*Abra el Talattov
Pandemi Covid-19 yang telah berlangsung sejak tiga bulan terakhir tidak hanya secara ganas mengifeksi jutaan warga dunia dan merenggut ratusan ribu korban jiwa, tetapi juga berhasil memorak-porandakan stabilitas ekonomi global.
Tidak mengherankan jika banyak lembaga internasional memproyeksikan akan terjadinya pertumbuhan negatif ekonomi dunia. Bahkan, Kepala Dana Moneter Internasional (IMF) Kristalina Georgieva secara tegas memperingatkan bahwa situasi saat ini tidak main-main karena dunia akan menghadapi krisis ekonomi yang lebih buruk dari krisis yang pernah terjadi sebelumnya termasuk era krisis di AS yang dikenal dengan Great Depression selama satu dekade yaitu tahun 1929 hingga 1939.
Ganasnya pandemi Covid-19 menyulut kepanikan massal di pasar keuangan dunia termasuk di Indonesia. Fenomena pembalikan modal asing (capital outflow) secara massif di pasar keuangan domestik sangat meresahkan pemerintah dan otoritas moneter.
Pengemudi ojek daring menerima bantuan sembako dari Presiden Joko Widodo di Terminal Baranangsiang, Kota Bogor, Jawa Barat, Kamis, 9 April 2020. Sebanyak 500 paket sembako dibagikan untuk warga yang terkena dampak ekonomi akibat wabah pandemi virus Corona (COVID-19) di Kota Bogor. (Foto: Antara/Arif Firmansyah)
Tidak tanggung-tanggung, selama periode Covid-19 (20 Januari – 1 April 2020), dana asing yang melarikan diri dari Indonesia mencapai Rp 171,6 triliun yang terdiri dari pasar obligasi negara (SBN) sebesar Rp 157,4 triliun dan pasar modal Rp 13,26 triliun. Untuk meredam gejolak di pasar keuangan tersebut, Bank Indonesia pun melakukan intervensi moneter di pasar sekunder sehingga menguras cadangan devisa cukup besar mencapai USD 10,7 miliar.
Bayangan resesi maupun krisis ekonomi menjadi momok yang menghantui masyarakat. Bahkan pemerintah seperti yang diwakili Menteri Keuangan membeberkan gambaran pemburukan ekonomi yang mungkin terjadi dalam perubahan proyeksi ekonomi 2020.
Proyeksi pertama yaitu skenario berat diprediksi pertumbuhan ekonomi masih positif sebesar 2,3% dengan nilai tukar rupiah Rp 17.500/USD. Sedangkan proyeksi kedua yaitu skenario sangat berat diprediksi bahwa pertumbuhan ekonomi akan terperosok ke level -0,4% dengan nilai tukar rupiah mencapai Rp 20.000/USD.
Sepanjang bulan Maret paska pemerintah pertama kali merilis informasi pasien positif Covid-19, pasar modal Indonesia terus bergejolak sehingga mengakibatkan IHSG terkoreksi hingga 27,95% (year to date) ke level 4.538. Seluruh indeks sektoral di IHSG pun mencatatkan kejatuhan antara lain sektor industri dasar dan kimia (-40,68%), aneka industri (-40,10%), perkebunan (-39,10%), konstruksi dan properti (-32,84%), manufaktur (-29,20%), infrastruktur (-29,20%), keuangan (-26,94%), tambang (-23,54%), perdagangan dan jasa (-21,77%), dan barang konsumsi (-19,17%).
Warga menerima bantuan sembako dari Presiden Joko Widodo di Terminal Baranangsiang, Kota Bogor, Jawa Barat, Kamis, 9 April 2020. Sebanyak 500 paket sembako dibagikan untuk warga yang terkena dampak ekonomi akibat wabah pandemi virus Corona (COVID-19) di Kota Bogor. (Foto: Antara/Arif Firmansyah)
Kecemasan investor global tersebut turut mempengaruhi psikologis investor domestik sehingga gejolak nilai tukar rupiah tidak terhindarkan. Sepanjang bulan Maret 2020, berbagai media sosial dan grup WhatsApp dijejali dengan berita pergerakan nilai tukar rupiah yang terus memburuk ke atas level Rp 16.000. Bahkan depresiasi rupiah secara harian (intraday) per 19 Maret 2020 tercatat -4,61% menjadikan rekor terlemah sejak 18 Juni 1998. Secara ringkas, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS terperosok hingga 18,64% dari posisi awal tahun 2020 Rp 13.866 menjadi Rp 16.450 per 1 April 2020.
