Melawan Lupa, Kekerasan Aceh di Luar Akal Sehat

Masih banyak tugas yang belum diselesaikan oleh pemerintah, salah satunya soal pengusutan pelaku pelanggaran HAM berat masa konflik di Aceh.
Pelukis menggambarkan sebuah lukisan di lokasi pameran di Kantor KontraS Aceh, Selasa 10 Desember 2019. (Foto: Tagar/Muhammad Fadhil)

Banda Aceh - Tampak puluhan mahasiswa berkumpul di bawah tenda di Jalan Mujur nomor 98A, Lamlagang, Kecamatan Banda Raya, Kota Banda Aceh, Aceh pada Selasa 10 Desember 2019 siang. Di sampingnya, puluhan foto berbingkai hitam tampak terpasang berjejer rapi.

Dari kejauhan ke sisi kiri tenda, sebuah tulisan “Lorong Ingatan” terpampang di papan kayu. Lalu, diikuti dengan foto-foto yang merekam betapa kejamnya pelanggaran HAM saat konflik Aceh puluhan tahun lalu. Sejumlah foto itu direkam oleh Hotli Simanjuntak, salah seorang jurnalis yang saat konflik bertugas di Aceh.

Itulah gambaran lokasi pameran yang digelar oleh Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh. Saat Tagar menyambangi lokasi itu, sedang berlangsung diskusi yang diikuti oleh mahasiswa dan masyarakat umum.

Diskusi itu menghadirkan sejumlah pemateri, salah satunya Koordinator KontraS Aceh, Hendra Saputra. Dalam diskusi itu, mereka membahas banyak hal tentang konflik masa lalu yang melanda Bumi Serambi Mekkah.

Koordinator KontraS Aceh, Hendra Saputra mengatakan, pameran itu digelar dalam rangka memperingati hari Hak Asasi Manusia (HAM) sedunia yang diperingati setiap tanggal 10 Desember. Selain itu, pameran ini juga bertujuan untuk merawat ingatan konflik masa lalu di Tanah Rencong.

Kekerasan yang terjadi saat konflik Aceh tidak bisa diterima oleh akal sehat kita.

“Ini upaya dalam merawat ingatan konflik masa lalu, target utama dari pada pameran ini adalah kelompok-kelompok anak muda,” kata Hendra.

Hendra menjelaskan, alasan mereka memilih kelompok anak muda untuk hadir pada pameran itu karena beberapa hal, salah satunya untuk memberikan pemahaman mengenai konflik yang melanda Aceh sekitar 30 tahun lebih.

Dengan adanya pemahaman tersebut, diharapkan generasi Aceh di masa mendatang tidak melupakan sejarah kelam yang dialami masyarakat provinsi tersebut puluhan tahun silam.

“Penting juga bagi generasi muda kita untuk mengetahui seperti apa konflik Aceh yang terjadi masa lalu, jangan sampai cerita-cerita konflik ini menjadi cerita dongeng,” ujar Hendra.

Menurut Hendra, tak tertutup kemungkinan sejarah konflik Aceh dipelintir menjadi cerita dongeng. Sebab, beberapa hal yang terjadi selama konflik sudah melampaui akal sehat manusia.

“Artinya, kekerasan yang terjadi saat konflik Aceh tidak bisa diterima oleh akal sehat kita, karena bentuk penyiksaan yang luar biasa,” katanya.

Melalui foto-foto dalam pameran itu, kata Hendra, KontraS ingin menyampaikan pada pengunjung bahwa Aceh pernah mengalami sejarah kelam. Karenanya, hal ini harus dijaga dan dirawat, demi perdamaian yang abadi di masa mendatang.

“Mari kita kawal sejarah itu, mari kita ingat bersama sejarah itu, tetapi ini menjadi ingatan kita dalam menjaga perdamaian. Mari kita perbaiki luka-luka yang ada dalam konflik dulu hanya untuk merawat perdamaian,” tutur Hendra.

Menurut Hendra, perdamaian akan sulit berlangsung dengan baik apabila luka-luka masa konflik tidak terawat. KontraS mengaku khawatir terkait hal itu, di mana luka-luka itu berimbas di generasi-generasi selanjutnya.

“Luka ini bukan hanya terjadi di generasi terdahulu, ini bisa menjadi luka yang diwarisi pada generasi-generasi mendatang, kalau luka-luka ini diwarisi pada generasi mendatang, ini akan sangat mudah untuk dipicu emosi-emosi ke hal-hal negatif oleh kelompok-kelompok tertentu yang tidak ingin Aceh damai,” ujarnya.

