pernah terjadi sebelumnya. Krisis ekonomi menyebabkan puluhan ribu orang jatuh ke dalam kemiskinan dan memicu protes besar-besaran anti-pemerintah.
Baca Juga: Ledakan di Beirut Lebanon, Kylie Jenner Berdoa
Seperti diberitakan dari BBC News, tanda-tanda krisis ekonomi Lebanon sudah terlihat sebelum pandemi Covid-19. Hutang publik terhadap produk domestik bruto (apa yang dimiliki negara dibandingkan dengan apa yang dihasilkannya) adalah yang tertinggi ketiga di dunia. Sementara tingkat pengangguran mencapai 25%; dan hampir sepertiga penduduk hidup di bawah garis kemiskinan.
Pada saat yang sama, warga semakin marah dan frustrasi tentang kegagalan pemerintah untuk menyediakan layanan dasar. Mereka harus berhadapan dengan pemadaman listrik harian, kurangnya air minum yang aman, terbatasnya layanan kesehatan masyarakat, seta koneksi internet terburuk di dunia.
Banyak yang menyalahkan elit penguasa yang mendominasi politik selama bertahun-tahun. Mereka memperkaya diri sendiri, gagal melakukan reformasi besar-besaran yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah negara.

Protes Semakin Meningkat
Pada awal Oktober 2019, kekurangan mata uang asing menyebabkan pound Lebanon kehilangan nilai terhadap dolar di pasar gelap yang baru muncul untuk pertama kalinya dalam dua dekade. Ketika importir gandum dan bahan bakar menuntut pembayaran dalam dolar, serikat pekerja disebut-sebut melakukan aksi mogok.
Kemudian, kebakaran hutan yang belum pernah terjadi sebelumnya di pegunungan barat Lebanon, memicu masalah betapa pemerintah kekurangan dana dan kurangnya pelayanan pemadam kebakaran.
Pada pertengahan Oktober, pemerintah mengusulkan pajak baru untuk tembakau, bensin, dan panggilan suara melalui layanan pesan seperti WhatsApp. Hal tersebut dengan tujuan untuk meningkatkan pendapatan. Namun serangan balik publik, memaksa pemerintah membatalkan rencana tersebut.
Sementara itu bencana ledakan menimbulkan gelombang ketidakpuasan yang telah mendidih di Lebanon selama bertahun-tahun. Puluhan ribu warga turun ke jalan, menuntut pengunduran diri Perdana Menteri Saad Hariri yang didukung Barat dan pemerintah persatuannya.
Aksi protes memotong garis sektarian - sebuah fenomena langka sejak perang saudara 1975-1989 yang menghancurkan negara itu. Perdana Menteri Hassan Diab yang baru diangkat kemudian mengumumkan bahwa Lebanon akan gagal bayar utangnya untuk pertama kali dalam sejarahnya, dengan mengatakan cadangan mata uang asingnya telah mencapai level kritis dan berbahaya.
Pandemi Covid-19 membuat ekonomi negara itu semakin tak berdaya. Pasca kematian pertama korban Covid-19 dan lonjakan kasus positif, membuat pemerintah memutuskan untuk melakukan penutupan atau lockdown pada pertengahan Maret.
Simak Pula: Ledakan di Beirut, PM Lebanon Tetapkan Hari Berkabung
Pandemi ini memaksa demonstran anti pemeritnah turun ke jalan. Namun, di sisi lain membuat krisis ekonomi jauh lebih buruk dan menunjukkan ketidakmampuan sistem kesejahteraan sosial Libanon. []