Nafsu Gila Pengasuh Pesantren di Aceh

Pengasuh pesantren di Aceh tega melakukan pelecehan seksual terhadap santrinya akibat pengaruh film porno.
Foto buku harian santri yang menjadi korban pencabulan. Di buka itulah M menuliskan kisah sedihnya. (Foto: Tagar/Agam Khalilullah)

Lhokseumawe - Wajahnya tertunduk malu, sesekali terdengar suaranya yang lirih saat menceritakan apa yang telah dilakukannya itu. Kedua tangannya diborgol oleh pihak kepolisian. Tampak pakaian warna oranye berstatus tahanan kepolisian ia pakai.

Begitulah yang dialami MZF, 26 tahun, merupakan salah seorang guru yang mengajar di salah satu pesantren, Kabupaten Aceh Utara. Ia ditahan oleh kepolisian karena terbukti mencabuli dua orang santri yang sedang mengecap pendidikan di lembaga itu.

Peristiwa ini mencuat ketika korban bersama sembilan santri lainnya kabur dari pesantren dan mendatangi Mapolres Lhokseumawe, untuk melaporkan kejadian pencabulan tersebut, sehingga pada tanggal 16 Januari 2020, MZF ditangkap oleh personel Kepolisian Resor (Polres) Lhokseumawe.

Saya lakukan karena untuk mengeluarkan hasrat saja atau hawa nafsu dan karena sesama jenis kelamin laki-laki maka lebih mudah untuk mendekat.

Kedua santri yang menjadi korban kebejatannya itu masih di bawah umur dan berjenis kelamin laki-laki, kedua santri yang menjadi korban tersebut berinisial A, 13 tahun dan M, 14 tahun.

Tagar sempat melakukan wawancara dengan MZF saat berada di Mapolres Lhokseumawe, sehingga pria yang berkulit gelap itu menceritakan semuanya, mengapa dirinya sampai mencabuli kedua santrinya itu.

Pengakuan MZF, perbuatan terlarang ia lakukan karena ingin melampiaskan hasrat hubungan seksualnya, sehingga sasaran untuk melampiaskan adalah kedua santrinya.

Menurut pemikirannya, adanya kesamaan jenis kelamin laki-laki maka sangat mudah untuk dicabuli karena tidak ada yang merasa curiga, sehingga MZF pun mempraktikkan perbuatan bejatnya itu kepada kedua santrinya.

Perbuatan terlarang itu dilakukan pada tengah malam, ketika korban sudah tidur.

“Ini saya lakukan karena untuk mengeluarkan hasrat saja atau hawa nafsu dan karena sesama jenis kelamin laki-laki maka lebih mudah untuk mendekati, makanya saya cabuli laki-laki karena lebih mudah,” ujar MZF kepada Tagar.

Pengakuan MZF, perbuatan itu sudah dilakukan sejak tahun 2019 lalu, apabila syahwatnya sudah mulai menanjak tinggi, maka MZF langsung menghampiri kedua santri laki-laki yang masih berusia di bawah umur tersebut.

Hal lain yang membuat syahwat pengasuh guru di pesantren itu meroket karena akibat sudah kecanduan film porno. Meskipun di pesantren tersebut memiliki santri wanita, maka ia lebih memilih untuk mencabuli santri laki-laki.

“Saya tidak sering dan hanya sesekali saja ketika sudah datang kepingin saja, agar mengeluarkan hawa nafsu. Saya melakukannya sejak dari tahun 2019 dan sasarannya laki-laki karena lebih mudah,” tutur MZF.

Lebih 10 kali

Kepolisian Resor (Polres) Lhokseumawe, telah mengamankan MZF, 26 tahun, merupakan oknum guru yang bekerja di salah satu Pesantren di Aceh Utara, Aceh karena melakukan pelecehan seksual terhadap dua santrinya.

Wakapolres Lhokseumawe Kompol Ahzan, mengatakan ada dua santri yang menjadi korban, yaitu berinisial AZ, 13 tahun, warga Aceh Utara dan MFM, 14 tahun, warga Kota Lhokseumawe, keduanya merupakan berjenis kelamin laki-laki.

“Berdasarkan pengakuan dari AZ, maka dirinya telah mengalami pelecehan seksual sebanyak lima kali dan korban yang berinisial MFM, maka ia juga telah mengalami pelecehan seksual lebih dari lima kali,” ujar Ahzan, Selasa, 21 Januari 2020.

Ahzan menambahkan, pelecehan seksual itu dilakukan pada tengah malam, ketika santri tersebut sudah tidur. Modus yang dilakukan tersangka, awalnya tidur disamping korban dan kemudian meraba-raba alat kelaminnya.

Pelecehan Seksual AcehWaka Polres Lhokseumawe Kompol Ahzan, saat memberikan keterangan dalam konferensi pers terkait kasus pencabulan di salah satu pesantren di Aceh. (Foto: Tagar/Agam Khalilullah)

Bahkan tersangka juga memeluk korban, serta mencium bibirnya. Korban juga sempat menghindar agar tersangka melakukan hal itu namun tidak digubrisnya, karena yang melakukannya adalah guru di pesantren tersebut, maka korban tidak berani melawan.

“Perbuatan terlarang itu dilakukan pada tengah malam, ketika korban sudah tidur. Modusnya memang tersangka pura-pura tidur disamping korban, malah kemudian meraba-raba alat kelaminnya dan tangan korban juga diarahkan untuk meraba-raba alat kelamin tersangka,” tutur Ahzan.

