Jakarta - Pengamat ekonomi dari Universitas Gadjah Mada Ikhsan Modjo menilai, upaya pemerintah melobi bank bentukan China, Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB) untuk turut membiayai proses pemindahan ibu kota ke Kalimantan Timur dinilai sah-sah saja. "Tidak apa-apa, asal sesuai dengan mekanisme yang berlaku," ujarnya kepada Tagar di Jakarta, Kamis 12 Desember 2019.
Menurut Ikhsan, sepanjang komitmen tersebut mempunyai dampak positif bagi bangsa ini, pemerintah dinilai memiliki opsi terbuka untuk membangun kerja sama dengan pihak mana pun. Namun demikian, ia mengingatkan agar kerja sama dengan AIIB tersebut jangan sampai menyandera kepentingan Indonesia yang lebih besar. "Pengajuan pinjaman itu tentu harus dibarengi dengan kesanggupan kita membayar, jangan sampai seperti negara tetangga yang gagal bayar lalu disetir," tegasnya.
Lebih lanjut, Ikhsan juga melihat bahwa ketertarikan Indonesia untuk memperoleh pembiayaan dari AIIB dibandingkan dengan lembaga keuangan internasional lain bisa didasari oleh beberapa hal. "Mungkin apa yang ditawarkan oleh AIIB itu lebih menarik, seperti cost of fund yang murah, atau model pendanaan yang lebih kompetitif," imbuh dia.
Seperti yang diberitakan sebelumnya, pemerintah setidaknya membutuhkan dana Rp 486 triliun guna memboyong ibu kota dari Jakarta ke Kalimantan Timur. Dari jumlah tersebut, 19 persen diantaranya (Rp93 triliun) akan dipenuhi oleh Anggaran Pedapatan dan Belanja Negara (APBN). Sementara porsi terbesar, yakni 54 persen (Rp 265,2 triliun) bakal disumbang oleh kerjasama pemerintah dan badan usaha. Sisanya sebesar 27 persen (Rp127 triliun) direncanakan akan diisi oleh investasi asing swasta.

Pemerintah memberikan sinyal bakal menggandeng AIIB sebagai mitra strategis untuk membangun ibu kota negara di Penajam Paser Utara dan sebagian Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur sebagai pengganti Jakarta. Apabila terwujud, bank bentukan China ini bakal memperpanjang track record-nya pada sejumlah proyek pembangunan di Indonesia.
Dikutip dari laman resminya, AIIB diketahui telah menggelontorkan total pembiayaan sebesar 10,08 miliar dolar Amerika Serikat (AS) kepada 100 negara anggotanya di seluruh dunia. Di Indonesia, AIIB mulai ikut membiayai proyek dalam negari sejak 2016. Kala itu, lembaga keuangan asal China tersebut bersama dengan Bank Dunia menyetujui pinjaman pemerintah Indonesia senilai 216,5 juta dolar AS untuk membiayai proyek sosial peningkatan kualitas hidup pada pemukiman kumuh.
Proyek itu dilaksanakan pada 154 kota bagian tengah dan timur Indonesia dengan fokus utama pada peningkatan akses ke layanan infrastruktur dasar, seperti air bersih, saluran irigasi dan sanitasi. Diharapkan, 9,7 juta masyarakat Indonesia akan terbantu berkat implementasi program ini.
Selanjutnya, AIIB juga turut mendukung program Dana Pembangunan Infrastruktur Regional (regional infrastructure development fund/RIDF) dengan menggandeng PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI). RIDF akan membiayai investasi dan memberikan bantuan teknis di bidang tematik termasuk diantaranya adalah transportasi perkotaan dan pengelolaan limbah padat. Total nilai komitmen program yang mulai berjalan pada Maret 2017 itu tercatat sebesar 100 juta dolar AS.
Kemudian, AIIB diketahui juga mengucurkan dana 125 juta dolar AS untuk membantu pemerintah Indonesia melaksanakan Proyek Peningkatan Operasional dan Keselamatan Bendungan pada 63 waduk besar yang diprioritaskan. Periode implementasi proyek itu sendiri direncanakan akan berlangsung hingga 2022 mendatang.
Sebelumnya Presiden AIIB Jin Liqun dalam forum infrastruktur di Jakarta November lalu menyampaikan kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati soal tawaran AIIB untuk membantu pendanaan pembangunan ibu kota baru pengganti Jakarta. Ia juga berharap pembangunan kota baru dikonsep secara matang. Menurutnya, Indonesia jangan menciptakan ibu kota baru seperti Jakarta yang penuh sesak danancaman tenggelam karena ekstraksi berlebihan terhadap air tanah.
Seperti diberitakan dari Reuters, Selasa malam, 26 November 2019, Sri Mulyani menyambut baik tawaran Presiden AIIB. Namun menurutnya, butuh waktu bagi pemerintah untuk menerima atau menolak bantuan pendanaan dari AIIB. Pemerintah masih menunggu studi kelayakan pembangunan ibu kota baru dari McKinsey & Company. "Mendapatkan pendanaan dari bank pembangunan multinasional baik sebagai bentuk apresiasi kepada Indonesia. Namun ini bukan hanya soal pendanaan tapi juga memperkenalkan prinsip yang baik," ucapnya. []
Baca Juga:
Temui Jokowi, AIIB Tawari Pinjaman 1 Miliar Dolar
Ibu Kota Baru Harus Simbolkan Identitas Bangsa