Memahami Metode Cuci Otak dr Terawan yang Sedang Menjadi Perdebatan Itu

Dalam kasus dokter Terawan, kalangan profesi kedokteran sedang menyaksikan pertempuran antara mazhab 'evidence-based medicine' versus 'anecdote/vignette medicine'.
dr Terawan Agus Putranto Sp.Rad. (Foto: Istimewa)

Jakarta, (Tagar 8/4/2018) - Meski mendapatkan banyak testimoni positif dari para pasiennya yang merupakah tokoh-tokoh nasional, metode terapi cuci otak melalui digital substraction angiography (DSA) yang dilakukan oleh dr Terawan Agus Putranto Sp.Rad membutuhkan penelitian yang lebih mendalam.

Tidak sedikit pakar dan rekan sejawat dr Terawan yang mengatakan bahwa terapi cuci otak yang digunakannya untuk terapi penyakit stroke iskemik maupun kronik masih memerlukan kajian lebih lanjut.

Terapi cuci otak melalui DSA yang ditemukan oleh dr Terawan ini sebenarnya sudah lama ada dan menjadi polemik di kalangan dunia kedokteran.

Namun isu tersebut kemudian melebar ke publik sejak bocornya surat rekomendasi dari Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Ikatan Dokter Indonesia (MKEK IDI) yang berisi amar putusan untuk memecat dr Terawan selama satu tahun serta mencabut rekomendasi izin praktik.

Ketua Umum Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (Perdossi) Prof dr Moh Hasan Machfoed, Sp.S(K) mengungkapkan terapi cuci otak sebenarnya sudah dilakukan oleh dr Terawan sejak 2011.

Pada saat itu dr Terawan yang juga merupakan Kepala RSPAD Gatot Soebroto belum memiliki landasan ilmiah dalam melakukan tindakan terapi cuci otak.

Hasan menyebutkan terapi cuci otak itu bahkan juga digunakan untuk terapi penyakit nonstroke dan nonsaraf seperti parkinson dan diabetes melitus.

Dokter Terawan menjawab pada konferensi pers di RSPAD Gatot Soebroto beberapa waktu lalu bahwa metode cuci otak yang dilakukannya telah dilakukan penelitian disertasi dan diuji di Universitas Hassanudin Makassar pada 2016 bersam lima orang rekannya.

Dia menyebutkan penelitian tersebut menghasilkan 12 jurnal ilmiah dan enam orang gelar doktor. Disertasi mengenai terapi cuci otak dengan DSA dan menggunakan heparin itu untuk menjawab pertanyaan tentang tindakan terapinya yang telah lama dilakukan tanpa landasan ilmiah.

Namun menurut sejumlah pakar, hasil penelitian dalam disertasi itu masih memerlukan kajian lebih lanjut karena landasannya kurang kuat.

Dari pihak pemerintah, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Siswanto berpendapat hasil disertasi tersebut masih memerlukan uji klinis tambahan untuk menguatkan bukti-bukti ilmiah agar bisa diterima oleh kolegium profesi.

Banyaknya pembahasan diskusi mengenai metode cuci otak yang dilakukan oleh dr Terawan di dunia kedokteran ialah karena terapi dengan menggunakan DSA dan obat heparin sebagai pengobatan itu pada dasarnya ialah untuk mendiagnosis, bukan bersifat kuratif.

Dokter spesialis saraf Rumah Sakit Universitas Airlangga (RSUA) Surabaya dr Yudhi Adrianto Sp.S mengatakan tujuan DSA ialah untuk mendiagnostik dan untuk mengevaluasi pembuluh darah otak sehingga bisa diketahui penyakit dari pasien dan menentukan pengobatan yang tepat.

Adapun cara kerja DSA yaitu dengan memasukan kateter berukuran kecil dengan panjang sekitar satu meter ke dalam pembuluh darah dari paha hingga menuju otak.

Kemudian melalui komputer khusus akan terlihat bagian-bagian pembuluh yang mengalami penyempitan dan hal tersebut dimaksudkan untuk diagnostik pasien.

Sementara, menurut Prof Hasan, obat heparin tidak bisa digunakan sebagai terapi stroke melainkan hanya berfungsi sebagai pencegahan pembekuan darah selama tindakan DSA dilakukan.

Menjawab mengenai hasil penelitian dr Terawan yang menyebutkan heparin dapat menjadi pengobatan untuk penyakit stroke, Hasan dan rekannya melakukan penelitian yang hasilnya telah dipublikasikan di BAOJ Neurology Amerika Serikat bahwa terapi heparin pada stroke tidak memiliki landasan ilmiah kuat.

Prof Hasan dan rekan-rekannya juga mempelajari penelitian ilmiah dr Terawan yang dimuat dalam disertasinya. Dari hasil kajian itu, Hasan menyimpulkan bahwa hasil penelitian itu tidak memiliki landasan ilmiah.

Hasan menyebutkan salah satu contoh di mana dr Terawan mengambil referensi dari penelitian Guggenmos yang dianggap keliru karena perbaikan stroke menurut Guggenmos bisa dilakukan dengan implantasi microelectrodes di kortek.

"Jadi perbaikan stroke bukan karena heparin," jelas Prof Hasan. Dia secara tegas mengatakan bahwa metode cuci otak yang dilakukan oleh dr Terawan tidak memiliki landasan ilmiah yang kuat.

