Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, mengumumkan bahwa industri yang berfokus pada ekspor tidak akan mendapatkan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT). Kebijakan ini bertujuan untuk memastikan bahwa sumber daya alam Indonesia digunakan secara efisien dan berkelanjutan, sekaligus mendorong nilai tambah dalam industri dalam negeri.
Bahlil menjelaskan bahwa pemerintah telah menetapkan harga gas "murah" untuk industri dalam negeri maksimal US$ 6,8 per MMBTU, sementara harga gas untuk sektor ketenagalistrikan maksimal US$ 7 per MMBTU. Kebijakan ini telah disepakati dalam Rapat Kabinet Terbatas (Ratas) untuk tahun 2025.
Menurut Bahlil, kebijakan ini diambil karena pemberian HGBT dapat mengurangi potensi penerimaan negara dari sektor hulu minyak dan gas bumi (migas). Meskipun demikian, pemerintah berharap kebijakan ini dapat mendorong industri dalam negeri untuk meningkatkan nilai tambah produk mereka. "Karena HGBT itu, ada pendapatan negara yang harus diterima tapi tidak dipungut dalam rangka menciptakan nilai tambah," ujarnya.
Bahlil menambahkan bahwa total potensi penerimaan negara yang hilang dari hulu migas karena kebijakan HGBT selama 2020-2024 mencapai Rp 87 triliun. Meskipun demikian, pemerintah tetap berkomitmen untuk mendukung industri dalam negeri dengan memberikan harga gas yang kompetitif.
Saat ini, tujuh sektor industri yang menerima HGBT adalah industri keramik, pupuk, petrokimia, oleokimia, baja, kaca, dan sarung tangan karet. Harga HGBT sebelumnya dipatok maksimal US$ 6 per MMBTU. Dengan kebijakan baru ini, diharapkan industri dalam negeri dapat lebih kompetitif dan berdaya saing di pasar global.