Banda Aceh - Selain memiliki alam yang indah, Aceh juga memiliki beragam suku, bahasa dan kuliner. Salah satu kuliner yang dimiliki provinsi paling ujung barat Indonesia ini adalah leumang.
Leumang adalah salah satu kuliner yang dapat ditemui pada bulan Ramadan dan hari-hari kebesaran Islam. Jika dilihat lebih jauh, kuliner ini ternyata sudah ada sejak masa Kesultanan Aceh.
Pemerhati Sejarah dan Budaya Aceh, Tarmizi Abdul Hamid mengatakan, pada masa Kerajaan Aceh Darussalam, leumang menjadi kuliner khas yang disajikan untuk tamu-tamu kerajaan yang berasal dari Melayu.
Leumang ini menjadi kuliner istimewa tamu-tamu raja, khususnya tamu-tamu dari Melayu.
Tamu-tamu kerajaan dari Melayu tersebut berasal dari Malaysia, Kamboja, Thailand, Brunei Darussalam dan lain sebagainya. Biasanya, mereka bakal bertamu ke istana kerajaan setiap hari raya baik Idul Fitri maupun Idul Adha.
“Leumang ini menjadi kuliner istimewa tamu-tamu raja, khususnya tamu-tamu dari Melayu. Jadi, raja begitu datang tamu-tamu dari Melayu disuguhkan kulak, pengat, leumang, dan lain sebagainya,” kata Cek Midi, sapaan akrab Tarmizi Abdul Hamid saat ditemui Tagar belum laga ini.
Muhammad Yakob merapikan bara api saat memasak leumang di usahanya kawasan Jalan Syiah Kuala, Kota Banda Aceh, Aceh, Selasa, 12 Mei 2020. (Foto: Tagar/Muhammad Fadhil)
Kata Cek Midi, leumang itu sebenarnya berasal dari orang Melayu yang kemudian dibawa ke Aceh, lalu dikembangkan oleh orang Aceh. Saat itu, orang-orang Melayu datang ke Aceh untuk mengikuti pengajian-pengajian dari ulama di Tanah Rencong.
“Apakah orang Melayu datang ke Aceh untuk mengikuti pengajian-pengajian dari syekh-syekh di Aceh? Bisa saja terjadi begitu. Di Aceh negeri Melayu yang ada cuma Tamiang. Itulah ikon Melayu yang ada di Aceh,” ujarnya.
Di sisi lain, kata Cek Midi, selain untuk mengikuti pengajian, orang Melayu datang ke Aceh juga bisa jadi untuk berdagang. Apalagi saat itu Aceh menjadi sentral perdagangan dunia, terutama rempah-rempah.
“Aceh daerah makmur, jadi perdagangan orang ke Aceh Darussalam ini. Masing-masing mereka ada yang membawa tradisi makanan sendiri dari luar untuk dikembangkan di Aceh. Karena dia tetap lama tinggal di Aceh, kawin dengan orang Aceh, jadi makanan itu milik orang Aceh,” tutur Cek Midi.
Cek Midi yang juga kolektor manuskrip kuno Aceh menjelaskan, proses pembuatan leumang membutuhkan waktu yang lama dan koki yang khusus, karena kuliner ini dianggap kuliner istimewa para-para raja Aceh.
“Leumang bukan sekedar dibuat begitu-begitu saja, dia harus ada koki khusus dan punya keahlian. Setelah ditaroh bumbu, dalam alat, baru dimasukkan ke dalam buluh. Kemudian, dibakar dengan panas temperatur yang sudah terukur, menurut nalar kokinya,” katanya.
Tradisi Membakar Meriam
Anak-anak di Desa Makmur Jaya, Kecamatan Simpang Kiri, Kota Subulussalam, Aceh tengah asyik bermain meriam bambu mengisi waktu Ramadan, Selasa, 12 Mei 2020. (Foto: Tagar/Nukman)
Selain memiliki kuliner istimewa, kata Cek Midi, raja-raja Aceh juga mempunyai kebiasaan saat malam lebaran baik Idul Fitri maupun Idul Adha. Sebelum takbir dikumandangkan, sultan turun ke penduduk-penduduk untuk membakar meriam, pertanda hari raya sudah tiba.
“Saat ritual tradisi kebesaran Islam, malam hari raya sultan turun untuk membakar meriam beberapa kali untuk dimulainya takbir. Makanya, terjadi tradisi meriam sampai sekarang jelang hari raya,” ujar Cek Midi.
Tradisi membakar meriam saat ini masih digalakkan di beberapa daerah di Aceh, salah satunya Kabupaten Pidie. Namun, seiring berjalan waktu, tradisi ini mulai memudar dan masyarakat mulai beralih ke karbit.
“Tradisi raja-raja dulu diikuti oleh rakyat sekarang dengan simbol demikian, dibuat dari bambu. Nah, sekarang dibuat dari karbit, mengganggu orang lain, itu bukan budaya lagi, mengganggu orang lain itu bukan tradisi yang harus kita anut,” kata Cek Midi. []