Jakarta - Nama aktivis HAM Munir Said Thalib masih terngiang di telinga publik Indonesia. Kasus pembunuhannya ketika dalam penerbangan dari Jakarta menuju Amsterdam, Belanda, pada 7 September 2004 belum benar-benar tuntas.
Pria dengan perawakan kurus itu selalu menjadi buah bibir masyarakat setahun sekali ketika peringatan kematiannya. Pasalnya, selama hidup laki-laki yang pernah menjadi aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) semasa kuliahnya itu selalu menegakkan kepala untuk menyuarakan ketidakadilan.
Hilangnya nyawa sang pejuang HAM itu masih menyisakan tanda tanya karena dilingkupi misteri dan teori konspirasi yang belum bisa dibuktikan hingga kini.
Munir merupakan aktivis HAM yang sangat vokal. Laki-laki kelahiran Malang tahun 1965 itu sering berdiri di barisan paling depan dalam menyuarakan ketidakadilan.
Kendati telah 15 tahun, dia meninggal dunia, istrinya, Suciwati masih setia mengingatkan penguasa melalui aksi Kamisan yang sudah berjalan sejak 2007 di depan Istana Merdeka.
Munir Said Thalib. (Foto: Instagram/@chusnultyo)
1. Suciwati ingatkan pemerintah dengan Kamisan
Kamisan yang digelar untuk mengingatkan pemerintah untuk mengungkap siapa dalang kematian suaminya.
Kamis, 6 September 2019, dia bersama aktivis HAM kembali melakukan aksi rutinannya. Suciwati mengenang suaminya yang telah meninggal 15 tahun lalu.
Tuntutannya tetap sama, meminta pemerintah menuntaskan siapa saja dalang di balik tewasnya Munir. Ratusan aktivis HAM mengkritik pemerintah yang dianggap tidak serius dalam menyelesaikan kasus pembunuhan Munir, termasuk untuk membuka misteri di mana dokumen TPF sekarang berada.
2. Meski sudah ada putusan hukum aktor utama masih bebas
Komnas HAM nilai masih ada kejanggalan pada penahanan Pollycarpus Budihari Priyanto yang ditetapkan bersalah. Namun Komisi Nasional HAM (Komnas HAM) menilai masih ada kejanggalan yang belum terungkap.
Pengadilan sudah menjatuhkan hukuman kepada Pollycarpus 10 tahun penjara. Waktu itu, dia yang sebagai kru tambahan penerbangan Garuda Indonesia dari Jakarta ke Singapura. Saat ini telah dibebaskan pada akhir Agustus 2019.
Banyak pihak menduga pemerintah melalui Badan Intelijen Negara (BIN) yang merupakan otak dari penghilangan nyawa Munir secara paksa.
Pada 2010, Komnas HAM dengan tegas membeberkan penemuannya terkait "cacat-cacat dari investigasi kepolisian, penuntutan, dan persidangan Muchdi Purwoprandjono".
Muchdi sendiri adalah mantan deputi kepala BIN yang bebas dari dakwaan membantu pembunuhan Munir pada 2008.
Jika ditelusuri ke belakang, Muchdi pernah dicopot dari jabatannya di Kopassus atas dugaan terlibat penghilangan mahasiswa pada 1996 kasus yang disuarakan dengan sangat lantang oleh Munir semasa hidup.
3. Munir meninggal karena racun arsenik
Dalam hasil autopsi yang dilakukan otoritas Belanda, Munir tewas karena menenggak racun arsenik.
Mengetahui kabar itu, pihak keluarga Munir meminta pemerintah membentuk tim pencari fakta yang independen untuk membuka semua tabir kepalsuan yang selama ini tertutupi. Menurut keluarga jika memakai proses hukum konvensional maka kemungkinan untuk terungkapnya semakin kecil.
Lembaga kemasyarakatan bentukan Munir, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mendukung pernyataan keluarga. Hanya saja, setelah melalui talik-ulur, baru tiga bulan pasca kematian Munir-lah pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) baru membentuk Tim Pencari Fakta (TPF).
4. Aneh, Hasil penyelidikan TPF dikabarkan hilang
Pada akhir tahun 2016, Presiden Joko Widodo (Jokowi) memerintahkan Jaksa Agung HM Prasetyo untuk mencari dokumen tersebut. Namun, hingga kini belum ada kejelasan.
Banyak pihak meragukan kabar itu, muncul pertanyaan dasar, dokumen penting seperti itu kenapa bisa hilang. Mungkinkah TPF atau pun pihak istana berlaku serampangan. Bahkan ada indikasi hasil temuan itu sengaja disembunyikan agar tidak diketahui publik.
Koordinator KontraS, Yati Andriyani, meyakini bahwa hilangnya dokumen TPF Munir hanya dalih pemerintah saja. Apalagi juru bicara presiden saat itu, Johan Budi, mengatakan bahwa dokumen itu telah diserahkan oleh bekas Menteri Sekretaris Negara era SBY, Sudi Silalahi, kepada Istana.
KontraS sendiri mengaku siap menggugat pemerintah jika dokumen itu memang sengaja dihilangkan.
"Apabila ada unsur–unsur kesengajaan menghilangkan, menyembunyikan dokumen TPF Munir oleh otoritas pemerintah, maka menempuh langkah pelaporan pidana dan maladministrasi akan sangat mungkin kami lakukan," ujar Yati.
5. Kematian Munir kejahatan konspiratif
Pihak Garuda Indonesia tidak melakukan investigasi internal terkait tewasnya Munir.
Ketua TPF Munir, Brigadir Jenderal (Pol) Marsudi Hanafi menegaskan investigasi internal seharusnya dilakukan Garuda Indonesia seperti tertuang dalam UU Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan.
Kemudian, TPF juga menemukan adanya tiga surat tak lazim yang dikeluarkan Garuda Indonesia dan ketiganya ditujukan langsung untuk Pollycarpus. Salah satu surat ditandatangani oleh Vice President Corporate Security Garuda Indonesia, Ramelgia Anwar, yang bertanggal 4 September 2004 atau tiga hari sebelum Munir meninggal.
Jika ditelaah, tanggal tersebut jatuh pada hari Sabtu yang pastinya kantor Garuda Indonesia tutup. Dari penyelidikan polisi, ternyata surat itu sejatinya dikeluarkan pada 15 September dan baru ditandatangani Ramelgia dua hari kemudian.
Menurut TPF kejanggalan ini bisa dibaca sebagai tidak profesionalnya Garuda Indonesia atau upaya menutupi cerita sebenarnya. TPF menyimpulkan kematian Munir adalah hasil kejahatan konspiratif yang melibatkan Garuda Indonesia
Dalam laporan yang dirilis KontraS disebutkan bahwa TPF "Menyimpulkan terdapat sejumlah bukti materil yang menunjukkan pejabat dan karyawan Garuda bersekongkol atau terlibat dalam meninggalnya aktivis HAM Munir". []