Penjual Poteng Bantaeng Rindu Nurdin Abdullah yang Dulu

Gubernur Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah dirindukan penjual poteng di Bantaeng. Dahulu suka bersedekah kepada pedagang, kini mengacuhkan.
Sekumpulan penjual poteng saat menawarkan dagangannya kepada Nurdin Abdullah di anjungan Pantai Seruni, Bantaeng, Sabtu, 12 Oktober 2019. (foto: Tagar/fitriani aulia rizka).

Bantaeng - Helikopter warna biru berpadu putih telah mendarat di Bantaeng, menunggu Gubernur Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah menaikinya untuk bertolak ke Makassar. Kabarnya, di sana, dia dinanti dalam Festival Pesona Lokal.

Sebelum menginjakkan kakinya di sini, sebuah baliho raksasa Jambore IPeKB 2019 menampilkan gambar Nurdin Abdullah dan Bupati Bantaeng Ilham Azikin. 

Tentunya hal itu menjadi pertanda baik bagi para penjual poteng alias tape ubi kayu di Butta Toa, yang merindukan sosok Nurdin yang 10 tahun menjadi Bupati Bantaeng.

Sebelum menjadi Gubernur Sulawesi Selatan, Nurdin Abdullah dikenal kerap bersedekah ke para penjual poteng. Pada beberapa kesempatan, pria kelahiran Pare-Pare, 7 November 1963 itu diingat para pedagang, karena kerap memborong tape ubi kayu yang dijajakan. Hal itu masih tertanam di benak para penjual poteng.

"Kalau ada kegiatan yang hadir Nurdin Abdullah, saya bawa poteng ke sana supaya diborong sama bapak," kata Rimang, penjual poteng dari Kecamatan Eremerasa.

Nurdin Abdullah Tak Seperti yang Dulu

Poteng BantengSekumpulan penjual poteng saat menawarkan dagangannya kepada Nurdin Abdullah di anjungan Pantai Seruni, Bantaeng, Sabtu, 12 Oktober 2019. (foto: Tagar/fitriani aulia rizka).

Saat itu, Sabtu, 12 Oktober 2019, di anjungan pantai Seruni, di tempat helikopter menjemput Nurdin. Kepada Tagar, Rimang dan dua penjual poteng lainnya berkeluh kesah. Atau mungkin lebih tepat, jika dikatakan mereka sedang merindu.

Mereka rindu semasa Nurdin menjabat Bupati sini, sempat digelar event-event, baik kecil hingga event berskala nasional, yang menjadi kesempatan para penjual poteng untuk mengunjukkan dirinya di hadapan Nurdin Abdullah. Berharap makanan khas Sulawesi itu bakal laku diborong.

"Dulu bapak kalau liatmeki kumpul, naborongmi kodong," kata Rimang dalam dialeg Bantaeng. Maksudnya, dia berkeluh kesah, karena hari itu tak sepotong pun potengnya dilirik Nurdin. Biasanya, selalu langsung diborong tiap kali disodorkan.

Gurat sedih nampak dari wajahnya, tertunduk lesu, sulit tersenyum. Kerudungnya basah di bagian jidat karena keringat di bawah sengatan matahari siang itu. 

Biasanya Bapak Nurdin Abdullah langsung kasih Rp 200-300 ribu. Poteng dikasih makan semua anggotanya.

Terpancar aura kekecewaan yang mendalam, juga rekannya, Ibu Tima, yang duduk 2 meter di sisi kanan saya, wajahnya amat pilu.

Apa yang dipikirkan Ibu Rimang, Tima, dan pedagang poteng lainnya? 

Rimang masih sesekali menimpali beberapa pertanyaan dengan jawaban-jawabannya yang lirih. Samar-samar terdengar, karena ia berbicara dengan suara yang sangat kecil. 

Suaranya seperti tercekat sesuatu yang berat. Semacam luapan di dada yang terus ia tekan dalam diam.

Sedangkan ibu Tima dan pedagang lainnya, mereka terduduk lemas. Pandangannya belum bisa berpaling dari anjungan yang sudah kosong. Tempat helikopter yang menjemput Nurdin Abdullah. 

Harapan apa yang mereka taruh di sana? Seberat ini kah rindu tak terucap?

"Pak poteng pak, pak ini poteng pak,"

Poteng BantaengSekumpulan penjual poteng saat menawarkan dagangannya kepada Nurdin Abdullah di anjungan Pantai Seruni, Bantaeng, Sabtu, 12 Oktober 2019. (foto: Tagar/fitriani aulia rizka).

Begitulah mereka beberapa menit lalu beramai-ramai, bersahut-sahutan saat Nurdin Abdullah melintas di depannya.

"Biasanya Bapak Nurdin Abdullah langsung kasih Rp 200-300 ribu. Poteng dikasih makan semua anggotanya. Saya senang, karena kalau sehari-hari jalan keliling kampung tidak mencapai segitu," kenang Ibu Tima.

Kemudian ia mengubah posisi duduk, membelakangi anjungan dan menghadap saya. Mungkin ia sedang berusaha menghapus kenangan manis dan berharap helikopter yang membawa Nurdin Abdullah kembali ke Bantaeng. 

