Nasib Istana Belanda Lapuk Dimakan Usia di Aceh

Jaring laba-laba bergelantungan di setiap sudut ruangan di Istana Glumpang Dua peninggalan Belanda yang berada di Kabupaten Bireuen, Aceh.
Bangunan bekas Istana Glumpang Dua yang berada di Desa Keude Lapang, Kecamatan Gandapura, Kabupaten Bireuen, Aceh, Sabtu, 15 Februari 2020. (Foto: Tagar/Muhammad Fadhil)

Banda Aceh - Sebuah bangunan berkonstruksi beton berdiri kokoh di sisi kanan Jalan Banda Aceh-Medan. Atapnya terbuat dari genteng, beberapa sisi terlihat sudah rusak. Di sekiling bangunan, rumput ilalang tumbuh dengan liar.

Di dinding bangunan, terdapat sebuah tulisan warna merah bertuliskan “Tanah Ini Dijual” lengkap dengan nomor kontak di bawah tulisan tersebut. Dalam bangunan, jaring laba-laba bergelantungan di setiap sudut ruangan. Beberapa atap sudah terkelupas dan jatuh berserakan. Sekilas, bangunan ini tampak kurang perawatan.

Bangunan itu dilengkapi beberapa pintu dan kondisinya dalam posisi tergembok, hanya satu pintu di bagian belakang yang sudah terbuka. Sekitar 8 meter dari pintu belakang, terdapat sebuah sumur dilengkapi tiang dan katrol, namun tak ada talinya.

Sumur itu juga dilengkapi atap yang terbuat dari seng, namun beberapa sisi terlihat sudah copot. Di sisi kiri sumur, puluhan sepeda dengan berbagai jenis terparkir teratur.

Itulah bangunan bekas Istana Glumpang Dua yang berada di Desa Keude Lapang, Kecamatan Gandapura, Kabupaten Bireuen, Aceh. Istana ini merupakan hadiah Pemerintah Belanda untuk wedana (zelfbesturder) Glumpang Dua yang saat itu dipimpin oleh Teuku Bintara Istia Muda Peureudan.

Jadi walaupun punya Belanda, tapi itu wajib diselamatkan, kalau tidak diselamatkan tidak ada bukti untuk anak-anak kita nanti.

Saat ini, bangunan Istana Glumpang Dua tidak ada lagi penghuninya. Beberapa sisi bangunan terlihat sudah berjamur, demikian juga dengan pintu, jendela dan beberapa sisi lainnya yang sudah terkelupas.

Peninggalan Belanda di AcehBangunan bekas Istana Glumpang Dua yang berada di Desa Keude Lapang, Kecamatan Gandapura, Kabupaten Bireuen, Aceh, Sabtu, 15 Februari 2020. (Foto: Tagar/Muhammad Fadhil)

Bangunan itu berada di sepetak lahan di lintasan Medan-Banda Aceh. Lahan ini biasanya dimanfaatkan warga untuk bercocok tanam, hingga menyimpan sepeda yang akan dijual pada setiap hari pekan.

Beberapa waktu lalu, Tagar berkesempatan menyambangi bangunan tersebut. Saat matahari berada tegak di atas kepala, didampingi warga setempat Murdani, dari sebuah warung kopi di pusat Kecamatan Gandapura, kami bergerak menggunakan roda dua.

Kami ingin ini dibeli oleh pemerintah, sehingga bisa menjadi destinasi wisata sejarah di Kabupaten Bireuen.

Luah tanoh nyo, lon pernah eh dalam kompleks nyo (luas tanah ini, saya pernah tidur di dalam kompleks ini),” kata Murdani.

Pria berusia 26 tahun itu merupakan tim sukses salah satu calon legislatif pada Pemilu 2019 lalu. Beberapa bulan sebelum pesta demokrasi itu berlangsung, caleg tersebut menyewa salah satu bangunan di belakang Istana Glumpang Dua sebagai sekretariat pemenangan partainya.

“Di sini kami menyiapkan spanduk dan keperluan-keperluan lainnya, kami pernah tidur di sini, tetapi ramai-ramai, kalau sendiri tidak berani, di sini juga menjadi tempat disimpannya sepeda oleh pedagang sepeda, biasanya diambil saat hari pekan,” tutur dia.

Peninggalan Belanda di AcehBeberapa sisi dalam bangunan bekas Istana Glumpang Dua yang berada di Desa Keude Lapang, Kecamatan Gandapura, Kabupaten Bireuen, Aceh, terlihat sudah hancur pada Sabtu, 15 Februari 2020. (Foto: Tagar/Muhammad Fadhil)

Meski sering tinggal di bangunan belakang istana, Murdani tak tahu betul bagaimana sejarah bangunan tersebut. Lalu, kami bergerak kembali ke warung kopi di pusat kecamatan Gandapura. Dari hasil perbincangan dengan beberapa warga di sana, Tagar diarahkan untuk menjumpai Dodi.