Tingginya volatilitas nilai tukar rupiah mengaktifkan memori kelam krisis multidimensi tahun 1998. Sungguh pun demikian, kenyataan baiknya bahwa masih terdapat perbedaan yang besar antara situasi 1998 dengan saat ini. Pertama, rupiah memang anjlok 18,64% sejak awal tahun ini. Namun depresiasi kali ini belum separah apabila dibandingkan tahun 1998. Sepanjang 1998, rupiah melemah 44,44%. Dibandingkan dengan periode yang sama, dari 31 Desember 1997 hingga 27 Maret 1998, kala itu rupiah melemah cukup dalam hingga 52,78%. Kedua, pada 1998, cadangan devisa Indonesia hanya belasan miliar dolar AS. Sementara hingga akhir Maret 2020, cadangan devisa mencapai US$ 121 miliar.
Dalam merespons kegalauan yang dirasakan investor dan masyarakat secara luas, akhirnya pemerintah mengajukan Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perppu) No.1 Tahun 2020 kepada DPR yang secara substansial digunakan sebagai payung hukum perubahan APBN 2020 serta beragam stimulus untuk menyelamatkan perekonomian nasional akibat dampak Covid-19.
Dalam Perppu tersebut, Pemerintah mengalokasikan tambahan belanja negara hingga Rp 405,1 triliun untuk penanganan dampak Covid-19 yang terdiri untuk dukungan anggaran kesehatan Rp 75 triliun, jaringan pengaman sosial (social safety net) Rp 110 triliun, dukungan industri Rp 70,1 triliun, dan dukungan untuk dunia usaha mencapai Rp 150 triliun.
Stimulus fiskal yang disiapkan pemerintah tersebut tentu menjadi angin segar bagi masyarakat terutama yang berkaitan dengan jaring pengaman sosial. Penerapan social distancing yang telah berlangsung selama sebulan lebih secara nyata telah memukul aktifitas ekonomi terutama UMKM dan sektor informal.

Bahkan di sektor formal pun menurut catatan Kementerian Ketenagakerjaan telah terdapat 1,5 juta pekerja yang telah dirumahkan ataupun di PHK. Adalah sangat tepat jika dalam jangka pendek ini pemerintah pusat dan pemerintah daerah memberikan perhatian yang lebih besar dalam bantuan sosial. Sebab stimulus ini berfungsi sebagai penyelamat konsumsi rumah tangga sehingga determinator utama pertumbuhan ekonomi nasional bisa tetap tumbuh positif.
Di sisi lain, intervensi moneter juga tidak ketinggalan dipompa oleh Otoritas Moneter seperti penerapan triple intervention, yaitu stabilisasi kurs di pasar spot, domestic non-delivery forward (DNDF), dan menyerap SBN yang dilepas investor di pasar sekunder.
Bahkan dalam beleid Perppu No.1 Tahun 2020 peran BI diperkuat dengan kewenangan membeli Surat Utang Negara dan/atau Surat Berharga Syariah Negara berjangka panjang di pasar perdana. Selain itu, Bank Indonesia juga berhasil mendapatkan komitmen dari The Fed berupa repurchase agreement line sebesar USD 60 miliar dan juga dari Bank for International Settlement (BIS) sebesar USD 2,5 miliar dimana sumber dana-dana tersebut nantinya akan dijadikan sebagai antisipasi kebutuhan cadangan devisa apabila tekanan terhadap rupiah semakin memburuk.
Seluruh stimulus yang disediakan tersebut akhirnya diharapkan berdampak signifikan dalam menyelamatkan ekonomi nasional dari ancaman krisis ekonomi. Namun hal yang terpenting tetap menyangkut konsistensi dalam implementasinya sehingga jangan sampai beragam paket stimulus hanya tercetak di atas kertas tanpa eksekusi yang optimal.
Kita semua tentu harus terus memelihara optimisme agar bangsa Indonesia tidak kembali terjerumus dalam jurang krisis ekonomi yang mengarah pada krisis mulitdimensi. Untuk itu, pemerintah wajib menjaga kredibilitas kebijakan dengan mengedepankan transparansi dan akuntabilitas serta membuka saluran kritik dan saran sebagai bentuk nilai demokrasi yang menjadi konsensus akhir bangsa ini.
*Abra el Talattov, Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF)