Untuk Indonesia

Opini: Bencana dan Habituasi Pangan

Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA) melaporkan bahwa Indonesia menjadi Negara dengan konsumsi beras global terbesar ke empat di dunia.
Ilustrasi - Bencana dan Habituasi Pangan. (Foto: tagar/Dok Kemensos)

Oleh: Agung SS Raharjo, MPA



Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA) melaporkan bahwa Indonesia menjadi Negara dengan konsumsi beras global terbesar ke empat di dunia yang jumlahnya mencapai 35,3 juta matrik ton sepanjang tahun 2022. 

Peringkat pertama hingga ketiga ditempati oleh Tiongkok, India dan Bangladesh, masing-masing sebesar 154,94, 112,5 dan 37,6 juta metrik ton.

Dengan kebutuhan pangan yang begitu besar, tentunya pemerintah Indonesia tidak bisa bersantai dalam mencukupi ketersediannya. Kekhawatiran pemerintah semakin menguat akhir-akhir seiring dengan kehadiran fenomena El-Nino yang berdampak pada pengurangan produksi padi dalam negeri. 

Dengan perkiraan potensi pengurangan produksi 3,6-6,0 persen, berdasar perhitungan FAO, maka dengan melihat besaran produksi beras tahun 2022 dampak El-Nino tahun ini berpotensi menurunkan produksi beras sebesar 1,13 juta ton-1,89 juta ton (Jamal, 2023).

Apa boleh dikata, potensi penurunan produksi beras yang cukup besar tersebut harus segera disikapi dengan cepat. Kebijakan impor pangan menjadi respon preventif yang tidak bisa lagi dihindari dan sangat dibutuhkan. 

Jumlah produksi yang lebih rendah dari konsumsi, perkiraan 3 bulan terakhir 2023, yang telah berdampak pada jumlah pasokan dan harga pangan semakin menguatkan pemerintah untuk segera mengamankan ketersediaan cadangan beras pemerintah (CBP) hingga akhir tahun 2023. Pengadaan volume impor beras sebesar 2 juta ton telah dieksekusi.

Habituasi Pangan Beras

Politik perberasan dinegeri ini memiliki sejarah yang cukup panjang dan dinamis. Mengawali kebijakan pembangunannya kala itu, Soeharto berfikir bahwa stabilitas ekonomi dan politik harus dimulai dari urusan perut. 

Oleh karena itu penyediaan pangan (beras) yang murah dan mudah diakses menjadi pondasi penting penyelenggaraan agenda pembangunan Soeharto. Kelaparan dan kemiskinan menjadi “musuh” utama yang harus dituntaskan selama proses pembangunan.

Sejak era itulah, beras-isasi mewarnai perjalanan pembangunan berjangka yang terkenal dengan sebutan Repelita atau Rencana Pembangunan Lima Tahun. 

Pembangunan pertanian menjadi pijakan ekonomi menuju era tinggal landas yang berkonsep seperti layaknya negara maju di belahan utara khatulistiwa. Beragam alih teknologi mulai hadir mewarnai dunia pertanian negeri ini. 

Revolusi Hijau bergulir memasuki setiap pelosok desa, dengan membawa harapan-harapan pertumbuhan ekonomi yang diimpikan menghadirkan kesejahteraan bersama.

Beras-isasi ini menjadi sebuah mega proyek yang menyita banyak energi, pikiran dan modal. Habituasi pangan baru telah lahir di negeri ini sebagai pilihan sumber karbohidrat pokok. 

Beras menjadi bagian tolok ukuran kesejahteraan dan keberhasilan pembangunan. Tahun 1984, Soeharto telah membawa Indonesia pada titk kesuksesan sebagai negara yang berswasembada beras. 

Tidak ada hal yang lebih dibanggakan oleh pemerintah saat itu selain capaian-capaian pemenuhan pangan (beras) penduduk negeri yang sedang berikhtiar membangun negara dengan dukungan sumber daya manusia yang berkualitas dan sehat.

Dilema Ketergantungan

Beras disadari atau tidak telah memicu sifat ketergantungan tersendiri. Kondisi ini tentu sangat tidak diharapkan disaat dunia dihadapkan pada ancaman krisis pangan. 

Menempatkan beras sebagai satu-satunya sumber karbohidrat utama sudah selayaknya untuk dievaluasi. Preferensi sumber karbohidrat alternatif harus ditumbuhkan dengan menggiatkan diversifikasi pangan lokal. 

Jika tidak ada perubahan, hal Ini akan menjadi sebuah dilemma. Kenyang tidak harus dengan nasi, pun sumber karbohidrat tidak semata beras.