Dodi merupakan salah satu warga setempat yang diamanahkan untuk menjaga dan merawat bangunan tersebut. Tak lama berselang, Dodi tiba di warkop tersebut. Ternyata, ia sudah terlebih dahulu dihubungi oleh warga untuk menemui Tagar di warung dimaksud.

Dodi merupakan pemuda yang ramah dan mudah diajak berdiskusi. Misalnya, saat disodorkan satu pertanyaan saja, ia menjawabnya secara gamblang dan panjang. Ia lantas menceritakan bagaimana sejarah bangunan tersebut.

Berdasarkan informasi ia terima, bangunan Istana Glumpang Dua merupakan peninggalan Belanda dan dihadiahkan untuk wedana. Bangunan ini berdiri pada tahun 1903 saat Belanda mulai membentuk pemerintah otonom (zelfbesturder) setingkat wedana.

Peninggalan Belanda di AcehPompa air yang berada di sisi kiri bangunan bekas Istana Glumpang Dua di Desa Keude Lapang, Kecamatan Gandapura, Kabupaten Bireuen, Aceh, Sabtu, 15 Februari 2020. (Foto: Tagar/Muhammad Fadhil)

Saat itu, Belanda menunjuk Teuku Bintara Istia Muda Peureudan sebagai Wedana Glumpang Dua dan Geurugok menjadi ibukota pemerintah. Selain menunjuknya sebagai wedana, Belanda juga memberi fasilitas pemerintahan beserta rumah dinasnya, yakni Istana Glumpang Dua.

Saat ini, kata Dodi, istana tersebut jatuh kepada ahli waris almarhum Teuku Hanafiah. Ia merupakan mantan dosen Institut Pertanian Bogor (IPB) Bogor. Setelah meninggal, almarhum meninggalkan seorang istri bernama Cut Maryana dan tiga orang anak yaitu Teuku Dani, Cut Nendi, dan Cut Farah.

“Mereka semua tinggal dan menetap di Bogor, walaupun ada pulang ke Aceh, tetapi jarang,” kata Dodi.

Ia mengatakan, keluarga Teuku Hanafiah saat ini telah memberi persetujuan agar sepetak tanah yang merupakan kompleks Istana Glumpang Dua itu dijual. Namun, hingga saat ini belum ada yang sanggup membelinya karena mahal.

Menurut Dodi, lahan tersebut memiliki nilai jual mahal karena lokasinya sangat strategis yaitu berada di jalur lintasan Medan-Banda Aceh. Selain itu, akses ke Kota Bireuen dan Kota Lhokseumawe juga hanya memakan waktu tempuh sekitar 30 menit perjalanan.

Peninggalan Belanda di AcehPintu bangunan bekas Istana Glumpang Dua di Desa Keude Lapang, Kecamatan Gandapura, Kabupaten Bireuen, Aceh, terlihat tergembok pada Sabtu, 15 Februari 2020. (Foto: Tagar/Muhammad Fadhil)

“Sudah ada beberapa orang yang ingin membeli, tetapi tidak sanggup karena mahal, luas tanah ini semua dibanderol sekitar 20 miliar,” ujar Dodi.

Kata Dodi, apabila tanah tersebut dibeli oleh pihak swasta dan didirikan perusahaan ataupun lainnya, maka bangunan bekas istana tersebut akan dibongkar. Kondisi ini menyebabkan Dodi khawatir.

Dodi berharap, sejatinya bangunan Istana Glumpang Dua itu dipugar oleh pemerintah sehingga menjadi bukti ataupun jejak adanya Belanda di Aceh, khususnya Kecamatan Gandapura.

“Kami ingin ini dibeli oleh pemerintah, sehingga bisa menjadi destinasi wisata sejarah di Kabupaten Bireuen,” kata Dodi.

Bukan hanya Dodi, harapan agar bangunan Istana Glumpang Dua dipugar oleh pemerintah juga diutarakan oleh masyarakat setempat. Masyarakat menyayangkan jika bangunan tersebut diruntuhkan.

Peninggalan Belanda di AcehPompa air yang berada di sisi kiri bangunan bekas Istana Glumpang Dua di Desa Keude Lapang, Kecamatan Gandapura, Kabupaten Bireuen, Aceh, Sabtu, 15 Februari 2020. (Foto: Tagar/Muhammad Fadhil)

Khairul Azmi, tokoh pemuda Gandapura menyebutkan, masyarakat di kecamatan ini memang banyak yang tak tahu bahwa bangunan tersebut memiliki nilai sejarah. Padahal, ini merupakan salah satu bukti bahwa jajahan Belanda juga pernah sampai ke Gandapura pada masa lalu.

