Jakarta - Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Ira Aprilianti menilai pembatasan pembelian bahan pokok memicu konsumen bersikap panic buying di tengah penyebaran virus corona (COVID-19). Karena akan ada anggapan ketersediaan bahan pokok seperti gula, beras, minyak goreng, dan mie instan memang langka di pasaran.
"Adanya pembatasan transaksi pangan bukannya menstabilkan pasar. Hal ini justru bisa menjadi alasan bagi konsumen membeli komoditas pangan melebihi dari jumlah yang sesungguhnya mereka butuhkan," ucap Ira Aprilianti dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat, 20 Maret 2020 seperti dilansir dari Antara.
Tak hanya memicu panic buying, kata dia pembatasan pembelian bahan pokok mendorong tindakan diskriminatif di toko berbeda. Misalnya, ritel yang berada di bawah asosiasi bisa saja patuh atas pembatasan tapi tidak patuh pada toko lain yang tidak berada di bawah asosiasi.
Selain itu, pembatasan pembelian menurutnya bisa juga memicu perubahan harga di pasar tradisional. Faktor-faktor tersebut menurutnya tentu akan merugikan konsumen.
Baca juga: Social Distancing, MTI Minta Transportasi Umum Tidak Dikurangi
Meski berdasarkan data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional (PIHPS) tidak ada perubahan harga di pasar modern pada Beras Kualitas Bawah II maupun Super I, tetap saja ada kenaikan harga cukup signifikan di pasar tradisional.

Sejak pengumuman virus corona berasal dari China pada 31 Desember, Beras Kualitas Bawah II naik 5,58 persen dan Beras Kualitas Super I naik 4,20 persen dari harga semula masing-masing Rp15.600 dan Rp20.750.
"Hal ini menunjukkan dampak corona terhadap real income lebih signifikan pada lower income group, terutama yang mengonsumsi produk inferior daripada higher income group yang mengonsumsi produk lebih berkualitas atau yang membelinya di ritel modern,"ujarnya.
Perubahan harga itu, lanjut Ira, menunjukkan konsumen pasar tradisional lebih rentan dan harus dilindungi daripada konsumen pada pasar modern atau ritel. Namun, kebijakan ini hanya akan efektif pada peritel besar di bawah asosiasi, sementara dampaknya pada pasar tradisional masih dipertanyakan.
Pembatasan transaksi memang sesuai pasal 35 dan pasal 94 Undang-Undang (UU) Perdagangan, tapi menurut dia sesuai pasal 26 dalam kondisi gangguan perdagangan seperti ini, pemerintah berkewajiban menjamin pasokan dan memastikan stabilitas harga kebutuhan pangan dan barang penting.
Pasal tersebut juga diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 71 tahun 2015 tentang Penetapan dan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting. Dalam Pasal 2 dijelaskan jenis barang penting tersebut termasuk benih, pupuk, gas elpiji, hingga baja ringan. Dalam keadaan seperti saat ini, masker, hand sanitizer, dan obat-obatan juga tentu menjadi penting bagi masyarakat.
Oleh karena itu, pemerintah harus terus memastikan ketersediaan kebutuhan pangan, misalnya dengan membuka keran impor pada kebutuhan pangan strategis. Pemerintah kata Ira, bahkan sudah seharusnya menjadikan pasar lebih leluasa menentukan supply dan demand di pasar bahkan sebelum hal-hal seperti ini terjadi.
Pasalnya pembatasan seperti ini, menurutnya hanya bersifat lebih mendisiplinkan dari pada meningkatkan kesadaran dan kemampuan konsumen untuk mengambil keputusan.
"Pembatasan ini juga tidak sesuai dengan Pasal 3 UU Perlindungan Konsumen karena hal ini tidak memberdayakan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen," tuturnya. []