Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berencana melakukan revisi aturan ambang batas permodalan inti perbankan konvensional yang beroperasi di Tanah Air menjadi Rp 3 triliun. Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso mengungkapkan pembaharuan regulasi dimaksudkan untuk mewujudkan ekosistem perbankan yang memiliki daya saing unggul.
Selain itu, peningkatan ambang batas modal inti juga diharapkan menjadi katalisator penguatan daya tahan perbankan itu sendiri.
"Ini ekosistemnya sudah berubah, maka kami di otoritas merasa perlu untuk melakukan beberapa penyesuaian," ujarnya di Jakarta, Kamis, 16 Januari 2020.
Wimboh mengatakan penyesuaian sejumlah aturan tidak hanya terjadi pada industri perbankan tapi dibeberapa sektor lain, seperti asuransi, dan pasar modal.

Dalam kesempatan yang sama, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Heru Kristiyana mengatakan beberapa konsekuensi telah menanti pelaku industri apabila tidak bisa memenuhi revisi aturan ini. Salah satunya perubahan kategori dari bisnis bank.
"Kalau mereka tidak bisa mencukupi kewajiban permodalan inti ya turun kelas bisa menjadi BPR [Bank Perkreditan Rakyat]," tuturnya.
Namun, atas pemberlakuan tersebut otoritas memfasilitasi pelaku usaha melalui akselerasi konsolidasi dengan kebijakan insentif dan disentif, termasuk di antaranya adalah exit policy.
"Kita berikan pilihan nanti apa mereka mau set likuiditas, konsolidasi [marger], atau turun jadi BPR," ucapnya.
Adapun, kebijakan insentif bagi bank yang terpapar aturan ini yakni pemberian keringanan dalam memenuhi kewajiban keuangan kepada negara atas proses konsolidasi tersebut.
"Kalau dia bisa marger beberapa bank jadi satu pasti ada insentif dari kitalah, ini yang lagi kita pikirkan," kata dia.
Sebelumnya kasta terendah modal inti bank umum berada dibawah Rp 1 triliun, maka beleid terbaru nanti mengharuskan pelaku industri menyiapkan dana paling tidak Rp 3 triliun.
Protokol tersebut tertuang pada salah satu butir kebijakan strategis OJK 2020 dalam rangka reformasi sistem jasa keuangan. Rencananya, revisi beleid ke luar pada akhir Januari 2020 atau paling lambat satu bulan kemudian.
Sebagai informasi, bank sentral mengelompokan jenis usaha perbankan melalui legalitas PBI Nomor 14/26/PBI/2012 tentang Kegiatan Usaha dan Jaringan Kantor Berdasarkan Modal Inti Bank.
Regulasi tersebut kemudian dikuatkan oleh Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 6/POJK.03/2016 tentang Kegiatan Usaha dan Jaringan Kantor Berdasarkan Modal Inti Bank.
Dalam regulasi tersebut, pelaku industri sektor jasa keuangan ini kemudian dikelompokan dalam kategori Bank Umum Kegiatan Usaha (BUKU). Adapun, bank yang masuk dalam kelas BUKU I memiliki modal inti dibawah Rp1 triliun.
Kemudian untuk untuk BUKU II modal inti yang harus dimiliki antara Rp1 triliun hingga Rp 5 triliun, BUKU III Rp5 triliun sampai dengan Rp30 triliun, dan BUKU IV lebih dari Rp30 triliun.
Berdasarkan Statistik Perbankan Indonesia (SPI) edisi Oktober 2019 yang dilansir oleh OJK, bank BUKU I diketahui berjumlah 13 entitas. Dari angka tersebut, tiga bank memiliki penguasaan aset dibawah Rp 1 triliun, sembilan bank memiliki aset antara Rp1 triliun hingga Rp10 triliun, dan satu bank lainnya tercatat lebih dari 10 triliun. []