Soal Anies Baswedan membaca buku How democracies Die dengan mimik yang agak serius tentu secara implisit ada maksud politis tertentu. Di sisi lain Anis ingin menunjukkan sikap kritis terhadap kaum oportunis yang menunggangi demokrasi.
Bahwa sejatinya kondisi masyarakat kita menuju fragile societies, yang dapat menggerus kepercayaan masyarakat terhadap demokrasi, dan tidak menutup kemungkinan berujung pada fragile political situation. Apalagi di tengah hantaman krisis akibat pandemi Covid-19.
Anies ingin menunjukkan bahwa aktor-aktor yang mengisi ruang pranata-pranata demokrasi yang strategis adalah yang paling bisa membunuh demokrasi.
Anies Baswedan membaca buku How Democracies Die. (Foto: Instagram @tagarnews)
Sikap yang ditunjukkan Anies, disamping ingin mem-bluffing kawan-kawan rival politiknya dengan sikap narsisnya. Namun di sisi lain, ia juga harus sadar diri sebagai panutan dan pejabat publik yang seharusnya menggenjot secara positif semangat politik warganya. Bukan sebaliknya malah menebar kecurigaan politik dengan delusional politics-nya terkait terbunuhnya demokrasi.
Dan pastinya ia ingin menunjukkan kepada lawan politiknya, bahwa ada aktor-aktor politik demokratis yang justru akan mengubur demokrasi.
Demokrasi di Indonesia tidak muncul tiba-tiba begitu saja. Butuh proses perjuangan panjang. Bahkan banyak yang rela miskin demi demokrasi. Sebagai jalan hidup, the way of life, bangsa Indonesia, demokrasi adalah sebuah pilihan merdeka jalan hidup bangsa kita.
Seorang pejabat yang mungkin generasi aktivis dulu tidak mengenalnya, apalagi pikiran-pikirannya tentang gerakan merebut demokrasi, tiba-tiba muncul dengan sindiran tajam entah ditujukan terhadap siapa: How Democracies Die. Semua orang tahu Anies akademisi yang cerdas, seorang pejabat publik yang dihormati. Namun bagi kami, hal tersebut sangat sensitif karena demokrasi diraih, direbut dengan blood, sweat, and tears.
*Koordinator Indonesian Democratic (IDE) Center