Maka santri tersebut terlepas dari komunitasnya sehingga masuk ke ruang pribadi guru itu, sehingga terjadilah perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh agama dan juga banyak modus-modus lain.

Korban Pasrah

Salah seorang korban pencabulan yang berinisial A, 13 tahun, menulis kesedihan yang dialaminya selama berada di pesantren di buku harian, namun kini buku itu telah disita oleh pihak kepolisian sebagai alat bukti.

Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Lhokseumawe Iptu Lilisma Suryani mengatakan, buku harian tersebut juga menjadi sebagai barang bukti atas peristiwa pencabulan tersebut.

Saat kedua korban pencabulan dan bersama sejumlah santri lainnya saat mendatangi Mapolres Lhokseumawe untuk melaporkan peristiwa tersebut, maka korban dalam keadaan menangis.

“Buku hari itu merupakan sebagai alat bukti dan kedua santri yang menjadi korban itu kondisinya mengalami trauma, kami sangat serius dalam mengusut kasus ini,” ujar Iptu Lilisma Suryani.

Berikut salah satu penggalan cerita yang ditulis oleh korban di buku hariannya.

Ya Allah ubahkanlah mereka ke jalan yang engkau ridahai ya Allah. Ya Allah apakah mereka adalah halangan bagi hamba yang engkau berikan kepada hamba ya Allah. Ya Allah ampunilah dosa hamba, Ya Allah hamba minta maaf kepada engkau yang maha kuasa, Ya Allah tariklah nyawa hamba Ya Allah, keluarkanlah arwah dari tubuh hamba Ya Allah, karena saya hanya bisa menambah dosa pada engkau Ya Allah,” tulisnya.

Bukan Hal Baru

Salah satu penyebab terjadinya kekerasan seksual dan pencabulan dikalangan santri akibat karena ruang santri tidak diproteksi dengan baik dan juga hal lainnya juga disebabkan karena hegemoni guru lebih dominan.

Akademisi Universitas Malikussaleh (Unimal) Teuku Kemal Fasya mengatakan, berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan olehnya, maka kasus kekerasan seksual di kalangan pesantren di Aceh bukan sebagai hal yang baru.

“Berdasarkan hasil penelitian yang telah saya lakukan, maka ada menunjukkan banyak kasus yang terjadi, terutama di Kabupaten Aceh Utara dan Bener Meriah, serta Kabupaten Aceh Tengah,” ujar Kemal.

Kemal menambahkan, saat ini pelecehan seksual yang terjadi di pesantren bukan hanya dialami oleh para santri perempuan saja, tapi juga telah dialami oleh kalangan santri laki-laki.

Banyak modus-modus yang dilakukan agar pelecehan seksual itu bisa terjadi, misalkan ada guru pengasuh yang tertarik dengan santri-santri tertentu, kemudian merekayasa tentang hukuman, sehingga santri tersebut terlepas dari komunitasnya.

“Jadi ketika hukuman itu diberikan, maka santri tersebut terlepas dari komunitasnya sehingga masuk ke ruang pribadi guru itu, sehingga terjadilah perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh agama dan juga banyak modus-modus lain,” kata Kemal.

Kemal menceritakan salah satu kasus pernah diteliti olehnya yaitu kejadian itu di salah satu pesantren, namun dirinya tidak merincikan lokasi pesantren itu. Saat menjelang libur, seorang guru ingin melecehkan santri perempuan dan secara tiba-tiba datang pemimpin sehingga keduanya bersembunyi di bawah tempat tidur.

Saat pemimpin pesantren mengetahui, guru laki-laki tersebut dipukul olehnya dan santri perempuan dibiarkan berada di dalam kamar, kemudian malah pemimpin memperkosa santri perempuan, namun karena meronta-ronta maka perbuatan itu tidak jadi dilakukan.

“Saat pulang ke rumah, perempuan ini cerita ke orang tuanya dan melaporkan ke polisi. Namun pihak pesantren melakukan pendekatan damai, serta memberikan uang sebesar Rp 8 juta,” ujar Kemal.

Namun, lanjut Kemal, uang Rp 8 juta itu ditolak oleh santri perempuan tersebut dan ingin agar kasus pelecehan yang menimpa dirinya diselesaikan secara hukum dan melakukan perlawanan.

Tragis, santri perempuan itu malah difitnah dan dianggap menjelek-jelekan pemimpin pesantren. Dalam mengusut kasus pelecehan seksual yang terjadi di pesantren, pihak kepolisian mendapatkan banyak kendala karena banyak intervensi, seperti adanya pihak desa yang tidak ingin kasusnya terbuka. []

Baca cerita menarik lainnya: 

Berita terkait
Lima Manfaat Ganja Aceh Jika Dilegalkan
Selain untuk kesehatan banyak manfaat lain yang banyak orang belum tahu dari ganja terkait wacana dilegalkan ganja Aceh.
Optimis Legalkan Ganja Kurangi Kemiskinan di Aceh
Jika ganja di Aceh mampu dimanfaatkan dengan baik Profesor Musri Musman optimis ganja bisa mengentaskan kemiskinan
Demi Kesehatan, Ganja Aceh Diminta Legalkan
Ketua Lingkar Ganja Nusantara (LGN), Dhira Narayana mendorong adanya advokasi ke Mahkamah Konstitusi soal aturan yang melarang ganja.