Jakarta - Ekonom dari Center of Reform on Economics (CORE), Yusuf Rendy Manilet menilai sulit membandingkan hak pesangon di Indonesia dengan negara lain. Jika dibandingkan dengan Malaysia, pesangon di Indonesia cenderung lebih kecil.
Menurutnya, setiap negara memiliki aturan tenggat waktu tersendiri dalam penentuan pesangon terhadap pekerja atau buruh.
"Sepertinya relatif ya, pada beberapa poin saya kira ada perbaikan hak pesangon, namun memang akan cukup sulit membandingkan perbandingan hak pesangon karena baseline waktu penentuan pemberian pesangon antara negara berbeda," kata Yusuf saat dihubungi Tagar, Kamis, 8 Oktober 2020.
Namun, kata Yusuf, menarik jika membandingkan pemberian pesangon dengan masa kerja terlama di Indonesia mencapai 9 bulan upah (270 hari).
"Jika dibandingkan dengan Malaysia misalnya ini relatif kecil karena di Malaysia memberikan 400 hari upah," ucapnya.
Malaysia memang posisi tawarnya lebih besar sehingga bisa mendapatkan kebijakan upah yang sedikit lebih baik dibandingkan Indonesia,
Baca juga: CORE: Ada Poin yang Merangsang Investor di UU Cipta Kerja
Ekonom CORE Indonesia, Yusuf Rendy Manilet. (Foto: Dokumentasi CORE Indonesia).
Terkait perbandingan tersebut, kata dia, ini kembali lagi pada posisi daya tawar pekerja.
"Di Malaysia memang posisi tawarnya lebih besar sehingga bisa mendapatkan kebijakan upah yang sedikit lebih baik dibandingkan Indonesia," ujar Yusuf.
Sebelumnya, Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Airlangga Hartanto mengatakan UU Cipta Kerja tetap mengatur pesangon dan menambah aturan terkait Jaminan Kehilangan Pekerjaan.
"Ada kepastian pembayaran pesangon dan mendapatkan tambahan jaminan kehilangan pekerjaan, dan juga apabila terjadi PHK ada manfaat berupa peningkatan kompetensi ataupun upskilling serta diberikan akses kepada pekerjaan yang baru," katanya dalam konferensi pers virtual di Gedung Kemenko Perkonomian, Jakarta Pusat, Rabu, 7 Oktober 2020.
Berbeda dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Ketenagakerjaan yang besaran pesangon sebesar 32 kali gaji. Sedangkan, dalam UU Cipta Kerja, jumlah maksimal pesangon menjadi 25 kali, dengan pembagian 19 kali ditanggung oleh pemberi kerja atau pelaku usaha dan 6 kali (cash benefit) diberikan melalui Program JKP yang dikelola pemerintah melalui BPJS Ketenagakerjaan.
Dalam UU Cipta Kerja peraturan perhitungan pesangon kepada pekerja atau buruh terkena PHK ada di pasal 156, berikut perinciannya.
Pasal 156
(1) Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha wajib membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.
(2) Uang pesangon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling banyak sesuai ketentuan sebagai berikut:
a. Masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun: 1 bulan upah;
b. Masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun: 2 (dua) bulan upah;
c. Masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun: 3 (tiga) bulan upah;
d. Masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun: 4 (empat) bulan upah;
e. Masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun: 5 (lima) bulan upah;
f. Masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun: 6 (enam) bulan upah;
g. Masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun: 7 (tujuh) bulan upah;
h. Masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan) tahun: 8 (delapan) bulan upah;
i. Masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih: 9 (sembilan) bulan upah.
Baca juga: Di UU Cipta Kerja Izin AMDAL Tetap Ada Namun Disederhanakan
Dengan adanya Program JKP, Menteri Tenaga Kerja (Menaker) Ida Fauziyah mengatakan UU Cipta Kerja lebih memberikan kepastian bahwa hak pesangon diterima oleh pekerja atau buruh dengan adanya skema di samping pesangon yang diberikan pengusaha. Menurut dia, pekerja akan mendapatkan jaminan kehilangan pekerjaan yang tak dikenal dalam UU Nomor 13 Tahun 2003.
"Jaminan kehilangan pekerjaan yang manfaatnya berupa cash benefit, vocational training, dan pelatihan kerja, ini yang kita tidak jumpai, tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003," ucap Ida. []