“Ini merupakan salah satu kepingan penting dalam rekonstruksi sejarah Aceh, jadi perlu dipugar,” kata Khairul Azmi, Rabu, 11 Maret 2020.

Khairul juga mengaku tahu kalau lahan pada lokasi bangunan tersebut akan dijual oleh ahli waris. Ini berdasarkan keterangan yang ditulis di dinding bangunan.

Menurut Khairul, keputusan ahli waris untuk menjualnya sah-sah saja karena lahan yang didirikan bangunan tersebut bisa jadi memang milik mereka secara sah.

Namun di sisi lain, kata Khairul, sebagai warga Gandapura, ia mengaku tak setuju apabila bangunan tersebut dijual kepada pihak swasta. Sebab, setelah kepemilikan menjadi milik orang lain, bangunan ini bisa saja dirobohkan dan kemudian didirikan bangunan lain, seperti pertokoan dan berbagai macam usaha.

Peninggalan Belanda di AcehWarga menunjukkan sumur yang berada di belakang bangunan bekas Istana Glumpang Dua yang berada di Desa Keude Lapang, Kecamatan Gandapura, Kabupaten Bireuen, Aceh, Sabtu, 15 Februari 2020. (Foto: Tagar/Muhammad Fadhil)

Kata Khairul, apabila bangunan sudah dirobohkan, maka tak ada lagi peninggalan-peninggalan masa lalu di kecamatan yang dikenal memiliki kuliner Sate Apaleh itu. Dengan demikian, tak ada lagi yang bisa diperlihatkan kepada generasi di masa mendatang.

Ini merupakan salah satu kepingan penting dalam rekonstruksi sejarah Aceh, jadi perlu dipugar.

“Sangat disayangkan jika Istana tersebut perjualbelikan, seharusnya pemerintah daerah atau masyarakat mengelola bangunan yang memiliki bukti sejarah ini,” ujar Khairul.

Pemerhati Sejarah dan Budaya Aceh, Tarmizi Abdul Hamid mengakui memang ada bangunan-bangunan peninggalan Pemerintah Belanda di sejumlah daerah di Tanah Rencong.

Bangunan tersebut, kata Tarmizi, saat ini cukup mudah ditemui dan masyarakat sangat mudah untuk mengenalnya. Sebab, bangunan ini bisa ditandai dengan gaya arsitektur mediteranian eropa klasik.

“Itu bangunan - bangunan istana di daerah itu, bisa jadi peninggalan dari Aceh sendiri, kemudian diambil alih oleh Belanda, tetapi pada umumnya semua Belanda yang buat, seperti pendopo Gubernur Aceh, dari arsitekturnya saja sudah terlihat,” kata Tarmizi saat diwawancarai Tagar, belum lama ini.

Pria yang akrab disapa Cek Midi itu menjelaskan, selain bangunan-bangunan, dulu Belanda juga membangunan irigasi kepada masyarakat Aceh dan sejumlah fasilitas lainnya dalam melaksanakan tanam paksa.

Peninggalan Belanda di AcehBangunan bekas Istana Glumpang Dua yang berada di Desa Keude Lapang, Kecamatan Gandapura, Kabupaten Bireuen, Aceh, Sabtu, 15 Februari 2020. (Foto: Tagar/Muhammad Fadhil)

Tanam paksa adalah peraturan yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch saat melakukan penjajahan di Bumi Serambi Mekkah.

“Cukup banyak dibangun, termasuk irigasi-irigasi itu dibangun oleh Belanda,” kata Cek Midi yang juga kolektor naskah kuno itu.

Meski dibangun oleh Belanda, Cek Midi berharap agar semua pihak terutama Pemerintah Aceh untuk menjaga atau merawat bangunan-bangunan tersebut. Sehingga, ada bukti yang bisa dinampakkan kepada generasi Aceh ke depan bahwa Belanda pernah menjajah negeri ini.

“Jadi walaupun punya Belanda, tapi itu wajib diselamatkan, kalau tidak diselamatkan tidak ada bukti untuk anak-anak kita nanti,” ujar Cek Midi. []

Baca juga: 


Berita terkait
Asal Mula Aceh Dijuluki Serambi Mekkah
Sebutan Serambi Mekkah menggambarkan Aceh pernah menjadi pusat peradaban dan khazanah keilmuan di Asia Tenggara.
Asal Muasal Aceh Julukan Tanah Rencong
Asal muasal julukan Aceh sebagai Tanah Rencong tak terlepas dari semangat masyarakat Aceh dalam melawan penjajah.
Sejarah Awal Masuknya Islam di Aceh
Membicarakan sejarah awal masuknya Islam ke Nusantara tidak terlepas dari provinsi paling barat di Indonesia, Aceh.
0
Video Jokowi 'Menghadap' Megawati Sangat Tidak Elok Dipertontonkan
Tontonan video Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) yang sedang bertemu dengan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarno Putri, sangat tidak elok.