Jakarta – Pemilu Myanmar tahun 2020 lalu mencerminkan keinginan rakyat, dan militer tidak dapat dibenarkan menggunakan alasan cacat pemilu untuk merebut kekuasaan, seperti dikatakan oleh sebuah kelompok pemantau internasional, 17 Mei 2021, dalam laporan akhir mereka.
Jaringan Asia untuk Pemilu Bebas (ANFREL - Asian Network for Free Election), salah satu dari dua kelompok pemantau pemilu asing terakreditasi, menilai pemungutan suara pada pesta demokrasi itu memang tidak sebebas dan seadil pemungutan suara pada 2015. Namun, menurut kesimpulan mereka, hasil pemilihan umum 2020 pada umumnya, mewakili keinginan rakyat Myanmar.
“Meskipun pandemi Covid-19 berkecamuk, 27,5 juta orang telah memberikan suara mereka berkat kerja keras para petugas pemilu dan kesehatan. Suara mereka tidak bisa dibungkam," sebut laporan itu.

Belum ada tanggapan junta militer atas laporan ANFREL itu. Kantor Berita Reuters telah menghubungi juru bicara junta militer, namun belum mendapat jawaban.
Militer sebelumnya mengatakan bahwa pihaknya telah menemukan pelanggaran-pelanggaran besar terhadap pemilu itu, di mana Liga Nasional untuk Demokrasi –partai Aung San Suu Kyi- mengalahkan partai promiliter. Mereka mengambil alih kekuasaan setelah komisi pemilu membantah tuduhan itu. Militer menyatakan akan mengadakan pemilihan baru.
ANFREL, yang mengaku memiliki para pengamat di 13 dari 14 negara bagian dan wilayah Myanmar, menggambarkan tindakan militer untuk merebut kekuasaan tidak dapat dibenarkan.
Kudeta itu menjerumuskan Myanmar ke dalam kekacauan karena memicu protes harian, pemogokan dan kehadiran milisi antijunta. Sebuah kelompok HAM mengatakan, pasukan keamanan telah menewaskan sedikitnya 796 orang sejak kudeta berlangsung -sebuah angka yang dibantah militer.
Carter Center yang berbasis di Amerika Serikat (AS), yang juga melakukan pengawasan pemilu Myanmar tahun lalu, sebelumnya mengatakan bahwa para pemilih telah secara bebas dapat mengekspresikan keinginan mereka (ab/uh)/Reuters/voaindonesia.com. []