Kekerasan AcehSebuah kursi dipamerkan di lokasi pameran di Kantor KontraS Aceh, Selasa 10 Desember 2019. Kursi itu memiliki arti bahwa penguasa di Aceh kurang peduli terhadap korban konflik di Tanah Rencong. (Foto: Tagar/Muhammad Fadhil)

Pembangunan Museum Perdamaian

Avicenna Al-Mauddy, salah seorang pengunjung yang ditemui Tagar di lokasi pameran mengaku terkesan dengan pajangan foto-foto masa konflik Aceh. Saat pertikaian itu terjadi, Avicenna masih berusia di bawah 10 tahun.

Lantas, untuk mengetaui sejarah konflik masa lalu, pemuda berusia 23 tahun ini berinisiatif membaca sejumlah buku-buku di berbagai perpustakaan yang menjelaskan tentang pertikaian antara Gerakan Aceh Merdeka dengan Pemerintah Indonesia.

Kalau ada museum, akan tahu bahwa Aceh ini pernah mengalami sejarah kelam.

“Menurut saya pameran ini cukup bagus, bukan untuk mengungkit masa lalu, tetapi untuk dijadikan pelajaran kita ke depan,” kata Avicenna.

Dalam merawat ingatan tentang konflik Aceh, Avicenna menilai perlu adanya sebuah museum yang memamerkan koleksi atau sejarah tentang konflik tersebut. Menurutnya, museum tersebut cukup penting untuk generasi Aceh di masa mendatang.

“Kalau ada museum, otomatis generasi di bawah kita selanjutnya akan tahu bahwa Aceh ini pernah mengalami sejarah kelam, saya rasa ini cukup penting,” ujarnya.

Sementara, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh, Darwati A Gani menyebutkan, peristiwa konflik puluhan tahun silam menyebabkan luka yang membekas pada masyarakat Aceh. Bahkan, ia mengaku bagian dari pertikaian itu.

“Saya sendiri juga bagian dari masa konflik terdahulu, Pak Irwandi (suami saya) juga salah satu tokoh GAM, yang sempat dipenjara waktu itu dan Alhamdulillah kita sudah melalui masa konflik itu semuanya,” kata Darwati.

Dia berharap ke depan Aceh semakin baik. Siapapun pucuk pimpinan di provinsi ini, maka harus mengedepankan nilai-nilai perdamaian, dengan mengacu pada sejarah perjuangan masa konflik.

Mengenai wacana pendirian museum perdamaian di Aceh, Darwati juga sangat mendukung. Namun, dukungan itu harus datang dari berbagai pihak, termasuk eksekutif dan legislatif.

“Kita akan berbicara di sana (DPR Aceh), apabila museum itu dibutuhkan, maka kita akan membicarakan itu ke depan,” ujar Darwati.

Kekerasan AcehPengunjung melihat pajangan foto-foto yang dipamerkan di Kantor KontraS Aceh, Selasa 10 Desember 2019. (Foto: Tagar/Muhammad Fadhil)

35 Ribu Korban Konflik Aceh Belum Tuntas

Pada peringatan hari HAM sedunia 10 Desember 2019, masih banyak tugas yang belum diselesaikan oleh pemerintah, salah satunya soal pengusutan pelaku pelanggaran HAM berat masa konflik di Aceh.

Koordinator KontraS Aceh, Hendra menyebutkan, berdasarkan data Amnesty Internasional, ada sekitar 30 sampai 35 ribu korban konflik Aceh. Sejauh ini, belum data data resmi dari pemerintah terkait berapa jumlah korban pelanggaran HAM pada konflik di Bumi Serambi Mekkah.

“Kita berharap negara hadir untuk mendata ini, sebenarnya negara telah berupaya hadir melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh, tetapi masih tertatih-tatih, belum terlalu kuat untuk kehadirannya,” kata Hendra.

Selain itu, kata Hendra, pemerintah juga mempunyai tugas berat untuk menuntaskan pelanggaran HAM di Bumi Serambi Mekkah. Menurutnya, saat ini sudah lima kasus besar yang sedang proses penyelidikan pro justitia oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).

Kelima kasus besar itu, kata Hendra, adalah peristiwa Jambo Kupok, Bumi Flora, Timang Gajah, Simpang KKA dan Rumoh Geudong. Dari lima kasus itu, tiga di antaranya sudah diserahkan ke Kejaksaan Agung untuk ditindaklanjuti.

Selama konflik Aceh itu 35 ribu korbannya, jadi 10 ribu yang kita target itu sepertiga, bahkan kurang.

Pengiriman laporan tersebut kepada Kejagung sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 5 juncto Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.

Kasus sudah selesai dan diserahkan ke Jaksa, tetapi tidak ada full up apapun, hanya berada di level kejaksaan saja, ini yang kita sayangkan,” ujar Hendra.

