Manila - Ekspansi China ke Laut China Selatan telah menjadi masalah lama bagi komunitas nelayan di Filipina. Selain itu, krisis ekonomi yang dipicu pandemi Covid-19 juga semakin memperburuk keadaan para nelayan. Ana P. Santos (Manila) melaporkannya untuk voaindonesia.com.
Ketegangan yang terjadi di perairan yang disengketakan Laut China Selatan dan dampak pandemi virus corona semakin mempersulit kelangsungan hidup nelayan Filipina, hal ini disampaikan oleh aktivis di Filipina.
Anggota BIGKIS, sekelompok nelayan dari Provinsi Zambales dan Pangasinan, mengatakan kehadiran kapal China di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Filipina telah menghambat aktivitas penangkapan ikan mereka.
Seorang nelayan Filipina memandang kapal patroli milik pasukan penjaga pantai China di dekat Gosong Scarborough yang diperebutkan kedua negara di Laut China Selatan, April 2017 (Foto: dw.com/id)
Selain itu, pos pemeriksaan karantina Covid-19 turut mencegah pengangkutan hasil tangkapan mereka untuk dibawa ke pasar ikan yang lebih besar, sehingga memaksa mereka menjual hasil tangkapan dengan harga murah.
Vicente Pauan, 35 tahun, mengatakan kepada DW bahwa nelayan seperti dia telah terdampak oleh perambahan "agresif" China di Laut China Selatan sejak 2012, yaitu ketika Beijing mulai membangun struktur militer di pulau dan atol di wilayah tersebut.
"Kami bahkan tidak punya cukup ikan untuk memberi makan keluarga kami. Kami rugi dan terlilit hutang. Kami akan kelaparan," ujarnya.
Sementara itu, mata pencaharian alternatif seperti pekerjaan konstruksi tidak lagi tersedia akibat pemberlakuan lockdown yang berkepanjangan.
"Nelayan kami terpojok. Kami tidak hanya berbicara tentang mata pencaharian di sini tetapi juga hak untuk hidup," ujar Ria Teves kepada DW. Ria adalah presiden sebuah LSM akar rumput bernama Lembaga Pengembangan Masyarakat di Filipina.
1. Militerisasi 'Provokatif' China
Pada Maret 2020, ketegangan antara Filipina dan China mencapai puncaknya setelah ratusan kapal China terlihat melakukan patroli di Laut China Selatan. Menteri Luar Negeri dan Pertahanan Filipina serta Penasihat Hukum Presiden Rodrigo Duterte, Delfin Lorenzana mengecam kehadiran maritim Beijing dan menyebutnya sebagai "tindakan provokatif untuk memiliterisasi daerah tersebut."
Beijing mengklaim bahwa Laut China Selatan masuk dalam wilayahnya yang sudah berlangsung berabad-abad. (Foto: BBC News).
Namun, Kedutaan Besar China di Manila membantah kehadiran milisi di perairan Laut China Selatan.
2. Duterte 'Tidak Peduli' dengan Nelayan
Presiden Filipina, Rodrigo Duterte, yang juga mengincar investasi besar China, menahan diri untuk tidak langsung mengkritik Beijing. Dia mengatakan bahwa putusan pengadilan arbitrase tahun 2016 di Den Haag adalah "secarik kertas yang harus dibuang ke keranjang sampah."
Bahkan pada Juli 2020, Duterte mengatakan China "memiliki" Laut China Selatan. "China mengklaimnya. Kami mengklaimnya …. China memiliki senjata .... Kami tidak memilikinya. Sesederhana itu …. Apa yang dapat kami lakukan?" kata Duterte ketika menanggapi kritik bahwa pemerintahannya tidak bertindak lebih tegas dalam upaya mengklaim Laut China Selatan.
Pensiunan Hakim Agung Filipina, Antonio Carpio, secara terbuka mendesak presiden untuk mencabut pernyataannya. Dia juga memperingatkan bahwa pernyataan Duterte dapat berdampak besar bagi para nelayan Filipina.
"Anda mengizinkan armada penangkap ikan terbesar di dunia memasuki perairan kita sambil mengecilkan hati para nelayan kita sendiri …. Duterte tidak peduli dengan para nelayan Filipina," kata Carpio.
3. Tidak Bisa Berbuat Banyak
Meski tidak memiliki klaim teritorial, kekuatan Barat baru-baru ini mengarahkan aset angkatan laut mereka di Laut China Selatan untuk menantang ekspansi China di wilayah tersebut.

"Jalur laut bersama adalah tempat kepentingan kami bertemu, tetapi hanya kami yang dapat mempertahankan hak penangkapan ikan kami," kata Jay Batongbacal, Direktur Institut Urusan Maritim dan Hukum Laut Universitas Filipina, kepada DW.
Batongbacal mengatakan ekspansi China di Laut China Selatan tidak bisa dihindari. "China memiliki populasi lebih dari 1 miliar yang perlu diberi makan. Tidak ada yang ideologis atau bahkan politis tentang itu, itu praktis," katanya.
"Kami akan mendapatkan semakin sedikit ikan karena tidak dapat mengendalikan China menangkap ikan secara terus menerus," tambahnya. (ha/gtp)/dw.com/id. []