Jakarta - Hajat luhur pemerintah untuk melakukan penyederhanaan terhadap sejumlah undang-undang lewat mekanisme omnibus law memberikan catatan tersendiri. Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otomoni Daerah (KPPOD) Robert Na Endi Jaweng menilai negara kurang dapat mengakomodir peran pemerintah daerah atau Pemda dalam merumuskan draft omnibus law tersebut. Padahal, esensi dari penetapan aturan tersebut terletak di tangan Pemda setempat. “Partisipasi pemerintah daerah itu penting karena actual practice-nya, terutama perizinan, ada pada taraf lokal,” ujarnya melalui sambungan telepon kepada Tagar, di Jakarta, Senin 16 Desember 2019.
Untuk itu, dia berharap pendekatan yang ada di pusat dapat selaras dengan kebijakan yang ada di daerah. Robert bahkan memberikan masukan kepada regulator sentral untuk melakukan proses bottom up, dimana simplifikasi aturan harus bersumber dari aspirasi birokrat di bawahnya. “Jadi gabungan,antara pusat dengan pendekatan legalistiknya dan daerah dengan pendekatan empirik keaktualannya,” tegas dia.

Robert mencontohkan, jangan sampai keogahan daerah untuk menjalankan PP Nomor 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik yang menelurkan produk Online Single Submission (OSS) terulang kembali. Dalam catatannya, sistem perizinan investasi terpadu tersebut hanya diterapkan secara penuh oleh pemerintah daerah Sidoarjo. Padahal, pemerintah membidik 542 kabupaten/kota se-Indonesia untuk bisa mengaplikasikan program ini.
“Yang lain misalnya, Jakarta yang sudah punya sistem izin investasi terpadu melalui JAKEVO, itu sangat bagus sekali dan lebih bagus mungkin dari sistem OSS pemerintah. Apa mungkin mereka akan down grade sementara investasi yang dikeluarkan mencapai miliaran,” terang Robert.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyampaikan pendapatnya saat Rapat Konsultasi di Pansus B, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin, 16 Desember 2019. (Foto: Antara/Reno Esnir)
Seperti diketahui, pemerintah melalui Menteri Keuangan Sri Mulyani telah menyerahkan draft RUU omnibus law kepada DPR untuk bersama-sama dibahas dan diputuskan pada awal pekan ini (16 Desember). Tercatat, ada 28 pasal RUU omnibus law yang akan digodok dengan mengamandemen tujuh undang-undang, diantaranya adalah UU Pajak Penghasilan, UU Kepabeanan, UU Pemerintah Daerah, dan UU Pajak Pertambahan Nilai. Cepatnya proses penyusunan draft omnibus law dinilai karena minimnya keikutsertaan pemerintah daerah dalam menghasilkan rancangan cetak biru tersebut.
Sebelumnya Ketua DPR Puan Maharani mengaku tidak dapat memastikan RUU tentang Omnibus Law usulan pemerintah rampung sesuai dengan arahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam waktu tiga bulan. Hal tersebut menurut Puan sulit untuk direalisasikan sesuai target sementara hingga saat ini pihaknya belum mendapat Surat Presiden (Surpres). Pasalnya, surpres ini yang nantinya menjadi dasar DPR dalam melaksanakan pembahasan omnibus law.
"Iya belum bisa dipastikan, karena saya terima surpres-nya saja belum," kata Puan di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin, 12 Desember 2019. Bagi Puan, tanpa surpres DPR belum bisa melaksanakan permintaan pemerintah untuk melaksanakan pembahasan RUU. Maka dari itu, dia meminta presiden segera mengirimkan supres ke DPR.
Tak hanya itu, Puan juga memperkirakan supres mungkin baru dikirim pada Januari 2020. Hal ini yang sebenarnya menghambat pembahasan.[]
Baca Juga:
- Omnibus Law Perpajakan Beres, Sri Mulyani Temui Puan
- Omnibus Law Mudahkan Jokowi Awasi Hambatan Investasi