Negara Tak Bisa Mengawasi Perilaku Semua Warga Terkait dengan Berisiko Terpapar Virus Corona

Kontak jarak dekat pada pandemi virus corona merupakan media penularan, tapi hanya bisa dihindari oleh orang per orang
Ilustrasi: Seorang perempuan menjemur masker agar kering sebelum dibagikan gratis di sebuah lingkungan di Tangerang, Banten, 9 April 2020 (Foto: sciencemag.org - WILLY KURNIAWAN/REUTERS)

Oleh: Syaiful W. Harahap*

Catatan: Artikel ini pertama kali ditayangkan di Tagar.id pada tanggal 1 Februari 2021. Redaksi.

TAGAR.id - Pandemi virus corona (Covid-19) terus merebak di Indonesia yang ditandai dengan kasus baru harian lebih dari 10.000 tiap hari. Risiko terpapar virus corona terjadi melalui droplet yang keluar dari mulut dan hidung yang tertular virus corona melalui kontak orang per orang pada jarak dekat. Hanya orang per orang yang bisa hindari penularan virus corona.

Jumlah kasus konfirmasi positif virus corona di Indonesia sampai tanggal 31 Januari 2021 sebanyak 1.078.314 dengan 29.998 kematian. Sedangkan di dunia dilaporkan oleh 219 negara dan teritori sebanyak 103.528.794 dengan 2.237.790 kematian (worldometer).

Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Jawa dan Bali yang diterapkan pada tanggal 11 - 25 Januari 2021 tidak efektif. Presiden Jokowi memberikan indikator terkait dengan PPKM yang tidak efektif yaitu mobilitas masyarakat masih tinggi pada masa pandemi sehingga kasus positif virus corona (Covid-19) justru naik saat PPKM diterapkan.

1. Ada Warga yang Tidak Percaya Virus Corona

Hal itu disampaikan Presiden Jokowi pada rapat kabinet terbatas (Ratas) pada Jumat, 29 Januari 2021, tapi pihak Sekretariat Presiden baru mengunggah video rapat pada hari Minggu, 31 Januari 2021.

jumlah kasus harian ppkmGrafik kasus harian baru pada masa PPMK (Foto: Tagar/Syaiful W Harahap)

Pada epidemi atau pandemi jika belum ada vaksin, maka untuk memutus mata rantai penyebaran penyakit, virus, dan lain-lain ada di masyarakat. Seperti penyebaran atau penularan virus corona terjadi kontak antar warga yang melalui droplet warga yang terpapar virus corona ketika berbicara, bersin dan batuk.

Baca juga: Hanya Masyarakat Bisa Putus Rantai Penularan Corona

Adalah hal yang mustahil negara, dalam hal ini pemerintah, mengawasi kontak jarak dekat (close contact) antar warga secara orang per orang. Lagi pula banyak orang yang tertular virus corona tanpa gejala sehingga mereka seperti pembawa atau penyebar (carrier) virus corona.

Karena tidak ada gejala yang terkait dengan infeksi virus corona warga yang jadi carrier itu tidak menyadari kalau dia tertular virus corona.

ilu opini ppkmIlustrasi (Foto: unicef.org - UNICEF/2018/Noorani)

Kondisinya kian runyam karena banyak warga yang tidak percaya bahwa virus corona itu ada sehingga mereka tidak menerapkan protokol kesehatan yang dikenal sebagai 3M, yaitu selalu memakai masker, menjaga jarak fisik dan sering mencuci tangan dengan sabun di air yang mengalir. Protokol kesehatan ini merupakan ‘vaksin sosial’ yang juga efektif mencegah penyebaran virus corona.

Informasi yang menyesatkan tentang virus corona terjadi karena dibalut dengan norma dan agama disebarkan melalui media sosial sebagai hoaks (informasi yang tidak benar). Beberapa pernyataan pejabat dan pemuka agama juga mengait-ngaitkan pandemi virus corona dengan agama sehingga informasi bersifat mitos (anggapan yang salah).

2. Di Luar Jangkauan Pemerintah

Ketika belum ada kasus virus corona terdeteksi di Indonesia, kasus pertama dipublikasikan pemerintah tanggal 2 Maret 2020 tiga bulan setelah pandemi melanda dunia, kondisi itu dikait-kaitkan dengan agama bahkan dengan mengutip ayat-ayat. Padahal, secara medis tidak ada kaitan langsung antara norma, moral dan agama dengan penularan virus corona.

Kalau saja pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kesehatan, lebih arif dan bijaksana ketika pandemi merebak di negara-negara tetangga di ASEAN seharusnya ada antisipasi, seperti melakukan karantina semua pendatang melalui bandara dan pelabuhan. 