Kekerasan AcehPuluhan mahasiswa mengikuti diskusi yang diadakan di lokasi pameran di Kantor KontraS Aceh, Selasa 10 Desember 2019. (Foto: Tagar/Muhammad Fadhil)

Pemberian Saksi Korban

Dalam mengungkap kasus pelanggaran HAM di Aceh, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh telah melakukan berbagai upaya, salah satunya dengan menggelar kegiatan memberikan kesaksian korban atau keluarga korban di hadapan mereka. Kegiatan ini telah digelar sebanyak tiga kali.

Terakhir, pelaksanaannya berlangsung di Gedung DPR Aceh pada Rabu 20 November 2019. Kegiatan itu sudah berlangsung sejak Selasa 19 November 2019 kemarin.

Dalam kegiatan tersebut, ada 20 korban konflik Aceh yang hadir. Mereka merupakan perwakilan dari 192 korban penghilangan saat konflik melanda Tanah Rencong. Dalam kesempatan itu, masing-masing perwakilan memberi kesaksian betapa kejamnya pelanggaran HAM saat konflik terjadi.

“Kasus penghilangan orang yang kita punya datanya komplet 192, dari 192 itu 20 orang kita ambil sebagai perwakilan, ini adalah data yang terus bertambah,” kata Ketua KKR Aceh, Afridal Darmi.

Kata Afridal, hingga 1 Oktober 2019, KKR Aceh telah memeriksa 3.040 korban konflik. Mereka yang diperiksa adalah masyarakat sipil, eks kombatan GAM dan pihak TNI. Jumlah tersebut akan terus bertambah, karena pihaknya menarget mencapai 10.000 orang.

“Target kita 10 ribu, bahkan 10 ribu itu saja jumlah yang kecil, karena dibandingan dengan laporan yang dikumpulkan teman-teman media misalnya, atau dikumpulkan oleh lembaga HAM yang lain, mereka mengatakan selama konflik Aceh itu 35 ribu korbannya, jadi 10 ribu yang kita target itu sepertiga, bahkan kurang,” kata Afridal.

Disebutkan, dalam rapat itu para keluarga korban diberi kesempatan berbicara di depan komisioner KKR, pemerintah Aceh dan sejumlah tamu undangan. Menurutnya, hal itu sebagai bentuk upaya untuk memulihkan beban mereka.

“Memang kita lihat semuanya, mereka menangis, mereka sedih, itulah cara mereka untuk melepaskan beban batin itu,” kata Afridal.

“Orang GAM ada di sini, orang TNI ada di sini, orang GAM yang menjadi korban ada kita munculkan, orang TNI juga yang menjadi korban kita munculkan, pelaku kedua belah pihak ada, termasuk juga dari sipil,” ujar Afridal melanjutkan.

Selain itu, ujar Afridal, keluhan-keluhan yang disampaikan para keluarga korban konflik juga diharapkan dapat ditindaklanjuti oleh pemerintah terkait. Sebab, rapat itu dihadiri perwakilan dari dinas-dinas dan pemerintahan kabupaten/kota di Aceh.

“KKR juga akan berusaha membawa semua suara ini kepada pemerintah yang bersangkutan, tadi ada suara bagaimana membuat, memberikan pekerjaan pada mereka, yang honore dimintakan jadi pegawai negeri dan macam-macam segala macam, itu mungkin memakan waktu,” ujarnya.

Di sisi lain, Afridal menjelaskan, pemberian saksi tersebut juga bagian dalam mengetuk hati pelaku yang terlibat pelanggaran konflik Aceh. Para keluarga korban berharap status atau jejak keluarganya yang hilang dapat ditemukan.

“Mungkin ketika mereka dinas di Aceh dulu pernah ambil si fulan, kemudian mereka tau di mana si fulan itu berakhir, apakah ditahan atau dia dibunuh atau dikuburkan,” katanya. []

Baca cerita lain:

Berita terkait
Nasib Nuri Setelah Sakit Jiwa dan Dipecat dari PNS
Siti Nuri, perempuan berusia 53 tahun itu dipecat dengan tidak hormat dari Aparatur Sipil Negara (ASN) di salah satu dinas di Aceh.
Tak Digaji, Sulastri Guru Anak Buta Huruf di Aceh
Tanpa digaji, Sulastri ikhlas mengajarkan anak-anak yang buta huruf di pedalaman Aceh sejak 2013 hingga saat ini.
Getir Nelayan Aceh, Anak Istri Hilang Disapu Tsunami
Tepat 15 tahun lalu, Provinsi Banda Aceh luluh lantak akibat gempa dan menyebabkan Tsunami. Ratusan ribu warga Aceh meninggal dunia.
0
Banyak Kepala Daerah Mau Jadi Kader Banteng, Siapa Aja?
Namun, lanjut Hasto Kritiyanto, partainya lebih mengutamakan dari independen dibandingkan politikus dari parpol lain.