Jakarta - Laman utama pencarian Google hari ini menampilkan doodle tas tradisional Papua, yaitu Noken. Hal ini dilakukan dalam rangka memperingati hari penetapan Noken sebagai Warisan Budaya Tak benda dari UNESCO pada 4 Desember 2012 lalu di Paris, Prancis.
Pada doodle kali ini, ilustrasi menggambarkan beberapa sosok wanita yang memakai Noken di kepala dengan latar belakang pemandangan bukit dan rumah Honai khas Papua.
Upaya ini bertujuan semakin memperkenalkan Noken yang memiliki nilai budaya dan sosial ekonomi di Provinsi Papua dan Papua Barat.
Cerita Pembuat Doodle
Ilustrasi doodle edisi Noken khas Papua yang ditampilkan di laman utama Google ini dibuat seniman asal Depok, Danu Fitra. Ia memang memiliki ketertarikan personal dengan Indonesia Timur, khususnya Papua yang menyimpan kekayaan budaya, kelompok etnis, dan pemandangan yang menakjubkan.
"Saya menggambarkan dua orang Papua dalam perjalanan pulang dari hutan dengan menggunakan Noken untuk membawa hasil pertanian," kata Danu di laman resmi Google, dikutip Tagar pada 4 Desember 2020.
Jenis hurufnya terinspirasi dari bentuk Noken dan elemen dekoratif terinspirasi dari pola Noken. Danu berharap, doodle karyanya ini bisa semakin memperkenalkan Noken ke masyarakat luas, bukan hanya di Indonesia, namun juga dunia internasional.
Filosofi
Kerajinan tas tradisional buatan tangan ini memiliki filosofi, yaitu nilai budaya dan sosial ekonomi yang tinggi di seluruh Provinsi Papua dan Papua Barat di Indonesia. Noken dikenal sebagai ikon khas Papua yang perlahan ditinggalkan masyarakat.
Tas ini menunjukkan budaya masyarakat Papua. Hampir semua etnik Papua mengenal benda ini dan menggunakannya untuk keperluan sehari-hari. Noken sendiri sudah dibuat 250 suku di Papua, namun kini fungsinya mulai tergantikan dengan benda yang lebih modern.
Beberapa tahun terakhir, tas tradisional khas Papua ini hampir terancam. Keunikannya pun segera didaftarkan ke UNESCO sebagai salah satu hasil karya tradisional dan warisan kebudayaan dunia.
Pada 4 Desember 2012, Noken ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda UNESCO. Langkah ini untuk mengamankan keberadaan Noken bagi generasi mendatang.
Mama-mama di Papua menganyam noken (Foto: id.wikipedia.org)
Kegunaan
Umumnya, wanita memakai Noken untuk mengangkut hasil pertanian, membawa hasil perkebunan, tangkapan dari laut atau danau, kayu bakar, bayi atau hewan kecil, dan berbelanja serta menyimpan barang-barang di rumah.
Tas serba guna ini diklaim tahan lama dan bisa membawa barang yang cukup berat. Keunikan Noken terlihat dari bagaimana cara orang-orang Papua membawanya. Tidak seperti tas yang digendong atau dijinjing, Noken digantungkan di kepala wanita-wanita perkasa Papua.
Noken juga sering dipakai untuk perayaan tradisional, atau sebagai persembahan perdamaian. Kerajinan tangan ini telah diwariskan dari generasi ke generasi dan menuntut keterampilan taktil yang halus, perawatan yang berdedikasi, dan tidak kekurangan fungsi artistik.
Cara Membuat
Cara membuat Noken beragam sesuai komunitasnya. Umumnya, Noken dibuat wanita Papua dengan menggunakan bahan alami, seperti cabang, batang, kulit pohon atau semak tertentu yang ditebang, dipanaskan di atas api, dan direndam dalam air.
Bahan-bahan ini dikeringkan dan dipintal menjadi benang atau tali yang kuat, dan kadang diwarnai dengan pewarna alami. Tali ini dianyam menggunakan tangan untuk membuat kantong jaring dengan berbagai pola dan ukuran menjadi sebuah tas.
Sayangnya, jumlah orang yang membuat dan menggunakan Noken semakin berkurang. Ini terjadi karena kurangnya kesadaran, lemahnya transmisi tradisional, kurangnya jumlah pengrajin, persaingan yang tinggi dengan tas buatan pabrik, masalah dalam memperoleh bahan baku tradisional, dan pergeseran nilai-nilai budaya Noken.
- Baca juga: Hari Guru Nasional, Pak Tino Sidin Mejeng di Google Doodle
- Baca juga: Cara Buat Kartu Ucapan Hari Ayah 12 November di Google Doodle
Menariknya, Noken hanya boleh dibuat orang Papua. Para wanita di Papua sudah harus belajar membuat tas ini sejak kecil. Noken juga melambangkan kedewasaan pada wanita tersebut. []
(Alfina Nur Hayati)