Untuk Indonesia

Menteri Korupsi

Menteri Korupsi. Idrus Marham membawa ingatan pada Suryadharma Ali dan Andi Mallarangeng, menteri yang berurusan dengan KPK.
Menteri Korupsi | Menteri Sosial Idrus Marham (tengah) tiba untuk menjalani pemeriksaan di gedung KPK, Jakarta, Kamis (26/7/2018). Mantan Sekjen Partai Golkar tersebut diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Johannes Budisutrisno Kotjo terkait kasus dugaan suap kesepakatan kontrak kerja sama pembangunan PLTU Riau-1. (Foto: Antara/Aprillio Akbar)

Oleh: Arnaz Firman*

Di tengah-tengah rakyat Indonesia mendambakan "jatuhnya" medali emas dari arena pertandingan olahraga Asian Games, tiba-tiba masyarakat di Tanah Air harus menerima kenyataan pahit.

Idrus Marham pada hari Jumat siang (24/8) menghadap kepada Presiden Joko Widodo di Istana kepresidenan Jakarta. Bukan untuk melaporkan setumpuk tugasnya sebagai Menteri Sosial, tapi justru menyerahkan surat pengunduran diri sebagai pejabat negara walaupun jabatannya itu baru dipangkunya sekitar empat bulan.

Selama beberapa bulan terakhir ini, rakyat harus mendengar atau melihat dari televisi, membaca surat kabar, majalah atau dari media daring bahwa mantan sekretaris jenderal DPP Partai Golongan Karya telah berulang kali diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tentang kasus yang dihadapi seorang anggota DPR bernama Eni Saragih yang diduga terlibat dalam kasus pembangunan sebuah PLTU di Provinsi Riau.

Lembaga antirasuah ini memang masih terus menyelidiki dan menyidik kasus korupsi yang bernilai miliaran rupiah dan nama Eni itu "dikait- kaitkan" dengan sang mantan sekjen DPP Golkar tersebut.

Bahkan anehnya Eni Saragih digerebek saat berada di rumah Idrus Marham yang sedang "merayakan" hari ulang tahun anaknya.

Walaupun Eni adalah wakil rakyat dari Golkar, pertanyaannya adalah apakah Eni harus datang ke rumah mantan bosnya di partai karena anak menteri sedang berulang tahun ataukah ada "unsur bisnisnya"? 

Idrus setelah beberapa kali dimintai keterangan oleh KPK selalu bercerita kepada wartawan bahwa ia "hanya ditanya" oleh para penyidik KPK tentang masalah pembangunan PLTU Riau itu. Akan tetapi Idrus tak bercerita banyak kepada para kuli tinta itu mengenai peranannya "membantu" Eni dalam proyek pembangkit listrik tenaga uap tersebut untuk sebuah perusahan.

Masyarakat tentu harus memegang teguh prinsip azas praduga tak bersalah, yaitu bahwa seseorang itu tidak boleh dianggap bersalah sampai adanya keputusan hukum yang berkekutan tetap alias inkracht.

Jadi masyarakat harus bersabar dahulu untuk melihat akhir dari "babak berbau politik" apakah Idrus bersalah atau tidak.

Rakyat di Tanah Air cukup melihat ke belakang bahwa beberapa tahun lalu ada menteri yang akhirnya harus mau meringkuk di balik sel penjara atau bahasa sopannya lembaga pemasyarakatan seperti Suryadharma Ali serta Andi Alifian Mallarangeng.

Suryadharma Ali kala itu menteri agama, diselidiki KPK karena berusaha menyalahgunakan jabatannya antara lain dalam kasus pemberangkatan haji. Sementara Andi Mallarangeng yang waktu itu menteri pemuda dan olahraga diseret ke bui karena dianggap terlibat dalam pembangunan prasarana olahraga di Bogor, Jawa Barat.

Pertanyaan rakyat di Tanah Air adalah karena sebentar lagi akan berlangsung pemilihan presiden yang diikuti dengan pembentukan kabinet maka bagaimanakah citra para calon menteri itu untuk masa bakti 2019-2024? 

