Jakarta - Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menegaskan pihaknya akan terus menolak tahapan pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak 2020. Pasalnya, saat ini Indonesia masih dirundung masalah menyoal penyebaran virus corona (Covid-19) yang dari hari ke hari angkanya kian meninggi. Untuk itu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) diminta mengeluarkan Perppu.
Dia menjelaskan, untuk masa saat ini diharapkan seluruh pihak berfokus pada penanganan Covid-19 saja, jangan berpikir melanjutkan Pilkada. Sebab, kejelasan penanganan corona juga belum dapat dipastikan akan berakhir sampai kapan.
Baca juga: Covid-19 Menyerang, Pilkada Serentak Harus Ditunda
Maka lebih baik kemudian kalau presiden mengeluarkan Perppu, sehingga penundaan pilkada skalanya bisa nasional.
"Kalau kami mendorong agar Pilkada ditunda. Akan sangat berisiko bagi penyelenggaraan pemilihan, peserta pemilihan maupun pemilih. Karena kita tidak tahu soal penanganan Covid-19 ini akan sampai berapa lama. Akan lebih baik konsentrasi kita untuk saat ini betul-betul difokuskan kepada penanganan Covid-19," kata Titi kepada Tagar, Kamis, 26 Maret 2020.
Meskipun penetapan Pilkada serentak disahkan pada September mendatang, namun dia berharap agar agenda pilkada apabila masih dipaksakan berlangsung maka mesti bekerjasama dengan protokol penanganan Covid-19 untuk menuntaskan penularan virus.
"Jadi bukan harus berjalan atau tidak, tetapi pertanyaan paling mendasar adalah apakah agenda Pilkada saat ini bisa tetap berlanjut dengan protokol penanganan Covid-19 yang sedang menjadi fokus kita untuk masa sekarang," ujarnya.
Titi menambahkan, melihat keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk menghentikan empat aktivitas tahapan Pilkada, baginya sudah menjadi langkah terbaik, sesuai dengan kondisi Indonesia saat ini.
"Melihat penundaan aktivitas empat tahapan itu, dari sisi skema tahapan pilkada memang harus menggeser hari pemungutan suara," kata dia.
Meskipun ditunda, kata dia, sesuai Undang-Undang (UU) Pilkada menurutnya ada dua mekanisme yakni, pemilihan lanjutan atau pemilihan susulan. Kedua mekanisme tersebut bersifat parsial atau daerah per daerah.
"Jadi mekanismenya bottom-up proses, diusulkan dari masing-masing daerah yang dibawah hingga ke atas. Sementara situasi penanganan Covid-19 ini merupakan situasi nasional, bagaimana Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menjadikan penanganan ini sebagai agenda nasional," katanya.
Pergeseran penundaan pilkada nasional, dijelaskan Titi, belum ada aturan mainnya dalam UU Pilkada. Maka, langkah yang harus dilakukan adalah merevisi UU Pilkada dan melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang atau Perppu yang ditetapkan oleh Presiden Jokowi.
"Nah penundaan nasional yang bergeser pada hari pemungutan suara itu masih belum ada aturan mainnya di dalam UU Pilkada kita. Sehingga, mau tidak mau penundaan Pilkada secara nasional harus dilakukan melalui revisi atas UU Pilkada. Revisi itu bisa melalui dua jalur, yakni revisi terbatas oleh pembuat UU (DPR dan pemerintah) atau melalui Perppu," ucapnya.
Baca juga: Corona Bikin KPU Tangsel Tunda Tahapan Pilkada 2020
Titi menuturkan, untuk melalukan revisi UU Pilkada dibutuhkan waktu yang agak lama, apalagi fokus pemerintah saat ini sedang memerangi Covid-19 dan DPR telah memperpanjang masa reses.
"Banyak pihak yang mengatakan Perppu adalah mekanisme yang sesuai saat ini, di mana sedang berlangsung kebijakan untuk membatasi kerumunan dan berkumpulnya banyak orang. Kalau revisi terbatas agak sulit, karena DPR saja memperpanjang masa resesnya dan kerumunan juga harus dihindari," ujar dia.
Selanjutnya, agar proses penundaan ini dapat dilakukan untuk skala nasional, maka dia berharap Presiden Jokowi segera mengeluarkan Perppu.
"Maka lebih baik kemudian kalau presiden mengeluarkan Perppu, sehingga penundaan pilkada skalanya bisa nasional dan bisa memberikan kepastian hukum bagi seluruh jajaran penyelenggara, peserta maupun pemilih," ucap Titi Anggraini. []