Di awal Februari 2020, ahli dari Harvard, T.H. Chan, School of Public Health di Amerika Serikat, memprediksi seharusnya di Indonesia sudah terdeteksi kasus virus corona karena negara-negara tetangga di ASEAN sudah mendeteksi virus corona. Celakanya, Menteri Kesehatan, waktu itu, Terawan Agus Putranto, justru menantang pakar Universitas Harvard untuk membuktikan prediksi mereka tentang virus corona yang semestinya sudah masuk ke Indonesia.

Baca juga: Pemerintah Sangat Terlambat Menangani Wabah Covid-19

Pakar Harvard itu bertolak dari fakta bahwa penerbangan internasional dari dan ke Indonesia baru dihentikan 24 April 2020. Itu artinya terjadi kontak jarak dekat antar manusia dari berbagai negara dengan warga Indonesia. Soalnya, rentang waktu Januari-April 2020 kasus virus corona sudah terdeteksi di banyak negara di dunia, termasuk negara-negara yang mempunyai jalur penerbangan ke Indonesia.

ilus2 opini ppkmIlustrasi: Seorang gadis berjalan melewati papan bertuliskan "Bersama Melawan Covid" (Foto: telegraph.co.uk - ADEK BERRY/AFP)

Hoaks tentang virus corona, terutama yang disebar melalui media sosial, membuat sebagian orang percaya bahwa penularan virus corona terkait dengan (perilaku) beragama. Padahal, penularan virus corona sama sekali tidak terkait dengan norma, moral dan agama karena virus menyebar melalui udara bukan kontak fisik atau badan, tapi kontak jarak dekat. Ini hanya bisa dihindari oleh warga di berbagai tempat, seperti lingkungan, rumah, kantor, pabrik, tempat kerja, restoran, angkutan umum, dan lain-lain.

Jika efektivitas PPMK yang dimaksud oleh Presiden Jokowi adalah tetap terjadi penyebaran virus corona di masa PPMK, maka hal itu di luar jangkauan pemerintah karena kontak jarak dekat yang berisiko terjadi penularan virus corona bisa terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu: di rumah, di angkutan umum, di kantor, di tempat ibadah, di pabrik dan lain-lain.

Pemerintah tidak bisa melakukan intervensi untuk menerapkan protokol kesehatan kepada orang per orang di masyarakat di seluruh Indonesia.

3. Diseminasi dengan Teori Jarum Hipodermik

Beberapa negara bisa mengendalikan pandemi karena menerapkan anjuran Organisasi Kesehatan Dunia PBB (WHO) yaitu test-tracing-isolation/treatment dengan skala nasional. Tracing dilakukan sampai ke lapis terakhir, sedangkan di Indonesia test dan tracing terbatas secara parsial daerah per daerah. Bahkan, ada daerah yang sebut daerahnya zona hijau padahal di daerah itu tidak pernah dilakukan test dan tracing.

Pandemi virus corona merebak di Indonesia selain karena ‘kelalaian’ untuk mengantisipasi penyebaran virus corona, juga didorong oleh penerapan test-tracing-isolation/treatment yang parsial serta kepatuhan terhadap protokol kesehatan yang sangat rendah.

Untuk itulah penyebarluasan atau diseminasi informasi tentang virus corona perlu dilakukan dengan cara-cara yang komprehensif. Informasi yang disebarkan pemerintah dan institusi serta influencer bisa kontra produktif jika tidak mengacu ke KIE (Komunikasi, Informasi dan Edukasi) yang berpijak pada fakta medis.

Dalam jurnalistik dikenal ada teori jarum hipodermik. Ini dipakai untuk menyebarluaskan informasi dengan kemasan KIE yang tidak boleh menggurui dan tidak pula dibalut serta dibumbui dengan norma, moral dan agama. []

* Syaiful W. Harahap adalah Redaktur di Tagar.id

Berita terkait
Jabar Berlakukan PSBB Proporsional hingga 8 Februari 2021
Saat ini, PSBB secara proporsional diberlakukan di 27 kabupaten/kota. Sebelumnya, hanya 20 daerah melaksanakan PSBB secara Proporsional.
Survei: 70 Persen Masyarakat Yakin Jokowi Bisa Tangani Corona
Sebanyak 70,6 persen masyarakat yakin Jokowi dapat menangani kasus virus corona di Indonesia.
Jokowi Kecewa, PPKM Tidak Efektif Covid Tetap Naik
Penerapan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) sejak 11 Januari-25 Januari 2021, hasil evaluasi Presiden Jokowi tidak berjalan dengan efektif.