"Kenapa bapak tidak lihatka tadi?" tanya Bu Tima. Saya tahu pertanyaan itu bukan untuk saya. Saya cuma berdehem saja untuk memberikan kesan peduli dan mendengarkannya.

"Mungkin buru-buru sekali, karena biasanya tidak begitu," lanjutnya lagi.

Masih dalam suasana hening, beberapa penjual poteng lain selain Ibu Rimang dan Tima tiba-tiba beranjak dari duduknya. Menjunjung sepeti poteng dagangannya yang tak laku, kemudian berjalan ke arah yang berbeda-beda.

Mereka pergi mungkin karena telah pupus harapan. Sedihnya, tak ada yang ingin berbagi, meskipun sebuah senyum.

Perjumpaan yang Sulit Dilupakan

Poteng BantaengSekumpulan penjual poteng saat menawarkan dagangannya kepada Nurdin Abdullah di anjungan Pantai Seruni, Bantaeng, Sabtu, 12 Oktober 2019. (foto: Tagar/fitriani aulia rizka).

Kalau memang sosok Nurdin Abdullah dikenal rajin bersedekah, memborong poteng yang dijajakan rakyat kecil, apa salahnya dicoba dengan sosok pejabat lainnya. Mungkin saja terlahir sosok serupa atau Nurdin Nurdin lainnya yang bisa mereka temui di sana.

Saya semakin penasaran, sejauh mana nama Nurdin Abdullah sebegitu membekasnya dalam ingatan mereka. 

Memang kerap kali, kabarnya, sosok yang kini mengemban amanah sebagai Gubernur Sulsel itu dielu-elukan masyarakat.

Saat pulang sehabis berjualan, sore hari biasanya saya lihat Nurdin Abdullah bersepeda bersama rombongannya.

Kepada Ibu Tima dan Rimang yang masih betah meladeniku saat itu, saya bertanya. Apakah mereka pernah bertemu dengan Nurdin Abdullah di waktu lain selain saat menjajakan poteng? 

Atau apakah mereka tahu bagaimana pribadi Nurdin Abdullah selain sering memborong poteng saja? Mengenai ini, Rimang yang angkat bicara.

"Bapak itu sukaki naik sepeda keliling, selalu deh diliat mukanya biar tidak ada acara pergiji duduk-duduk di pantai jadi kita orang Bantaeng selaluki dirasa dekat sama ini Bapak," celotehnya. 

Bu Rimang memiliki kesan tersendiri saat ditanyai mengenai sosok Nurdin Abdullah yang ia ingat suka bersosialisasi dan menyapa masyarakatnya dengan berbaur langsung. 

Nurdin juga diingat kerap melakukan aktivitas di luar ruangan, seperti bersepeda atau sekadar nongkrong di kafe. Di tempat terbuka, di mana orang-orang bisa melihatnya langsung, tentu sebelum dia menjadi pejabat se-tingkat provinsi.

"Saat pulang sehabis berjualan, sore hari biasanya saya lihat Nurdin Abdullah bersepeda bersama rombongannya," kata Rimang. 

Sambil berkemas, volume suaranya semakin jelas. Sepertinya kekecewaan atas kejadian potengnya yang siang itu tak laku, perlahan mulai dilupakan. Sedangkan kenangan manis tentang Nurdin Abdullah yang melintas membuatnya mampu bercerita tegas.

Kenangan yang baik itu mungkin telah menjelma menjadi sebuah energi positif. Kedua ibu-ibu itu kemudian berpamitan, ingin melanjutkan perjalanan mereka. Saya kembali melontarkan pertanyaan terakhir sebelum keduanya beranjak.

"Jadi Bu, mau menjual di mana ini?" tanyaku.

Ibu Tima sudah lebih dulu melangkah setelah pamit dan memberi salam. Saya membantu mengangkat peti plastik yang terisi penuh poteng ke atas kepala Bu Rimang.

"Mau jalan ke pasar saja, kalau habis di jalan ya langsung pulang," katanya, sambil berlalu meninggalkanku.

Lagi-lagi saya lupa menyampaikan apa yang ada di isi kepala. Kenapa tidak mengambil barisan baru di antara kerumunan orang-orang yang berada di sekitar anjungan pantai Seruni Bantaeng saat itu? Apakah poteng hari itu adalah edisi khusus Nurdin Abdullah saja? []

Berita terkait
Kuntilanak Penculik dari Bantaeng Sulawesi Bernama Anja
Menjadi cerita turun-temurun Anja sosok kuntilanak menakutkan di Banteang, Sulawesi Selatan, karena kerap menculik anak kecil selepas magrib.
Pengayuh Becak di Bantaeng Sukses Sarjanakan Anak
Kisah Bakri seorang pengayuh becak di Bantaeng, Sulawesi Selatan, berhasil menguliahkan anaknya hingga lulus. Ini cerita perjuangannya.
Tragedi Berdarah Rumah Berhantu di Bantaeng
Di sebuah rumah angker tak berpenghuni di Bantaeng, Sulawesi Selatan, kabarnya sempat terjadi tragedi berdarah, saat suami memenggal istrinya.