Untuk Indonesia

Mengapa Anak-anak Bisa Jahat Membunuh

Kejahatan pembunuhan sangat jarang dilakukan anak-anak. Namun sebagaimana lazimnya dunia, ada beberapa pengecualian. Tulisan Intan Savitri.
Ilustrasi - Anak. (Foto: Pixabay/Greyerbabi)

Oleh: Dr. Setiawati Intan Savitri M.Si*

Kejahatan pembunuhan sangat jarang dilakukan anak-anak. Namun sebagaimana lazimnya dunia, ada beberapa pengecualian. Oktober 2008, seorang bocah lelaki berusia 8 tahun di Alabama mencekik seorang balita sampai mati. Pada bulan yang sama, seorang anak berusia 11 tahun di Tennessee menembak dan membunuh anak lain setelah keduanya bertengkar tentang anak-anak anjing. Di Amerika, pada medio 1980 hingga 2008, data Departemen Kehakiman AS menyatakan hanya 0,5% pelaku pembunuhan adalah anak-anak di bawah usia 14 tahun. Maka, ketika anak-anak mengambil nyawa orang lain, apakah mereka harus dihukum seperti halnya orang dewasa? Kita terpaksa berpikir: pada usia berapa anak dapat dianggap bertanggung jawab atas tindakan mereka?

Demikian juga kasus yang mengejutkan di Indonesia tepatnya Jakpus baru-baru ini, anak usia 15 tahun membunuh dengan menenggelamkan dan mencekik anak tetangganya yang berusia 6 tahun. Mengapa anak-anak membunuh? Apa penyebabnya? Karena persoalan internal pelaku? Karena pernah mengalami kekerasan? Apakah karena pengaruh obat? Karena mengonsumsi media yang mengandung kekerasan? Pengaruh teman?

Begitu banyak pertanyaan.

Kay Bussey, seorang psikolog perkembangan di Macquarie University di Australia, melakukan penelitian setelah menemukan kasus seorang bocah lelaki berusia 10 tahun di Australia yang melemparkan temannya ke sungai pada tahun 1998, menyebabkan temannya tenggelam hingga mati.

"Sebuah perdebatan muncul tentang apakah dia bertanggung jawab," kata Bussey. “Hakim tidak meminta anak bertanggung jawab atas tindakan tersebut karena dia berpendapat anak itu tidak dapat membedakan kejahatan kriminal dari kenakalan anak-anak sehari-hari.”

Demikian juga kasus yang mengejutkan di Indonesia tepatnya Jakpus baru-baru ini, anak usia 15 tahun membunuh dengan menenggelamkan dan mencekik anak tetangganya yang berusia 6 tahun.

Bussey dan muridnya Paul Wagland memutuskan untuk menilai kemampuan anak-anak untuk MEMAHAMI NIAT dan kemampuan MENGATUR DIRI serta perilaku mereka — dua komponen utama yang digunakan untuk mendefinisikan perilaku kriminal atau tidak. Artinya, ketiadaan niat, dan juga ketidakmampuan mengatur diri-sendiri, bisa menyebabkan sebuah perilaku membunuh, tidak tergolong kriminal.

Studi mereka, baru-baru ini diterbitkan dalam Psikologi Hukum dan Kriminologis, memeriksa 132 pria dan wanita dari empat kelompok umur (usia delapan, 12, 16, dan dewasa). Mereka menyajikan serangkaian cerita pendek kepada peserta. Beberapa menggambarkan tindakan kriminal, termasuk penyerangan, pencurian dan pembakaran. Sketsa-sketsa lain menggambarkan versi nakal dari tindakan serupa yang tidak melanggar hak orang lain atau membuat orang dalam bahaya.

Anak berusia delapan tahun juga peserta yang lebih tua mampu menilai tindakan kriminal sebagai "lebih buruk secara moral" daripada sekadar nakal. Artinya, secara pengetahuan mereka bisa membedakan mana tindakan nakal dan mana kriminal. Apakah jika tahu, maka akan mampu mengontrol dan mengatur diri sendiri, jika sebuah peristiwa memicu mereka? Ini persoalan lain.

Studi ini menemukan bahwa anak berusia 8 tahun atau lebih, mampu menilai bahwa tindakan kriminal membuat mereka merasa diri mereka lebih buruk, membuat rekan-rekan mereka memandangnya lebih negatif, dan mengakibatkan hukuman yang lebih berat. Menurut peneliti, hal ini menunjukkan kemampuan untuk memahami konsekuensi, dan ini penting untuk mengatur perilaku. Tetapi hal ini dikritik profesor lain yang tidak ikut dalam riset. Menurut Prof. Fassler, studi tentang ukuran kapasitas kognitif ini mengabaikan bukti terbaru dari studi yang menunjukkan otak anak-anak terus berkembang melalui masa remaja dan dewasa awal. Ini dapat mempengaruhi kemampuan anak muda untuk berperilaku sesuai dengan harapan masyarakat.

"Aspek fungsi eksekutif yang mencakup pengaturan diri berubah dan meningkat hingga usia 30 dan lebih." Artinya, anak-anak usia delapan ke atas tersebut, fungsi eksekutifnya masih terus berkembang. Apa yang ia ketahui secara tertulis, belum tentu menyebabkan ia bisa mengontrol perilakunya jika terjadi peristiwa yang sesungguhnya.

