Jakarta - Menarik, Lebanon sebagai negara berpenduduk mayoritas muslim di kawasan Timur Tengah sudah mengambil opsi nyata dalam melegalisasi ganja. Melansir pemberitaan yang dirilis Independent.co.uk pekan ini, negeri pejuang Hizbullah itu telah mengesahkan peraturan setingkat undang-undang yang memperbolehkan budidaya ganja secara masif bagi kepentingan industri.
Meskipun langkah awal legalisasi tanaman bernama ilmiah Cannabis itu telah ditempuh, otoritas setempat masih menerapkan beleid ini secara terbatas dan tetap menyatakan bahwa penggunaan ganja adalah tindakan ilegal. Ditengarai, upaya Lebanon membawa ganja dalam kegiatan industri tak lain karena kebutuhan negara itu untuk mencetak bisnis baru yang lebih ‘hijau’ sekaligus upaya mengatasi krisis ekonomi.
Dalam penelusuran Tagar, petaka ekonomi Lebanon mencapai klimaks pada Maret 2020. Saat itu, pemimpin berkuasa menyatakan bahwa pemerintah tidak sanggup membayar utang (obligasi) senilai US$ 1,2 miliar atau setara dengan Rp 17,76 triliun (kurs Rp 14.800). Akibatnya, mata uang lokal yakni pound Lebanon langsung amblas ke level terburuk 4.000 pound perdolar AS.
Baca juga: LGN Bakal Gugat UU Narkotika ke MK Soal Status Ganja
Kondisi tersebut sontak membuat harga barang-barang meroket dan turut mengerek inflasi ke level yang cukup tinggi. Akibatnya, terjadi penurunan nilai mata uang lokal yang menyebabkan masyarakat kesulitan untuk membeli barang kebutuhan sehari-hari.
Skenario selanjutnya mudah ditebak. Lebanon mengalami dampak sosial imbas dari ketidaksanggupan warga dalam menahan beban ekonomi. Benar saja, pada penghujung April lalu terjadi huru-hara di beberapa kota. Sejumlah orang dilaporkan menjarah instansi perbankan sebagai akibat kekesalan warga kepada institusi jasa keuangan itu yang menahan dolar AS sebagai antisipasi pelemahan nilai pound Lebanon.
Empat obat medis yang memakai ganja sebagai bahannya. (Infografis: Tagar/Regita Setiawan P)
Keadaan tersebut makin diperparah oleh hantaman Covid-19 yang membuat segalanya menjadi serba terbatas. Meskipun demikian, pemerintah Lebanon sebenarnya telah berupaya mengantisipasi pemburukan keadaan melalui kebijakan bank sentral dengan mencoba menstabilkan nilai tukar agar bisa bertahan di level 3.000 pound perdolar AS.
Akan tetapi hasilnya tidak banyak membantu. Situasi tetap tak terkendali akibat dari fundamental masalah yang tidak tersentuh: kegagalan membayar utang dan pandemi Covid-19.
Oleh karena itu, bisa jadi langkah pemerintah Lebanon yang mulai bersahabat dengan Cannabis dapat ditafsirkan sebagai upaya pengembangan sektor ekonomi. Atau malahan, legalisasi ganja oleh para petinggi di Beirut menjadi jalan keputusasaan mereka dalam mengatasi polemik keuangan yang kini tengah melanda.
Tim dari Tindak Pidana Narkoba Bareskrim Mabes Polri menggerebek ladang ganja di kawasan pegunungan Kabupaten Aceh Besar, Aceh pada Mei 2017 lalu. (Foto: Tagar/Muhammad Fadhil)
Situasi yang dialami Lebanon sebenarnya mirip-mirip dengan yang terjadi di Indonesia. Pada pertengahan Maret 2020 lalu, Bank Indonesia secara tegas menyatakan telah membeli surat berharga negara (SBN) senilai Rp 192 triliun yang dilepas asing sejak awal tahun akibat krisis pandemi.
Upaya ini sekaligus intervensi bank sentral di pasar sekunder guna menyelamatkan nilai mata uang rupiah yang sempat melorot mendekati level Rp 17.000 perdolar AS.
Baca juga: Lima Manfaat Ganja Aceh Jika Dilegalkan
Lebih lanjut, Pemerintah RI juga terlibat dalam urusan utang-mengutang guna menangkal dampak Covid-19. Cuma bedanya, jika Lebanon sudah terlilit utang dan tidak bisa bayar, maka Indonesia baru saja melepas obligasi sebesar US$ 4,3 miliar atau setara Rp 63,6 triliun pada 8 April 2020 lalu.
SBN yang diberi nama Pandemic Bond itu mencatatkan sejarah sebagai utang terbesar yang pernah dibuat oleh pemerintah sepanjang republik ini merdeka. Selain itu, tenor pengembaliannya pun menjadi yang paling lama dengan durasi hingga 50 tahun.
Dari kedua negara dengan mayoritas penduduk muslim ini setidaknya masyarakat dapat menakar atau paling tidak menerka potensi legalisasi ganja di dalam negeri. Jika menggunakan skenario Lebanon, maka dibutuhkan waktu sekurang-kurangnya lima dekade untuk berharap Cannabis Sativa menjadi salah satu bahan baku industri lokal.
Tetapi tenang, bila dirasa terlalu lama, peluang Indonesia lebih tinggi, karena catatan utang negara ini empat kali lebih besar dibandingkan dengan Lebanon. []