Jakarta - Pemerintah Indonesia diminta segera menarik rem darurat, menyusul melonjaknya jumlah kasus Covid-19 pasca periode libur lebaran, yang berkisar dari 100% hingga 2.000% di sejumlah daerah.
Namun, pemerintah belum memutuskan untuk melaksanakan pembatasan lebih ketat, seperti Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), sebagaimana yang dilaksanakan di sejumlah daerah tahun 2020 lalu.
Pemerintah masih memprioritaskan pembatasan skala mikro, kebijakan yang mengahapi sejumlah hambatan di lapangan.
1. 'Miris Melihat Nakes'
Zainul Muttaqin, warga Tangerang Selatan, 42 tahun, menyaksikan bagaimana tempat isolasi dan perawatan pasien Covid19, Wisma Atlet Jakarta semakin penuh.
Zainul baru kembali ke rumah setelah diisolasi di Wisma Atlet, Jakarta, dua pekan lalu. "Contohnya saya datang tanggal 29 Juni jam 11.00 saya datang. Proses registrasi, tes kesehatan, sampai dapat kamar, makan waktu lima jam.
"Sangat kewalahan memang temen-teman medis, mereka bekerja keras 24 jam, saya salut," ujar Zainal, menambahkan ia merasa miris dengan beban kerja yang diemban para relawan di tempat itu.
Pada awal pekan ini, antrean panjang pasien Covid-19 di UGD Wisma Atlet ug terlihat dalam video yang viral di media sosial.
Tingkat keterisian tempat tidur Wisma Atlet dilaporkan sudah melampaui 80%, melewati standar Organisasi Kesehatan Dunia, WHO, yakni sebesar 60%.
Tenaga kesehatan berkomunikasi di ruang isolasi Covid-19 Rumah Sakit Umum (RSU) Dadi Keluarga, Kabupetan Ciamis, Jawa Barat, 14 Juni 2021 (Foto: bbc.com/indonesia – ANTARA FOTO)
Di hampir seluruh wilayah Jakarta, jumlah kasus sudah meningkat di atas 100%, menurut data Satgas Covid-19.
Namun, tak hanya di ibukota, di Bangkalan Jawa Timur, misalnya, kasus Covid-19 bahkan meningkat lebih dari 700%.
Peningkatan tertinggi tercatat di Grobogan, Jawa Tengah, yakni sebesar lebih dari 2.800%, dengan kapasitas rumah sakit yang hampir penuh.
Secara nasional angka kasus Covid-19 di Indonesia sudah melonjak hampir dua kali lipat, menjadi sekitar 8.000 kasus dibandingkan periode sebelum mudik lebaran.
2. 'Rem Darurat'
Melihat peningkatan kasus itu, Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Prof Budi Haryanto mengatakan pemerintah tak memiliki pilihan selain menarik rem darurat, di tengah situasi yang disebutnya "genting".
"Kalau kita tetap seperti sekarang, tanpa ada upaya komprehensif, tegas, dan tanpa tindakan-tindakan yang revolusioner, kita tinggal melihat angka-angkanya setiap hari naik terus," ujarnya.
Ia berpendapat Indonesia perlu mencotoh Malaysia yang menerapkan lockdown total hampir satu bulan ketika kasus di negara itu mencapai lebih dari 8.000.
Tenaga kesehatan mencontohkan pemakaian alat pelindung diri untuk penangangan pasien Covid-19 di Rumah Susun Nagrak, Cilincing, Jakarta Utara, 15 Juni 2021 (Foto: bbc.com/indonesia – ANTARA FOTO)
Selain itu, Budi Haryanto meminta pemerintah kembali tegas menerapkan protokol kesehatan, misalnya dengan menerapkan sanksi bagi mereka yang melanggar.
Namun, di sisi lain, pemerintah belum memutuskan melakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), sebagaimana yang dilakukan sejumlah daerah di awal masa pandemi di tahun 2020.
"Saat kita membuat kebijakan kesehatan, banyak hal yang harus dipertimbangkan karena pada prinsipnya, keberlangsungan sektor kesehatan tidak bisa terpisahkan dengan sektor sosial ke masyarakat lainnya.
"Lonjakan kasus di beberapa daerah sudah sepatutnya dijadikan pembelajaran bagi daerah itu dan daerah lain untuk evaluasi pengendalian di level komunitas, agar kenaikan kasus dapat dicegah menjadi lebih besar," ujar Wiku dalam konferensi pers Selasa, 15 Juni 2021.
Yang dimaksudnya dengan pengendalian di level komunitas adalah Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), yakni pengawasan protokol kesehatan di tingkat RT/RW melalui pembentukan posko Covid-19 di kelurahan.
2. 'Kendala PPKM'
Namun, mengandalkan pengendalian Covid-19 dalam skala kecil, bukan tanpa kendala.
Sofyan Mustafha, salah satu anggota Posko Siaga Covid Kota Bandung, mengungkapkan salah satu hambatan yang dihadapinya. "Sebetulnya untuk saat ini memang terjadi satu kendala karena untuk isolasinya itu rata-rata rumahnya kecil tidak memadai.”
"Jadi kalau satu keluarga ada empat anggota keluarga, yang terkena dua, itu yang dua orangnya kita ungsikan ke rumah saudaranya," kata Sofyan seperti dilaporkan Yulia Saputra untuk BBC News Indonesia.

Di Jakarta, Hartono, anggota posko Covid-19 di Cipinang Melayu, Jakarta Timur, juga menceritakan kendala yang dihadapinya.
Selain menemukan warga yang disebutnya enggan melaporkan kasus Covid-19, Hartono beberapa kali kesulitan mendapatkan data pasien dari fasilitas kesehatan karena birokrasi di lapangan. "Kami juga harus memantau sekitar 300 RT dan kadang-kadang ketuanya tidak merespons," kata Hartono.
Terkait dengan manajemen kasus corona skala kecil, Juru Bicara Satgas Covid-19, Wiku Adisasmito, mengatakan kolaborasi di lapangan diperlukan. "Bila satgas di tingkat kelurahan tidak mampu menangani masalah di tingkatnya, maka bisa minta bantuan di tingkat atasnya.
"Tiap satgas terdiri dari aparat pemerintah daerah, yakni kepala desa/lurah untuk level desa dan kelurahan, TNI dan Polri. Seharusnya bisa menyelesaikan secara kolaboratif di situ," ujar Wiku (bbc.com/indonesia). []