Ketergantungan pada satu komoditas akan menyulitkan diri sendiri untuk memiliki daya adaptasi dan resiliensi. Disaat guncangan pangan hadir pada level yang mengkhawatirkan, misal dampak El-Nino dan perang Rusia-Ukraina, tentu bangsa ini akan mudah panik dan memicu instabilitas sosial politik. 

Mindset pemenuhan sumber pangan karbohidrat harus segera dirubah dari satu komoditas tertentu (beras) menjadi lebih bervariatif. Pilihannya pun cukup beragam dan masih terjangkau secara harga, komoditas seperti jagung, kentang atau umbi-umbian masih mudah kita dapatkan. 

Setidaknya berfikir untuk menghadirkan sebuah variasi preferensi pangan harus dilakukan. Variasi pangan bukan kemudian bermaksud menggantikan karena tentu sangatlah berat dan sulit.

Diversifikasi Pangan Lokal

Persoalan keanekaragaman konsumsi pangan disebagian penduduk negeri ini memang perlu mendapat perhatian. Gaya berkonsumsi pangan (karbohidrat) yang cenderung monoton menjadikan sebagian dari kita bertindak abai terhadap potensi sumber kabohidrat non beras. 

Harus diakui beras telah menjadi sebuah habituasi pangan yang sulit terdistorsi oleh sumber pangan alternatif lainnya. Padahal menu berbahan dasar jagung, kentang, ketela dan sagu tidak kalah nikmatnya untuk dikonsumsi.Pengembangan pangan lokal harus mendapat tempat tersendiri dinegeri ini. Baik dari sisi produksi maupun hilirisasi.

Langkah pemerintah untuk terus meliterasi masyarakat terhadap keberagaman sumber pangan (karbohidrat) non beras adalah langkah yang perlu diapresiasi. 

Dulu ada program dengan nama “One Day No Rice”, kini intervensi beragam kebijakan berupa diversifikasi pangan non beras kembali membawa angin segar bagi penguatan ketahanan pangan dilevel masyarakat. Gerakan ini harus menjadi sebuah budaya baru dalam tata nilai konsumsi pangan penduduk negeri ini.

Bourdieu (1990) melihat habituasi sebagai satu realitas yang merangkum didalamnya sejumlah nilai yang dihayati dalam pola perilaku manusia. 

Jika masyarakat membiasakan untuk lebih beraragam dalam mengkonsumsi pangan maka akan menjadi lebih berdaya tahan saat muncul guncangan. Pada tahap inilah diharapkan habituasi baru konsumsi sumber karbohidrat non beras akan hadir terbarukan dengan sifat lokalitasnya.

Beras dalam konstruk habituasi pangan adalah tata nilai dan budaya, keberadaannya tidak semata butir-butir fisik yang enak dinikmati sehari hari. 

Namun tersirat juga ungkapan kepantasan, kepuasan dan kesenangan yang melingkupinya. Oleh karena itu, gerakan diversifikasi pangan melalui pengembangan pangan lokal memberikan tawaran nilai baru yang mampu memberikan pengetahuan yang berarti terutama dalam konteks sustainability dan resilience. 

Literasi yang intens harus terus dilakukan secara kontinu dan menarik. Tanpa ada perubahan mindset tentang nilai suatu komoditas pangan baru maka akan sulit menggeser dominasi beras atau nasi sebagai sumber karbohidrat di meja-meja keluarga, pertemuan, dan lain sebagainya. 

Bahkan hanya sekedar pengganti satu waktu rutinitas konsumsi tiga kali sehari. Gerakan diversifakasi pangan lokal yang diinisiasi oleh pemerintah adalah gerakan internalisasi nilai dan perilaku, maka dibutuhkan nafas panjang dan daya tahan. Jika tidak dimulai dari sekarang kapan lagi akan menuai hasilnya.

*Analis Kebijakan Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Berita terkait
Mentan Amran Sulaiman Diminta Harus Jaga Ketahanan Pangan di Tengah Ancaman Krisis Global
Ketua DPR RI Puan Maharani memberi selamat kepada Andi Amran Sulaiman yang kembali dilantik sebagai Menteri Pertanian (Mentan).
Peringati Hari Pangan Sedunia, Fadli Zon Ingatkan Pentingnya Kelola Air Secara Bijaksana
Anggota DPR RI Fadli Zon menyoroti peran krusial air bagi kehidupan serta keberlangsungan produksi pangan.
Mekanisasi Pertanian untuk Mewujudkan Ketahanan Pangan Nasional
Lahan persawahan yang luas di Indonesia jika dikelola dengan mekanisasi akan mencukupi kebutuhan beras nasional, bahkan jadi komoditas ekspor
0
Opini: Bencana dan Habituasi Pangan
Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA) melaporkan bahwa Indonesia menjadi Negara dengan konsumsi beras global terbesar ke empat di dunia.