Banda Aceh - Cuaca sudah mulai mendung. Edi Azhari, 39 tahun, masih sibuk merapikan terpal jemuran biji kopi liberika di teras rumahnya. Biji kopi yang sudah dibersihkan kulitnya sejak dua hari lalu ini sudah terlihat agak kering.
Jika disinari matahari yang cukup, butuh sekitar tiga hari lagi agar menghasilkan biji kopi kering. Biji kopi yang dijemurnya pun berasal dari buah kopi yang sudah ranum.
"Jika cuacanya stabil, sekitar lima hari untuk proses penjemuran," kata Edy Azhari dalam keterangan yang diterima Tagar, Rabu, 19 Agustus 2020.
Tampak biji kopi Liberika khas Tangse Aceh. (Foto: Tagar/Dok Taufik Ar Rifai)
Sapaan akrab Edi Tangse kini sedang memberdayakan kembali kopi asal Liberia, Afrika tersebut. Pasalnya, tanaman perkebunan itu kini mulai hilang di pegunungan Tangse. Meski tak setenar kopi arabika dan robusta, liberika itu mulai digrandungi petani penggarap. Di pegunungan Tangse, kopi Liberika tumbuh subur dan lebat.
Warga yang ngopi kemari umumnya menyukai espresso madu, baik espresso arabika atau liberika madu.
Sepanjang perbukitan, pohon-pohon Liberika ini tinggi menjulang. Mulanya, kopi ini dibawa masa kolonialis Belanda. Karakter liberika ini terlihat dari ukuran pohonnya lebih tinggi dari arabika. Bahkan, bisa tumbuh hingga lima atau sepuluh meter. Produktivitasnya pun bisa dibilang cukup tinggi. Dalam satu hektare, bisa menghasilkan tiga ton lebih.
Edi Azhari tampak sedang merapikan jemuran biji kopi liberika di yang dijemur di teras rumahnya, Tangse, Aceh. (Foto: Tagar/Dok Taufik Ar Rifai)
Selain beraroma buah nangka, si biji hitam ini juga memiliki kadar kafein rendah, sehingga nyaman di perut. Rasanya juga tidak terlalu pekat dengan kadar keasamannya seimbang.
“Ada empat varian kopi, yakni arabica, robusta, liberika dan ekselsa. Alhamdulillah, di Tangse ada 3 jenis kopi yang tumbuh, yaitu arabica, robusta dan liberika,” kata Edi Tangse.
Edi mengaku, profesi pemberdayaan bibit liberika itu kembali ditekuninya sejak tahun 2006 silam. Salah satu alasannya, karena prihatin dengan banyaknya tanaman kopi liberika yang ditebang pemiliknya sejak tahun 1997. Selain sulit memanen karena pohonnya sudah besar dan tinggi, petani mulai menggantikannya dengan tanaman kakao. Ini disebabkan harga kakao di pasaran saat itu kian menggiurkan.
Biji kopi Liberika khas Tangse, Aceh usai dijemur. (Foto: Tagar/Dok Taufik Ar Rifai)
Baca juga:
“Padahal, daerah ketinggian 900 hingga 1.000 mdpl seperti Tangse tidak cocok dengan tanaman kakao. Buktinya, usai buahnya dipanen dua atau kali, pohon dan buahnya rentan diserang hama. Sejak dulu, Tangse sudah dikenal sebagai sentral penghasil kopi selain Daratan Tinggi Gayo,” tutur Edi.

Atas dasar itulah, pria yang pernah menempuh pendidikan di salah satu perguruan tinggi di Jogjakarta ini konsen mempromosikan si biji hitam khas Tangse tersebut. Melihat produktivitas dan harga liberika yang baik, tambah Edi, para petani kembali bergairah.
Di kafe H2E yang letaknya persis di pinggir jalan Tangse-Meulaboh ini, Edi mulai mempromosikan kopi Tangse ke seantero nusantara. “Warga yang ngopi kemari umumnya menyukai espresso madu, baik espresso arabika atau liberika madu. Madunya pun berasal dari hutan Tangse yang kita beli dari warga,” katanya. []