Jakarta - Konflik Iran versus Amerika Serikat (AS) semakin meluas pada permasalahan ekonomi. Penyerangan rudal Iran ke pangkalan militer AS di Irak sebagai bentuk balasan atas kematian petinggi militer Iran Qassem Soleimani berbuntut panjang. Pemerintah AS siap-siap menjatuhkan sanksi ekonomi kepada Iran.
Dalam pernyataan bersama antara Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo dan Menteri Keuangan Steve Mnunchin pada Jumat, 10 Januari 2020 waktu setempat disebutkan bahwa AS akan menjatuhkan sanksi kepada beberapa pejabat senior Iran dan perusahaan-perusahaan besar di sektor konstruksi dan manufaktur. "Sanksi baru akan menargetkan individu dan perusahaan yang memiliki, mengoperasikan atau membantu sektor ekonomi Iran termasuk konstruksi, manfukatur, tekstil dan pertambangan," kata Menteri Keuangan AS Steve Mnunchin seperti diberitakan dari dw.com.
Prospek suram di tahun 2020
Sanksi baru diperkirakan akan semakin memukul ekonomi Iran. Bagaimana nasib ekonomi Iran ke depan setelah jatuhnya sanksi baru ini? Setelah dua tahun berturut-turut ekonomi Iran mengalami kontraksi, sebuah laporan baru-baru ini menggambarkan prospek suram ekonomi Iran pada tahun 2020. Sanksi ekonomi yang meluas telah menghantam perekonomian dan rakyat Iran harus menanggung beban resesi.
Indikator ekonomi Iran yang dirilis oleh Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia (World Bank) menunjukkan dampak sanksi terhadap ekonomi Iran yang didominasi dari minyak. Dalam laporan outlook ekonomi yang dirilis Oktober lalu, IMF menyebutkan ekonomi Iran pada tahun ini akan mengalami kontraksi 9,5 persen. Kontraksi ekonomi adalah suatu fase dimana siklus ekonomi dalam kondisi menurun.
Jet tempur EA-18G Growler lepas landas dari dek penerbangan kapal induk Angkatan Laut Amerika Serikat USS Harry S. Truman di Laut Arab. (Foto: Antara/ U.S. Navy/Mass Communication Specialist Seaman Apprentice Isaac Esposito/Handout via REUTERS/pd/cfo)
2019 Menjadi tahun terburuk
Tahun 2019 menjadi salah satu tahun terburuk bagi perekonomian Iran sejak 1984. Hanya Libia yang mencatat 19 persen dari kontraksi produk domestik bruto (PDB) dan Venezuela (35 persen dari kontraksi PDB) yang diperkirakan berkinerja lebih buruk dibandingkan Iran pada 2019.
Dikutip dari portal worldbank.org, dalam outlook terbaru yang dirilis Bank Dunia 9 Oktober 2020 disebutkan bahwa ekonomi Iran pada 2019 mengalami kontraksi 8,7 persen. Perlambatan ekonomi itu dipicu oleh anjloknya ekspor minyak dan gas, bersama dengan sanksi baru yang dikenakan terhadap sektor logam, pertambangan, dan maritim.
Bank Dunia menyebutkan bahwa penurunan pertumbuhan ekonomi tahun 2019 itu 10 persen lebih kecil dibandingkan dua tahun lalu. Bank Dunia dan IMF memperkirakan pertumbuhan tahun ini akan berkisar antara nol hingga 0,5 peresn. Namun untuk mencapai pertumbuhan itu, Iran harus mampu menggenjot ekspor minyak 500 ribu barel tiap hari.

Inflasi Iran 35,,7 persen
Seperti dikethaui, setelah sanksi internasional dicabut pada tahun 2016 di bawah kesepakatan nuklir yang dikenal sebagai Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA), Iran mengalami peningkatan pertumbuhan lebih dari 13 persen. Menurut IMF, pendapatan dari minyak pada 2017 sebesar 57,4 miliar. Pada Mei 2018, AS di bawah Presiden Donald Trump menarik diri dari kesepakatan JCPOA. Pada November 2018, AS kembali memberlakukan sanksi unilateral yang menargetkan hampir setiap sektor ekonomi Iran.
Laporan IMF menyebutkan, tingkat inflasi Iran pada Oktober 2019 tercatat sebesar 35,7 persen. Bank Dunia menyatakan, peningkatan inflasi ini secara tidak proporsional mempengaruhi penduduk pedesaan khususnya untuk bahan makanan. Pusat Stistik Iran (SCI) mengeluarkan penilaian yang lebih pesimistis dengan tingkat inflasi secara keseluruhan 47,2 persen, dengan tingkat tertinggi untuk makanan dan bahan bakar sebesar 63,5 persen.[]