Oleh: Darwin Steven Siagian, Advokat, Program Doktoral Ilmu Hukum Universitas Parahyangan
A. Pendahuluan
Sesuai ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Indonesia adalah negara hukum. Artinya negara Indonesia berdasar atas hukum (rechtstaat) dan bukan berdasar atas kekuasaan belaka (machtstaat). Konsekuensi logis yang timbul, hukum harus menjadi ”center of action” , semua aspek kehidupan berbangsa , bernegara dan bermasyarakat, harus mengacu kepada hukum yang berlaku. Hal ini mengandung arti bahwa semua tindakan pemerintah (pemegang kekuasaan) dan subjek hukum didasarkan pada hukum, dan pemerintah mempunyai kewajiban untuk merealisasikan fungsi hukum di negara hukum.
Kompleksitas masalah penegakan hukum apabila dipandang dari berbagai sudut kajian menurut berbagai pihak senantiasa saling koreksi, dalam penegakan hukum dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor. Dewasa ini persoalan penegakan hukum semakin marak dibicarakan baik melalui media cetak maupun media elektronik. Dimana masyarakat semakin kritis dan korektif terhadap masalah penegakan hukum di Indonesia. Hal ini menunjukan adanya tingkat pendidikan yang semakin meningkat, sehingga masalah penegakan hukum mendapat respon dari masyarakat. Hukum yang bersifat khusus diatur diluar hukum pidana umumnya, penyimpangan peraturan hukum pidana dalam kitab undang-undang hukum pidana menjadi tolak ukur yang membedakan hukum pidana umum atau hukum pidana khusus.
Tugas polisi dalam penyidikan dalam perkara pidana berhubungan dengan masalah pembatasan kemerdekaan seseorang. Karena dalam penyidikan atau pengusutan perkara bila perlu dapat dilakukan penahanan jangka pendek, penahanan sementara atau menunggu pemeriksaan didepan sidang pengadilan. Peran polisi yang berhubungan dengan masalah pembatasan kemerdekaan dalam proses pidana adalah tahap pemeriksaan pendahuluan. Penjelasan mengenai syarat-syarat diperbolehkannya pembatasan terhadap kebebasan seseorang terdapat dalam Pasal 9 KUHAPidana. Hal ini diperlukan untuk mendapatkan pengertian : “apakah si tersangka telah diamati benar melakukan suatu delik dan apakah penahanan menjelang sidang peradilan diperbolehkan bagi delik tersebut” (Soedjono Dirdjosisworo). Kebijakan ini adalah untuk membatasi kekuasaan penyidik kepolisian terhadap tersangka pada awal pemeriksaan perkara. Faktor yang mendorong sesorang melakukan perbuatan tindak pidana ada dua yaitu :
1) Faktor internal
Kepribadian meliputi sikap, jenis kelamin, umur, keinginan kenikmatan, perasaan keingintahuan dan untuk melarikan diri dari masalah yang sedang dihadapi.
2) Faktor eksternal
Lingkungan sekitar seperti tempat kerja, keluarga yang berantakan, tingkat ekonomi dan sosial serta tekanan dalam grup.
B. Permasalahan
Latar belakang diatas, dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana mekanisme penegak hukum peran kepolisian dalam proses peradilan ?
2. Bagaimana prospek atas peran kepolisian dalam mencapainya suatu keadilan ?
C. Pembahasan
Berkaitan dengan proses penegakan hukum tersebut, menjelaskan bahwa penegakan hukum adalah suatu proses mewujudkan keinginan-keinginan hukum yaitu pikiran-pikiran badan pembuat undang-undang yang dirumuskan dal;am peraturan-peraturan hukum menjadi kenyataan (Satjipto Rahardjo). Bertitik tolak pada uraian tersebut di atas perlu kiranya kemandirian lembaga kepolisian dalam fungsi penyidikan dalam rangka penegakan hukum dan keadilan pada peradilan pidana pada era reformasi sangat menarik untuk dikaji, agar dapat mengetahui gambaran tentang kemandirian bekerjanya lembaga kepolisian dalam menyelenggarakan funsi penyidikan dalam rangka penegakan hukum dan keadilan pada peradilan pidana.
Proses Penyelidikan dan Penyidikan terhadap semua perkara tindak pidana yang dilakukan oleh Polri merupakan pengejawantahan pelaksanaan tugas pokok polri dalam bidang penegakan hukum. Tugas dan kewenangan Polri sebagai Penyelidik dan Penyidik terhadap semua tindak pidana tersebut sudah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dalam sistem peradilan pidana terpadu Indonesia juga disebutkan bahwa lembaga kepolisian merupakan lembaga penyidik yang melakukan penyidikan terhadap semua tindak pidana.
Sistem Peradilan Pidana pertama-tama ditandai oleh adanya penerapan pendekatan administrasi di sepanjang proses peradilan pidana. Sistem Peradilan Pidana selanjutnya dilihat sebagai suatu hasil interaksi antara peraturan perundang-undangan, praktek administrasi dan sikap atau tingkah laku sosial. Pengertian sistem ini mengandung implikasi suatu proses interaksi, yang dipersiapkan secara rasional dan dengan cara efisien, untuk memberikan hasil tertentu dengan segala keterbatasannya (Anton F. Susanto).Sistem Peradilan Pidana pada hakekatnya identik dengan sistem penegakan hukum pidana dan juga diidentikkan dengan sistem kekuasaan kehakiman dibidang hukum pidana yang diwujudkan dalam empat sub sistem, (Barda Nawawi Arief) yaitu :
1. Kekuasaan penyidikan oleh lembaga penyidik;
2. Kekuasaan penuntutan oleh lembaga penuntut;
3. Kekuasaan mengadili/menjatuhkan putusan oleh badan peradilan, dan;
4. Kekuasaan pelaksanaan hukum pidana oleh aparat pelaksana eksekusi.
Keempat tahap/sub sistem itu merupakan satu kesatuan sistem penegak hukum pidana yang integral, dan sering disebut dengan istilah Sistem Peradilan Pidana Terpadu (Integrated criminal justice system).
