Jakarta - Program Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) yang dicanangkan pemerintah pusat di Danau Toba mendapat protes dari masyarakat adat Raja Na Opat Desa Sigapiton, Kabupaten Tobasa.
Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika mengatakan dalam perencanaannya kawasan strategis pariwisata nasional di Danau Toba tidak melibatkan warga setempat. Menurut dia, dalam perjalanannya program yang dikembangkan pemerintah sepihak. Warga sekitar, Sigapiton, tidak ikut dilibatkan.
"Sehingga praktis ketika proses perencanaan dan pelaksanaan proyek strategis di bidang pariwisata Danau Toba ini luput memperhatikan aspek-aspek dari hak konstitusional dari warga Danau Toba warga setempat," kata Dewi di kantor Sekretariat Nasional KPA, Pancoran, Jakarta Selatan, pada Rabu, 21 Agustus 2019.
Pemerintah berpikir itu adalah tanah kosong padahal itu tanah adat. Setiap marga itu punya tanah adatnya masing-masing, mereka luput melihat itu. Ini cara apa ya pembangunan yang tidak pro dengan rakyat?
Dia mengaku, permasalahan itu muncul sejak 2014. Ketika Danau Toba masih berupa kawasan hutan dan diserahkan pengelolaan tanahnya kepada Badan Otorita Danau Toba.
"Menurut kita dari sinilah letak semakin kisruhnya masalah agraria di Danau Toba. Karena tanah-tanah yang tadinya dalam situasi tidak ada kepastian hukum yang diberikan pemerintah terhadap wilayah adat itu, tiba-tiba dikuasakan kewenangannya ke badan otoritas dengan menggunakan Perpres (Peraturan Presiden)," kata dia.
"Sementara kan badan otorita ini tentu punya bisnis plan sendiri, juga orientasi ekonomi, investasi dan seterusnya. Dia tidak melihat bahwa ada kemungkinan risiko bahwa proyek pengembangan ini akan memberikan dampak sosial ekonomi kepada masyarakat lebih jauh lagi," tuturnya.

Sejauh ini, pendekatan yang dilakukan pemerintah kepada masyarakat adat di Desa Sigapiton hanya formalitas saja. Bahkan, proses tidak dilakukan secara transparansi sehingga masyarakat tidak betul-betul mengerti apa yang dilakukan pemerintah.
"Itu sosialisasi yang hanya untuk melegitimasi konsultasi kepada masyarakat. Padahal kejadiannya tidak seperti itu. Masyarakat saat ini melaporkan kepada KPA mengatakan bahwa proses itu tidak transparan. Dilakukan dengan sepihak bahkan cenderung istilahnya mengkondisikan masyarakat-masyarakat agar tidak punya pilihan lain selain menerima proyek pariwisata itu. Lalu diiming-imingi dengan cukup ganti rugi," ujar dia.
Dewi mengatakan pihaknya saat ini fokus pada permasalahan di Desa Sigapiton. Di sana, tanah adat yang dimiliki warga diklaim milik negara. Menurut dia, setiap tanah yang ada di wilayah itu merupakan milik dari marga Raja Na Opat, yakni marga Butar-butar, Sirait, Nadapdap dan generasi lainnya.
"Pemerintah berpikir itu adalah tanah kosong padahal itu tanah adat. Setiap marga itu punya tanah adatnya masing-masing, mereka luput melihat itu. Ini cara apa ya pembangunan yang tidak pro dengan rakyat? Karena rakyat tidak dianggap sebagai subjek dan rakyat tidak dianggap sebagai pemilik dari tanah itu tapi dia dianggap sebagai warga yang boleh berperan serta di dalam proyek pengembangan proyek pariwisata itu. Loh ini tiba-tiba secara sepihak dikembangkan sebagai tempat pariwisata," ucapnya.
Untuk status tanah adat di Desa Sigapiton, kata Dewi, sudah ada sejak sejak ratusan tahun lalu, sebelum Indonesia merdeka. Dan kompensasi yang diterima masyarakat hanya berupa uang, kasur dan handphone.
"Kalau kompensasi menurut dari beberapa warga ada tapi kompensasinya itu seperti itu. Cukup dikasih penghiburan ada yang dapat dari sisi uang yang dapat spring bed ada yang dikasih handphone macam-macam. Tapi menurut kita adalah bukan karena ada tidaknya kompensasi karena itu tidak dimanipulasi semuanya," ucapnya.
Hingga saat ini, kata Dewi, pihaknya belum mengetahui pendekatan yang dilakukan Badan Otorita Danau Toba (BODT) kepada masyarakat Desa Sigapiton. Dia lantas mempertanyakan siapa yang mengawasi kinerja BODT.
"Menurut kami cara kinerja badan otoritas ini siapa yang mengawasi, apabila prosesnya di belakang itu tidak sesuai dengan misalnya prinsip-prinsip keadilan transparansi dan seterusnya," tuturnya.