Gunungkidul - Panjang Ilang, sebuah rangkaian janur atau daun kelapa yang masih muda, dibuat seperti keranjang. Di dalamnya berisi sesaji seperti nasi, ketupat, pinang sirih, pulo gimbal, lepet dan umbi-umbian. Juga tidak ketinggalan ada uang di dalamya.
Itu adalah sebuah tradisi yang kini masih lestari di Kabupaten Gunungkidul. Tradisi ini identik dengan pesta; seperti pernikahan, upacara bersih desa, khitanan dan perayaan lain.
Saat hajatan selesai, membuang panjang ilang. Dibuang di tempat yang dianggap sakral.
Konon mitosnya, tidak boleh sembarang membuat panjang ilang, kecuali hanya saat ada hajatan. Jika melanggar ada akibatnya. Begitu mitosnya.
Hingga kini, tradisi panjang ilang masih lestari. Masyarakat masih mempertahankan tradisi yang telah diwariskan nenek moyang. Begitu juga bagi masyarakat di Desa Giricahyo, Kecamatan Purwosari, Kabupaten Gunungkidul. Tradisi itu masih dilakukan secara turun temurun.
Sekelompok mahasiswa program studi Pendidikan Kewarganegaraan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) tertarik meneliti keunikan tradisi Panjang Ilang yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Mereka adalah Muhammad Muslim Hidayatulloh, Nur Isti Qomah dan Yohana Suryana.
Muhammad Muslim Hidayatulloh mengatakan, tradisi panjang ilang merupakan bentuk rasa syukur terhadap Sang Pencipta yang sudah diberikan kepada makhluknya. Hal yang menarik dari tradisi ini yang dapat dilihat yakni, jajanan tradisional masih dilestarikan di tengah pesatnya perkembangan makanan-makanan modern atau makanan cepat saji.
Panjang Ilang. (Foto: budaya-indonesia.org)
Dia mengatakan, tradisi panjang ilang ini mempunyai urgensi dalam pembentukan karakter masyarakat di era globalisasi. Di mana globalisasi erat mendegradasi moral masyarakat. "Tradisi Panjang Ilang sebagai bentuk kearifan lokal mampu menangkal budaya barat yang semakin menggerus karakter lokal," katanya, Jumat, 12 Juni 2020.
Membentuk Tiga Karakter
Nur Isti Qomah mengungkap, nilai-nilai karakter tradisi panjang ilang terdapat berbagai hal, setidaknya ada tiga karakter, yakni nilai karakter gotong royong, religius dan nasionalis.
Implementasi nilai karakter gotong royong dapat dilihat dalam berbagai aktivitas, misalnya dalam persiapan hajatan, gotong royong dalam membangun rumah atau yang lebih dikenal dengan sambatan.
Karakter religius dalam tradisi Panjang Ilang juga diimplementasikan dari kebiasaan masyarakat saling memberi satu sama lain dalam tradisi kenduri. Dalam masyarakat Jawa, kenduri merupakan ungkapan rasa syukur terhadap apa yang telah dicapai sampai saat ini.
Kenduri ini selalu hadir dalam setiap acara pernikahan, aqiqah, selametan, bahkan peringatan kematian. Karakter religius juga dapat dilihat dari kebiasaan keagamaan seperti pengajian.
Karakter nasionalis tercermin dalam beberapa kegiatan yakni peringatan Hari Kemerdekaan, Sumpah Pemuda dan lainnya. Pada peringatan Hari Kemerdekaan, selain merangkai Panjang Ilang juga meramaikan dolanan tradisional seperti gobak sodor yang melibatkan mayoritas warga. []
Baca Juga:
- Sosok Seniman yang Melarang Berwisata di Yogyakarta
- Polemik Danais untuk Seniman Terdampak Corona di DIY