Selanjutnya dalam fungsi pemerintahan, Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat Negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri. Persoalan penegakan hukum banyak dibicarakan di tengah masyarakat. Sampai saat ini masih sangat dirasakan oleh masyarakat yang membutuhkan keadilan dalam pelayanan penegakan hukum, dimana pelayanan penegakan hukum yang hulunya berada di tangan kepolisian sebagai amanat undang-undang. pengakan hukum. Sebagai alat perlengkapan negara, polisi bertanggung jawab melaksanakan sebagian dari tugas pemerintah sehari-hari yaitu menimbulkan rasa aman pada warga masyarakat.
Pada hakekatnya polisi dibutuhkan oleh setiap orang, dan pada tempatnya kalau semua orang sangat mengidamkan kehadiran citra polisi yang ideal dalam dirinya, secara konseptual polisi yang diharapkan adalah sosok polisi yang ideal yang diidamkan oleh setiap pihak yang terkait. Dari sudut pandang masyarakat, polisi ideal adalah polisi yang memiliki penampilan sedemikian rupa sebagai sosok sumber motivasi masyarakat untuk berlaku tertib dan mematuhi hukum serta bersama- sama menciptakan rasa aman. Sedangkan prinsip peradilan yang manusiawi menggambarkan bahwa untuk menegakkan hukum yang tegas bukan berarti mengesampingkan harkat dan martabat kemanusiaan, namun bagaimana seharusnya hukum itu dijalankan dan ditegakkan untuk melindungi masyarakat dan menciptakan suatu ketertiban tanpa melangkahi prinsip-prinsip humanis. Pada intinya, instrumen-instrumen hukum tersebut menegaskan bahwa penegakan hukum berdasarkan prinsip peradilan yang berkepastian, adil dan manusiawi pada dasarnya merupakan usaha perlindungan paling dasar untuk menjamin bahwa para individu yang tersandung kasus hukum tidak diproses secara sewenang-wenang.
Sebagaimana telah diuraiakan bahwa penegakan hukum merupakan suatu proses, yakni proses untuk mewujudkan hukum yang masih abstrak menjadi konkrit. Artinya peraturan perundang-undangan tidak banyak arti apabila tidak diaplikasikan secara konkrit. Penegakan hukum dipengaruhi oleh lima faktor (Menurut Soerjono Soekanto, ) yakni:
1. Hukumnya atau peraturan itu sendiri,
2. Penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan Hukum,
3. Sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum,
4. Masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku, atau diterapkan,
5. Kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup”.
Dari kelima faktor tersebut satu sama lain saling terkait dan mempengaruhi penyelenggaraan proses penegakan hukum dalam peradilan di Indonesia. Berkaitan dengan penegakan hukum dalam sistem peradilan pidana tersebut Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yang terdiri atas 22 Bab yang meliputi 268 pasal, sebagian besar mengatur tentang kewenangan dari lembaga penegak hukum dalam peradilan pidana.
D. Simpulan
- Penegakan hukum dalam peradilan di Indonesia masih banyak ditemui adanya sikap sewenang-wenang aparat penegak hukum, yang menghilangkan penghargaan terhadap harkat dan kemerdekaan seseorang. Pelaksanaan proses peradilan yang tidak manusiawi dengan kekerasan, serta sidang peradilan yang bebas dan hakim yang tidak memihak juga menjadi kendala besar dalam penegakan hukum yang menjadi dasar ketidak-percayaan masyarakat terhadap hukum itu sendiri. Hal ini tampak dari bagaimana parameter kepastian, keadilan dan prinsip yang manusiawi itu belum terpenuhi dalam pelaksanaan penegakan hukum. Kegagalan penegakan hukum ini berawal dari ketidakpastian norma hukum itu sendiri, norma-norma hukum yang ada di Indonesia masih menimbulkan ketidak-jelasan serta membuka ruang interpretasi yang luas yang membuat tidak jelas dan tegasnya suatu hukum.
- Penegakan hukum adalah suatu usaha untuk mewujudkan tujuan hukum dalam menegakn keadilan hukum, kepastian hukum dan kemanfaat hukum guna mewujudkan prinsip peradilan yang berkepastian, adil dan manusiawi. Namun pada kenyataan kini dinamika sistem hukum tidak saling berkoheren untuk mewujudkan hal tersebut, khususnya dari struktur hukum itu sendiri. Struktur hukum dalam hal ini aparat penegak hukum sering sekali memarginalkan kepentingan-kepentingan dan hak-hak tersangka, terdakwa maupun terpidana dalam sistem peradilan pidana di Indonesia.
- Upaya Kepolisian dalam Penegakan hukum terhadap suatu proses tindak pidana belum maksimal, hal ini dipengaruhi oleh faktor pendidikan yang belum mempuni, sikap tercoreng dalam etika profesi penegak hukum, dan faktor aparat polisi sendiri yang secara kualitas dan kuantitas perlu ditingkatkan, faktor sarana dan prasarana yang sangat kurang serta budaya masyarakat. []