Ditangkapnya Suryadharma Ali dan Andi Mallarangeng menunjukkan bahwa mereka yang sudah menjadi orang-orang yang diberi amanah untuk menjadi pembantu terdekat presiden maka secara otomatis akan menjadi orang-orang yang bisa dibilang berkecukupan.

Seorang menteri akan mendapat rumah dinas, memiliki mobil dinas yang mewah, gaji yang puluhan juta rupiah tiap bulannya hingga memiliki ajudan dan kalau ke luar kota pasti kemana-mana akan dikawal polisi.

Tapi kok mereka masih "doyan duit" termasuk yang haram? Biasanya kalau seseorang menjadi menteri atau pejabat negara maka pengeluaran mereka pun secara otomatis akan bertambah. Hampir tiap detik ada saja "tamu yang tak diundang" dan biasanya selalu minta "duit" dengan 1.001 alasan.

Biasanya alasan itu untuk ongkos pulang kampung, ingin membuat gedung pendidikan, yayasan hingga membantu orang miskin dan permintaan demi permintan itu umumnya sulit ditolak.

Belum lagi kalau sang menteri berpikir bahwa karena dia cuma lima tahun menjadi "orang dekat" presiden maka dia harus mampu "menabung" demi masa depan anak-anak dan cucunya. Jadi bisa dibayangkan hidup seorang menteri itu adalah "berbiaya hidup tinggi" atau bahasa kerennya "high cost economy".

Sekalipun demikian, masyarakat berhak bertanya apakah seorang menteri "harus dibiarkan" untuk korupsi atau memakan uang rakyat dari APBN atau juga menerima "setoran" alias gratifikasi dari pengusaha yang ingin mendapatkan proyek-proyek pemerintah, apalagi pada tahun 2019 nilai APBN bisa mencapai sekitar Rp 2.400 triliun? 

Kalau direnungkan maka beban atau tangung jawab utama memilih seorang menteri ada di tangan kepala pemerintahan.

Kini seorang menteri bisa datang dari partai politik, organisasi kemasyarakatan alias ormas, ataupun dari kelompok profesional. Kelompok wakil parpol dan profesional itu memang ada dalam Kabinet Kerja ini.

Karena itu, jika seseorang nantinya menjadi presiden masa bakti 2019-2024 maka dia harus benar-benar memilih dengan seksama calon-calon pembantunya.

Syarat utamanya terutama adalah siap membantu sang presiden, mampu melaksanakan amanah rakyat dan siap tak menerima gratifikasi atau melakukan korupsi.

Sang presiden bisa memanfaatkan berbagai jalur misalnya dengan mengajukan syarat-syarat kepada semua partai politik pendukungnya untuk mengajukan calon pejabat yang benar-benar bersih dan mampu melaksanakan amanah rakyat.

Yang tak kalah pentingnya adalah bisa memanfaatkan lembaga- lembaga resmi untuk menyelidiki latar belakang calon menteri misalnya saja Badan Intelijen Negara (BIN), kemudian Badan Intelijen dan Strategis Markas Besar TNI (Bais), hingga Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Karena pemilihan presiden akan berlangsug pada 17 April 2019 sehingga tinggal beberapa bulan lagi, maka tentu para calon presiden harus sudah meneliti dan menyelidiki calon-calon menterinya sehingga jika nanti sudah terpilih maka dia tidak harus pontang-panting lagi mencari orang untuk menjadi pembantunya.

Saat ini saja, masih sekitar 25,9 juta warga Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan, sehingga sang presiden baru harus banting tulang untuk mengapus atau mengurangi angka 25,9 juta warga miskin itu.

Karena itu, rakyat berhak bertanya agar presiden mendatang tidak salah memilih menteri-menterinya agar tak ada lagi yang dipanggil KPK. []

*Arnaz Firman bekerja di Lembaga Kantor Berita Nasional Antara

Berita terkait
0
David Beckham Refleksikan Perjalanannya Jadi Pahlawan untuk Inggris
David Beckham juga punya tips untuk pesepakbola muda, mengajak mereka untuk menikmati momen sebelum berlalu