Penolakan PK Baiq Nuril, Bukti Sistem Peradilan Gagal

Komnas Perempuan menilai sistem peradilan di Indonesia gagal memberikan keadilan bagi korban kekerasan seksual.
Baiq Nuril Maknun terpidana kasus Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik saat jumpa pers di Fakultas Hukum Unram, Mataram, NTB, Selasa (20/11/2018). (Foto: Antara/Hero)

Bandung - Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menanggapi putusan Mahkamah Agung yang menolak Peninjauan Kembali (PK) terhadap kasus kekerasan seksual Baiq Nuril sebagai bukti bahwa sistem peradilan di Indonesia telah gagal memberikan keadilan bagi korban kekerasan seksual.

Menurut Ketua Komnas Perempuan Azriana, meskipun Komnas Perempuan menghargai keputusan Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan yang tidak boleh di intervensi, tetapi Komnas Perempuan menyesalkan tidak digunakannya Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 3 Tahun 2017, tentang pedoman mengadili perkara perempuan berhadapan dengan hukum dalam menjatuhkan putusan kasasi dan menolak peninjauan kembali (PK) dalam kasus Baiq Nuril.

“Padahal Perma 3/2017 adalah sebuah langkah maju dalam sistem hukum di Indonesia dalam mengenali hambatan akses perempuan pada keadilan. Perma ini adalah sebuah langkah afirmasi dalam menciptakan kesetaran (seluruh warga negara) di hadapan hukum.” tutur dia dalam keterangan tertulisnya, di Bandung, Selasa 9 Juli 2019.

Disamping itu jelas dia, Komnas Perempuan menyesalkan Polri dalam hal ini Polda NTB atas dihentikannya penyidikan kasus perbuatan cabul yang dilaporkan Baiq Nuril karena ketidakmampuan menterjemahkan batasan perbuatan cabul dalam KUHP ke dalam penyidikan kasus Baiq Nuril ini.

“Ketika Polri hanya memahami perbuatan cabut seharusnya perbuatan yang dilakukan dengan kontak fisik. Maka, korban dari kasus-kasus kekerasan seksual terutama pelecehan seksual non fisik tentunya tidak akan pernah terlindungi (apabila penegak hukum hanya berperspektif seperti itu).” jelas dia.

Pengabaian atas penggunaan Perma 3/2017 oleh Mahkamah Agung, dan ketidakmampuan Polri dalam mengenali pelecehan seksual non fisik sebagai bagian dari perbuatan cabul telah mengakibatkan hilangnya hak konstitusional seorang perempuan warga negara Indonesia untuk mendapatkan perlakukan yang sama di hadapan hukum.

“Kondisi ini juga disebabkan keterbasan sistem hukum dalam mengenali kekerasan seksual. Sehingga, memberikan peluang untuk mengkriminalkan perempuan korban kekerasan seksual. Keterbatasan sistem hukum ini bukan saja dari sisi materil tetapi juga formil (Hukum Acara) sebaga standar yang harus dijalankan peradilan sejak dari penerimaan laporan hingga persidangan.” terang dia.

Termasuk dalam hal ini kata Azriana keterbatasan sistem pembuktian dan ketersediaan sumber daya yang memadai bagi penghapusan diskriminasi hukum di Indonesia. Tampak adanya kedangkalan pemahaman konsep hukum yang seharusnya memberikan perlindungan atas kompleksitas pola-pola kekerasan seksual yang menyasar khususnya  perempuan.

“Baiq Nuril adalah korban berlapis dari kekerasan seksual yang dilakukan atasannya, dan dari ketidakmampuan negara melindunginya. Kriminalisasi pada Baiq Nuril ini menjadi preseden buruk bagi hilangnya rasa aman bagi perempuan, dan absennya negara dalam melindungi perempuan korban kekerasan seksual, khususnya pelecehan seksual.” tutup dia. []

Artikel terkait:

Berita terkait
0
Yang Harus Dilakukan Karyawan Holywings Menurut Wagub DKI
Setelah 12 outlet Holywings dicabut izinnya, serentak 3.000 karyawannya kehilangan pekerjaan. Ini yang harus mereka lakukan menurut Wagub DKI.