Penelitian terbaru yang dipublikasikan menantang pemahaman lama tentang cinta romantis dan frekuensi hubungan seksual. Para peneliti menemukan bahwa sifat-sifat yang sering dikaitkan dengan cinta romantis, seperti pikiran obsesif tentang pasangan dan perasaan intens, tidak berpengaruh signifikan terhadap seberapa sering pasangan muda berhubungan seks. Temuan ini menantang keyakinan umum bahwa cinta romantis secara alami meningkatkan aktivitas seksual.
Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa koneksi emosional yang kuat dan gairah pada tahap awal hubungan romantis mendorong hasrat seksual. Meskipun sudah diketahui bahwa frekuensi seksual biasanya menurun seiring berjalannya waktu dan memudarnya gairah, masih sedikit yang diketahui tentang faktor-faktor apa yang mempengaruhi hasrat seksual pada tahap awal cinta romantis. Tim peneliti dipimpin oleh Adam Bode dari Australian National University berusaha memahami apa yang mendorong frekuensi seksual pada individu yang mengalami cinta romantis baru.
Para peneliti menguji hipotesis mereka dengan melakukan survei terhadap 720 orang dewasa muda berusia 18 hingga 25 tahun dari 33 negara, yang semuanya melaporkan pengalaman cinta romantis. Peserta menyediakan informasi tentang durasi hubungan mereka, intensitas cinta romantis, seberapa sering mereka memikirkan pasangan, tingkat komitmen, dan fitur-fitur hipomanik yang mereka alami. Menggunakan model statistik, peneliti mengidentifikasi hubungan dalam data, dengan mengontrol variabel-variabel yang diketahui mempengaruhi frekuensi seksual, seperti usia, orientasi seksual, dan status kesehatan.
Hasil penelitian mengejutkan: tidak ada hubungan signifikan antara sifat-sifat cinta romantis dan frekuensi seksual. Model yang mencakup 14 variabel hanya menjelaskan 4,06% dari variasi frekuensi seksual. Ini menunjukkan bahwa faktor-faktor lain yang tidak ditangkap dalam penelitian mungkin memiliki peran yang lebih besar dalam menentukan frekuensi seksual di kalangan orang dewasa muda. Namun, beberapa kovariat yang diketahui memprediksi frekuensi seksual, seperti peserta yang lebih tua melaporkan frekuensi seksual yang lebih tinggi, yang bertentangan dengan beberapa penelitian sebelumnya.
Penelitian ini menekankan kompleksitas perilaku seksual dan menunjukkan bahwa cinta romantis sendiri bukanlah prediktor kuat dari frekuensi seksual. Para peneliti menekankan bahwa seks melibatkan dua pihak, dan oleh karena itu, mengevaluasi prediktor perilaku seksual hanya pada satu pihak meninggalkan setengah dari persamaan yang tidak diuji. Mereka juga mencatat bahwa penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan, termasuk sampel yang terbatas pada orang dewasa muda yang telah jatuh cinta selama kurang dari dua tahun, yang mungkin tidak mewakili spektrum penuh hubungan romantis.