Medan - Pemilihan kepala daerah (Pilkada) Kota Medan, Sumatera Utara, yang akan berlangsung 9 Desember 2020 mendatang, harusnya bisa memperkokoh persatuan rakyat yang terlihat masih terus terbelah.
Pengamat politik dan pemerintahan di Medan, Shohibul Anshor Siregar mengatakan, setiap elite politik dari partai apapun yang berbicara tentang agenda nasional Pilkada 2020 serentak, tak terkecuali Kota Medan, harusnya benar-benar berusaha menjadikan kesempatan itu sebagai upaya edukasi dan penyejukan batin bagi rakyat banyak.
"Selain upaya edukasi dan penyejukan, inti pembicaraan politik para elite itu pun, seyogianya memiliki nilai yang berhubungan dengan upaya memperkokoh persatuan, di tengah fakta keterbelahan rakyat yang kelihatannya masih terus berlanjut hingga saat ini," ungkapnya, menanggapi Plt Ketua DPD PDIP Sumut Djarot Saiful Hidayat yang saling 'berbalas pantun' dengan Plt Ketua DPD Partai Demokrat Sumut Herri Zulkarnain.
Dosen Sosiologi Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) ini menyebutkan, tak hanya dalam pilihan diksi, pilihan isu juga hendaknya benar-benar diperhitungkan agar dapat menyumbang kesejukan.
"Jangan sampai terjadi bahwa karena ambisi penguasaan politik daerah, elite politik kerap tak sadar menjadi lebih mengedepankan kepentingan partainya," ujarnya, Rabu, 29 Juli 2020 di Medan.
Menurutnya, kemenangan tetaplah selalu penting, sepenting kekuasaan yang menjadi tujuan akhir capaian partai politik. "Tetapi kemenangan yang memperkokoh persatuan, alangkah indahnya," sebutnya.

Terlebih di tengah dampak pandemi Covid-19 yang berkepanjangan, kata Shohibul, rakyat mengalami kemerosotan daya tahan. Dan secara psikologis, beberapa bulan terakhir rakyat semakin sensitif.
Etika politik juga mementingkan kemampuan memilah isu apa yang tepat menjadi pengisi wacana di ruang publik
"Dalam keadaan seperti itu, apalagi dalam suasana rivalitas pilkada, rakyat kemungkinan besar juga dapat mengalami penurunan daya kritis untuk membedakan mana fakta dan mana opini, mana black campaign dan mana negative campaign, mana hoaks dan mana yang bukan hoaks," katanya.
Yang diharapkan dari para elite politik dalam kaitan Pilkada 2020 serentak, menurutnya, adalah kemampuan memilah isu internal partai dan isu umum.
"Isu internal partai silakanlah diurus sendiri secara bijak. Jangan dipaksakan seolah mewarnai atmosfer politik nasional. Dan saya kira memang, etika politik juga mementingkan kemampuan memilah isu apa yang tepat menjadi pengisi wacana di ruang publik," terangnya.
Sebelumnya, Plt Ketua DPD PDIP Sumut Djarot Saiful Hidayat menyebut PDIP menegaskan bahwa berpartai, sama juga bernegara, dilandasi ketaatan pada konstitusi, hukum, dan etika politik.
"Kader partai harus berdisiplin dan berpolitik itu untuk pengabdian yang lebih besar, bukan untuk berburu kekuasaan politik. Karena itulah, langkah pragmatis yang dilakukan Akhyar Nasution dengan pindah ke Partai Demokrat justru ditempatkan sebagai bagian konsolidasi kader," kata Djarot.
Dia dalam keterangan pers pada Sabtu, 25 Juli 2020, menyebutkan dalam konsolidasi tersebut ada kader yang lolos karena memiliki kesabaran revolusioner, namun ada yang gagal karena ambisi kekuasaan.
"Yang bersangkutan masuk pada kategori ke dua. Partai akan memberikan sanksi disiplin, karena anggota partai tidak boleh memiliki keanggotaan ganda dengan partai lain," bebernya.
Pernyataan Djarot ini lantas dijawab dengan tidak kalah keras oleh Plt Ketua DPD Partai Demokrat Sumut Herri Zulkarnain. Dia menegaskan, yang haus kekuasaan sebenarnya adalah Djarot Saiful Hidayat, sebabnya setelah kalah di Jakarta, Djarot datang ke Sumut dan kalah juga.
"Kami cermati perjalanan Djarot dalam beberapa waktu belakangan. Djarot mencalon Wakil Gubernur di Jakarta dan kalah. Kemudian Djarot yang saat itu merupakan orang luar Sumut, datang ke Sumut mencalon sebagai gubernur, dan kalah lagi, selanjutnya mencalon anggota DPR RI dari Sumut. Nah, di sini bisa kami lihat bahwa Djarot lah yang haus kekuasaan," ujar Herri kepada Tagar, Senin, 27 Juli 2020. []