Jakarta - Parlemen Hong Kong secara resmi mencabut RUU Ekstradisi kontroversial yang memicu aksi demonstransi selama berbulan-bulan. RUU yang diajukan April 2019 lalu itu telah memantik kemarahan warga. Ratusan ribu orang turun ke jalan menolak RUU Ekstradisi sehingga ditunda pengesahannya.
Namun para pendemo terus melakukan aksi demonstrasi secara teratur yang kemudian berkembang menjadi gerakan pro demokrasi. Aksi demo ini merupakan krisis yang terbesar sejak bekas koloni Inggris ini kembali kepada China tahun 1997.
Kerusuhan ini merupakan persoalan serius bagi pemimpin China di Beiijng. China menuduh para pendemo sebagai kelompok sparatis berbahaya dan menuduh aksi ini mendapat dukungan dari pihak asing. RUU ini memungkinkan Hong Kong untuk mengekstradisi tersangka kriminal ke beberapa wilayah yang tidak ada perjanjian ekstradisi, termasuk China daratan, Taiwan dan Macau.
Seperti diberitakan dari BBC News, Rabu, 23 Oktober 2019, para pengkritik kebijakan mengkhawatirkan ekstradisi ke China darata bisa membuat tersangka ditahan secara sewenang-wenang dan tanpa persidangan yang adil. Pencabutan RUU itu hanya memenuhi satu tuntutan dari lima tuntutan yang diminta para pendemo yang sering meneriakkan yel-yel "lima tuntutan,tidak satu pun kurang" di jalan-jalan Hong Kong.
Seorang pendemo kepada Reuters mengatakan, pencabutan RUU Ekstradisi ini sudah terlambat
Empat tuntutan lainnya yakni; protes tidak boleh dikategorikan sebagai kerusuhan, pemberian amnesti kepada demonstrans yang tertangkap, dilakukannya penyelidikan yang independen terhadap dugaan kebrutalan polisi, dan penerapan hak pilih lengkap yang universal.

Connie, salah seorang pendemo mengatakan kepada Reuters, pencabutan RUU Ekstradisi ini sudah terlambat. "Masih ada tuntutan lain yang harus dipenuhi pemerintah khususnya masalah kebrutalan polisi," katanya. Carrie Lam, pimpinan Hong Kong mengatakan tuntutan para pendemo ini bukan kewenangannya.
Aksi demo yang semula berjalan damai berubah menjadi aksi anarki. Polisi menyerang para pendemo garis keras yang merusak toko dan melemparkan bom molotov ke aparat keamanan. Polisi membalasnya dengan menembakkan meriam air, gas air mata, dan peluru karet ke arah demonstran. Polisi juga melepaskan peluru tajam dan melukai remaja berusia 18 tahun pada 1 Oktober lalu.
Surat kabar Financial Times melaporkan bahwa pemerintah China merencanakan akan memecat pimpinan Hong Kong, Carrie Lam yang bertanggung jawab atas merebaknya aksi demo. Ia merupakan sosok yang sangat dibenci para pendemo. Bila Presiden Xi Jingping menyetujui, Carrie Lam akan diganti oleh pejabat kepala eksekutif hingga Hong Kong kembali tenang.
Lam mengatakan kepada BBC,"Kami tidak mau mengomentari spekulasi." Kementerian Luar Negeri China menyebutkan bahwa laporan Financial Times itu merupakan gosip politik dengan motif tersembunyi.