"Penelitian yang kami lakukan melalui MacArthur Network menunjukkan bahwa aspek fungsi eksekutif yang mencakup pengaturan diri berubah dan meningkat hingga usia 30 dan lebih," kata Jennifer Woolard, seorang psikolog perkembangan di Universitas Georgetown yang tidak terlibat dalam penelitian ini. Perkembangan struktural dan fungsional otak berlanjut hingga usia yang penting, korteks prefrontal, yang melibatkan fungsi tingkat lebih tinggi seperti pengambilan keputusan dan kontrol impuls, adalah salah satu area otak terakhir yang menjadi matang.

Penelitian Woolard ini menunjukkan bahwa sementara anak-anak kecil mungkin dapat mengetahui perbedaan tipis antara tindakan kriminal dan nakal, dan bahkan mengantisipasi konsekuensi dari perilaku itu, namun mereka mungkin lebih sulit menahan reaksi mereka saat kejadian. Dengan demikian, para ilmuwan dan pendukung peradilan anak-anak di AS dan Inggris baru-baru ini menyerukan peningkatan usia tanggung jawab pidana untuk menjelaskan perbedaan ini dalam otak muda. Kabar baiknya, fakta bahwa anak-anak tidak memiliki tingkat kontrol kognitif yang dimiliki orang dewasa juga dapat membuat anak-anak lebih mungkin untuk direhabilitasi.

Jadi, apa penyebab anak-anak membunuh? Para psikolog menjelaskan banyak faktor, di antaranya adalah faktor biopsikologi pelaku yakni tingginya faktor agresi, kecenderungan impulsif, rendahnya kemampuan regulasi emosi. Faktor lain psikososial pelaku seperti tidak memiliki role model yang baik, serta lingkungan sosial serta lingkungan sebaya yang buruk.

Berbicara tentang role model, maka persoalannya menjadi persoalan psikologi sosial. Pada dasarnya, role model yang memiliki obligasi atas perkembangan anak tentunya adalah orang tua, berikutnya guru di sekolah, lalu teman sebaya. Penelitian yang dilakukan Masykur dan Subandi (2018) yang meneliti delapan subjek berpartisipasi dalam penelitian yang dilakukan di Penjara Anak Kutoarjo. Data dalam penelitian ini adalah dikumpulkan melalui observasi dan wawancara dengan subjek, tes psikologis, kunjungan rumah, dan dilengkapi dengan wawancara dengan petugas penjara dan data dokumen penjara. Wawancara data yang dikumpulkan kemudian dianalisis menggunakan metode eksplikasi data. Penelitian ini menemukan bahwa dinamika interaksi faktor keluarga, lingkungan sosial, teman, penyalahgunaan narkoba dan alkohol, status sosial ekonomi, pendidikan, kondisi psikologis individu, ketersediaan senjata, dan karakteristik korban yang menyebabkan perilaku membunuh pada remaja. Dampak dari pembunuhan untuk pelaku bervariasi, tergantung pada latar belakang kasus.

Bagaimana dengan media yang dikonsumsi?

Meskipun banyak dari kalangan akademisi kesenian mengatakan bahwa seni (film, tulisan, media internet) adalah netral. Tetapi akademisi psikologi yang mempelajari proses mental dan perilaku tidak demikian. Film, tulisan dan media pada dasarnya netral, tetapi manusia dengan perangkat biopsikososialnya tidak netral. Karena, manusia adalah makhluk yang menafsirkan dan memaknai. Pemaknaan dilakukan dengan perangkat kognisi yang boleh jadi sebagaimana paparan di atas, fungsi eksekutifnya belum matang, masih berkembang. Sehingga dampak media terhadap pemirsa dengan tingkat kognisi tertentu dan kapabilitas dan usia perkembangan tertentu boleh jadi lebih rentan dibandingkan dengan tingkat kognisi, kapabilitas dan usia perkembangan yang lain.

Pada kasus pengonsumsi film kekerasan seperti Slender Man, nampaknya sudah cukup lama mengonsumsinya tanpa memiliki role model untuk mengkritisi kontennya. Jadi, pada dasarnya media tidak berdampak buruk jika dan hanya jika: dikonsumsi pada usia yang tepat, memiliki teman diskusi yang memberikan perspektif yang banyak, memiliki alternatif tontonan lain untuk dikontraskan dengan tontonan yang digemarinya, sehingga kognisi memiiliki referensi alternatif yang lebih kaya dan membantu fungsi eksekutifnya berkembang dengan baik.

Jika menilik pelaku di Jakpus, sepertinya ia tidak memilikinya.

Salah siapa? Sepertinya kita memiliki andil di dalamnya, jika kita tidak berbuat apa-apa.

*Ilmuwan Psikologi Sosial Universitas Mercubuana Jakarta

Baca juga:

Berita terkait
Soal Kasus Pembunuhan, KPAI Mau Temui Anies Baswedan
KPAI dijadwalkan akan menemui Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menyangkut kasus pembunuhan dan permintaan satu psikolog di sekolah.
Kasus Pembunuhan, KPAI Soroti Proses Sensor Film
KPAI meminta pemerintah memperketat proses seleksi tayangan film yang beredar di masyarakat, menyikapi kasus pembunuhan terhadap bocah 6 tahun.
Risma Semangati Anak Korban Pembunuhan di Surabaya
Tiga anak MA ditangani oleh Pemkot Surabaya dengan menempatkan ketiganya tinggal di Rusun Krembangan Surabaya, setelah ibunya dibunuh.
0
Melihat Epiknya Momen Malam HUT DKI Jakarta Lewat Lensa Galaxy S22 Series 5G
Selain hadir ke kegiatan-kegiatan yang termasuk ke dalam agenda perayaan HUT DKI Jakarta, kamu juga bisa merayakannya dengan jalan-jalan.