Salah satu syarat inovasi medis agar bisa diaplikasikan pada publik dan menjadi terapi pengobatan ialah harus melalui uji klinis untuk memastikan keamanan dan kualitas metode pengobatan tersebut.

Tentunya metode pengobatan tersebut harus dibuktikan secara ilmiah melalui tahapan-tahapan uji klinis.

Yudhi menejelaskan sebelum sebuah inovasi medis bisa dilakukan pada manusia harus terlebih dahulu melakukan penelitian. Ada empat fase uji klinis yang harus dilalui untuk mengetahui apakah manfaat pengobatan sudah terukur dengan baik sehingga aman digunakan pada manusia.

Penyelesaian Ilmiah 

Kendati metode cuci otak dengan DSA ala dr Terawan masih diperdebatkan secara ilmiah, namun terapi stroke yang dilakukannya sejak lama tersebut banyak menuai testimoni positif.

Bahkan testimoni tersebut muncul dari para tokoh nasional seperti Aburizal Bakrie, Dahlan Iskan, Prabowo Subianto, dan Mahfud MD.

Semua tokoh tersebut pernah menjalani terapi cuci otak dan mengaku sangat terbantu dengan metode pengobatan itu yang pada akhirnya membuat tubuh bugar hingga saat ini.

Tak heran banyak dari para tokoh tersebut yang kemudian membela dr Terawan dari sanksi yang diberikan oleh MKEK IDI.

Namun kembali pada persoalan medis, manfaat sebuah pengobatan bukanlah berdasar pada testimoni pasien melainkan dibuktikan secara ilmiah.

Jika hanya menggunakan testimoni pasien tanpa penjelasan ilmiah, sebuah pengobatan medis akan menjadi tidak ada beda dengan pengobatan alternatif yang tak didasari penelitian ilmiah.

Anggota Komisi IX DPR RI yang juga berlatar belakang dokter Adang Sudrajat tidak menutup mata dengan inovasi dari dr Terawan yang telah menuai banyak testimoni dan dirasakan bermanfaat bagi pasiennya.

Namun Adang tetap memandang dari kacamata dunia kedokteran bahwa sebuah tindakan medis perlu dilandasi dengan penelitian dan bukti ilmiah yang kuat.

Dia mendorong agar metode cuci otak yang selama ini dilakukan oleh dr Terawan dilakukan pengembangan dan penelitian tambahan untuk menguatkan dasar ilmiah. Bahkan kalau perlu pemerintah menanggung biaya penelitian agar pengobatan yang telah menyembuhkan banyak orang itu bisa secara resmi dan legal dipraktikkan.

Polemik mengenai sanksi pemecatan dr Terawan dari MKEK IDI ini sebenarnya bermula dari persoalan ilmiah yang diperdebatkan, maka penyelesaian paling elegan untuk permasalahan ini ialah secara ilmiah pula.

Pertempuran Mazhab di Dunia Kedokteran

Sebetulnya dalam kasus dokter Terawan, kalangan profesi kedokteran sedang menyaksikan pertempuran antara mazhab 'evidence-based medicine' versus 'anecdote/vignette medicine'.

'Evidence-based medicine' yang lebih modern menekankan uji klinis yang terukur untuk penerapan obat baru atau prosedur terapi baru. 'Anecdote/vignette' yang lebih kuno mendasarkan pada testimoni, cerita pengalaman pasien dan dokter yang tidak terukur dan tidak ada data.

Sebetulnya keduanya mempunyai kelemahan dan kekurangan tersendiri. Namun karena lebih modern, 'evidence-based medicine' ini yang diadopsi oleh dunia kedokteran.

Munculnya beragam testimoni dari pasien dr Terawan yang memuji keberhasilan terapi cuci otak adalah jenis 'anecdote' atau 'vignette'. Di 'zaman now', ia mempunyai nilai yang rendah karena tidak ada data yang sahih. Tidak ada 'evidence base' yang sekarang menjadi kitab suci dunia kedokteran.

Berikut ini ringkasan jurnal kedokteran internasional 17 Januari 2005 untuk memahami duduk persoalan metode cuci otak dr Terawan:

1. Metoda terapi yang dilaksanakan dr Terawan adalah pemberian 'heparin' (anticoagulant = anti pembekuan darah) melalui intra vena (pembuluh darah vena).

2. Terapi heparin intra-vena untuk stroke sudah dilaksanakan sejak 30 tahun yang lalu oleh dokter spesialis syaraf di Eropa dan AS.

3. Terapi dengan heparin intra-vena ini dilaksanakan oleh para dokter neurolog (spesialis syaraf).

4. Heparin ini pertama kali dipakai untuk cardioembolic stroke (stroke yang disebabkan karena adanya emboli atau gumpalan darah pada jantung). Karena waktu itu 30 tahun yang lalu dokter mengamati dia memberi hasil yang bagus, maka kemudian pemberian heparin ini diperluas untuk 'acute ischaemic stroke' (stroke karena adanya penyumbatan pembuluh darah di otak).

5. Setelah dilaksanakan serangkaian 'evidence-based trial', ternyata heparin ini tidak menunjukkan bukti (evidence) bahwa dia dpt mengatasi stroke iskemik.

6. Namun, pada tahun jurnal ini ditulis (2005), dokter syaraf masih terbagi dua kubu. Ada yang 'keukeuh' bertahan bahwa heparin bermanfaat untuk stroke dan yang kubu lain sudah meninggalkan terapi heparin ini karena dianggap tidak bermanfaat. (ant/sa)

Berita terkait