Jakarta - Kantor akuntan publik, Ernst & Young menyebutkan maskapai penerbangan AirAsia berada dalam "keraguan signifikan". Hal ini mengisyaratkan bahwa maskapai berbiaya murah (low cost carrier) asal Malaysia ini dalam bayang-bayang kebangkrutan.
Seperti diberitakan dari BBC News, Kami, 9 Juli 2020, saham AirAsia turun lebih dari 10% pada Rabu, setelah sempat dihentikan perdagangannya (suspensi) pada hari sebelumnya.
Baca Juga: AirAsia Sangkal Menerima Suap dari Airbus
Ernst & Young menyoroti utang besar maskapai yang didirikan oleh Tony Fernandes itu dalam sebuah pernyataan di bursa saham Kuala Lumpur, Selasa malam.

Kami akan memangkas biaya sekitar 50% agar lebih kuat sebagai maskapai penerbangan berbiaya rendah terkemuka di kawasan ini.
Dikatakan bahwa kewajiban lancar AirAsia telah melebihi aset lancarnya sebesar 1,84 miliar ringgit atau setara US$ 430 juta pada akhir 2019, sebelum sebelum merebaknya pandemi Covid-19. Kinerja keuangan dan arus kas semakin terpukul akibat dampak pembatasan perjalanan dan penguncian (lockdown) yang ketat.
Kemerosotan ini dan kinerja keuangan AirAsia mengindikasikan adanya ketidakpastian material yang dapat menimbulkan keraguan signifikan pada kemampuan Grup dan Perusahaan untuk terus berlanjut. Untuk itu dalam auditnya, Ernst & Young memberikan opini tanpa pengecualian.
Pada Senin lalu, AirAsia melaporkan rekor kerugian kuartalan yang mencapai 803,8 juta ringgit. Maskapai ini mulai menangguhkan penerbangan pada akhir Maret. "Ini adalah tantangan terbesar yang kami hadapi sejak mulai pada tahun 2001," kata Fernandes, taipan kelahiran Kuala Lumpur itu dalam sebuah pernyataan.
Menurutnya, setiap krisis merupakan hambatan yang harus segera diatasi. Untuk itu, pihaknya telah merestrukturisasi AirAsia Group menjadi kapal yang lebih ramping dan kencang.
Simak Pula: AirAsia dan Malindo Batal Terbang ke Wuhan, China
"Kami akan memangkas biaya sekitar 50% agar lebih kuat sebagai maskapai penerbangan berbiaya rendah terkemuka di kawasan ini," ucap Fernandes. tambahnya. []